Liputan6.com, Jakarta - Kamis (22/9/2022), perhatian publik kembali tersedot oleh dua kasus dugaan korupsi. Tak main-main, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) hakim agung MA.
Kasus kedua, Kejagung menjemput paksa Hasnaeni Moein yang juga populer dengan julukan wanita emas di sebuah rumah sakit di Jakarta.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron membenarkan tim penindakan lembaga antirasuah mengamankan salah satu hakim di Mahkamah Agung (MA) dalam operasi tangkap tangan (OTT). Ghufron menyebut, penangkapan terhadap hakim MA itu diduga berkaitan dengan suap penanganan perkara di MA.
"Berkaitan dugaan tindak pidana korupsi suap dan pungutan tidak sah dalam pengurusan perkara di Mahkamah Agung," ujar Ghufron dalam keterangannya, Kamis (22/9/2022).
Baca Juga
Advertisement
Ghufron menyebut, ada beberapa pihak yang sudah diamankan tim penindakan. Hanya saja Ghufron tak merinci jumlah pasti yang sudah diamankan pihaknya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita sejumlah uang dalam operasi tangkap tangan (OTT) terhadap salah satu hakim di Mahkamah Agung (MA).
Sementara, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Hasnaeni (H) selaku Direktur Utama PT Misi Mulia Metrikal sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan dan atau penyelewengan dalam penggunaan dana PT Waskita Beton Precast pada 2016 sampai dengan 2020.
Pantauan Liputan6.com, Kamis (22/9/2022), Hasnaeni alias Wanita Emas dijemput paksa petugas untuk menjalani pemeriksaan terkait kasus tersebut. Dia tiba siang ini di Gedung Bundar Jampidsus Kejagung, Jakarta Selatan.
Masuk sekitar pukul 15.20 WIB, Hasnaeni keluar mengenakan rompi tahanan kejaksaan dengan didorong kursi roda. Namun saat hendak dimasukkan ke mobil tahanan, dia meronta dan berteriak-teriak. Petugas pun sempat kewalahan memasukkan Hasnaeni ke dalam mobil tahanan. Dia pun diangkat untuk kemudian dibawa ke tempat penahanan.
Berkaitan dengan kasus ini, dalam Islam korupsi adalah haram dan dilarang keras. Di Indonesia sendiri, ancaman hukuman terberat adalah hukuman mati, meski hingga saat ini belum ada satupun terdakwa koruptor dihukum mati.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Koruptor, Hukum Syariat Paling Ringan Potong Tangan
Perihal hukuman mati, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) membahas kejahatan korupsi, koruptor, dan hukuman mati setidaknya pada dua kesempatan berbeda, yaitu pada Munas Alim Ulama NU pada Juli 25-28 Juli 2002 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta.
Sepuluh tahun berikutnya PBNU melalui forum Munas Alim Ulama NU dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama pada 15-17 September 2012 di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, kembali membahas kejahatan korupsi, koruptor, dan hukuman mati.
Mengutip laman NU, soal hukuman mati secara umum, PBNU membahasnya pada forum Muktamar Ke-33 NU pada 1-5 Agustus 2015 di Jombang, Jawa Timur. Pada putusan Munas NU 2002, PBNU mengangkat definisi, tuntutan hukum, dan jenis sanksi kejahatan korupsi bagi koruptor.
“Dalam pandangan syariat, korupsi merupakan pengkhianatan berat (ghulul) terhadap amanat rakyat. Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, korupsi dapat dikategorikan sebagai pencurian (sariqah), dan perampokan (nahb),” (PBNU, Ahkamul Fuqaha, [Surabaya, Kalista-LTN PBNU: 2011 M], halaman 826).
Adapun “Pengembalian uang hasil korupsi tidak menggugurkan hukuman karena tuntutan hukuman merupakan hak Allah. Sementara pengembalian uang korupsi ke negara merupakan hak masyarakat (hak adami),” (PBNU, 2011 M: 828).
Forum Munas NU 2002 di Jakarta membahas sanksi atas kejahatan korupsi bagi koruptor. Forum ini menawarkan potong tangan pada tingkat paling ringan sebagai sanksi yang layak dan hukuman mati sebagai bentuk sanksi tertinggi bagi koruptor. (PBNU, 2011 M: 828).
Forum Munas NU 2002 di Jakarta mengutip Kitab Futuhat al-Wahhab bi Taudih Syarh Manhaj al-Thullab dan Kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. “Dan kesimpulannya adalah sungguh boleh menghukum mati sebagai kebijakan bagi orang-orang yang sering melakukan tindakan kriminal, pecandu minuman keras, para penganjur tindak kejahatan, dan pelaku tindakan subversif yang mengancam keamanan negara dan semisalnya,” kata Syekh Wahbah Az-Zuhayli. (PBNU, 2011 M: 829).
Advertisement
Hukuman Mati Koruptor
Pada forum nasional yang dihadiri oleh para kiai dari berbagai daerah, PBNU melalui Munas NU 2012 kembali membahas sanksi atas kejahatan korupsi dan membahas kemungkinan pemeriksaan kekayaan seseorang yang diduga hasil korupsi.
Para kiai pada forum itu memandang, “Korupsi merupakan tindak kejahatan yang semakin merebak di negeri ini dan sangat membahayakan negara serta menyengsarakan bangsa. Setiap sumber dana milik negara, dan setiap anggaran belanja negara menjadi incaran untuk menjadi lahan korupsi. Korupsi telah dijadikan jalan pintas tercepat untuk merauk kekayaan yang besar dan lebih besar,” (PBNU, Hasil Putusan Munas-Konbes NU 2012, [Jakarta, LTN PBNU: 2012 M], halaman 62).
Peserta forum Munas dan Konbes NU 2012 menyatakan, korupsi menyebabkan kemiskinan tanpa akhir yang menimpa masyarakat luas. Kasus korupsi yang begitu merebak menjadikan Indonesia pada peringkat tertinggi di dunia.
Munas dan Konbes NU 2012, setelah diskusi dan membahas secara seksama yang didukung literatur keagamaan yang memadai, memutuskan “Menerapkan hukuman mati bagi koruptor adalah mubah (boleh), apabila telah melakukan korupsi berulang kali dan tidak jera dengan berbagai hukuman, atau melakukannya dalam jumlah besar yang dapat membahayakan rakyat banyak,” (PBNU, 2012 M: 63).
Seperti putusan Munas NU 2002 di Pondok Gede, forum Munas NU 2012 memutuskan bahwa seluruh harta hasil korupsi wajib dikembalikan kepada negara meskipun pelaku telah menjalani hukuman penjara. (PBNU, 2012 M: 63).
Adapun terkait pemeriksaan kekayaan yang diduga hasil korupsi, forum Munas NU 2012 menyatakan bahwa tindakan itu wajib dilakukan oleh aparat hukum meski tersangka pelaku telah meninggal dunia untuk mendapatkan kepastian hukum perihal status harta tersebut. “Apabila telah terbukti, bahwa harta tersebut adalah hasil korupsi, maka wajib dikembalikan kepada negara untuk kemaslahatan rakyat dan untuk membersihkan harta warisan dari harta haram,” (PBNU, 2012 M: 63).
Pertentangan Hukuman Mati dan Prinsip HAM Pada forum Muktamar Ke-33 NU pada 1-5 Agustus 2015, muktamirin membahas hukuman mati dalam Islam dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM). Peserta muktamar mengetahui kontroversi hukuman mati dalam Islam dan pelanggaran HAM. Peserta muktamar mencoba mendudukkan persoalan ini secara proporsional.
“Islam secara tegas mensyariatkan hukuman mati sebagai hukuman atas tindak kejahatan pembunuhan, dan berbagai tindak kejahatan berat yang menimbulkan kerusakan besar di tengah masyarakat luas. Hukuman mati dalam Islam merupakan bukti upaya serius untuk memberantas kejahatan berat yang menjadi bencana kemanusiaan,” (PBNU, Hasil-hasil Muktamar Ke-33 NU, [Jakarta, LTN PBNU: 2016 M], halaman 182).
Pada sisi lain, “Islam sangat menghargai kemanusiaan. Dalam Islam hak-hak manusia yang paling asasi disimpulkan dalam apa yang dikenal dengan istilah al-kulliyāt al-khams atau al-dharūriyāt al-khams (lima prinsip pokok), yaitu Hifż ad-dīn, Hifż al-‘aql, Hifż an-nafs, Hifż al-māl, dan Hifż an-nasl/Hifż al-‘irdh,” (PBNU, 2016 M: 182).
Hukuman Mati Koruptor Tak Bertentangan dengan HAM
Hak-hak asasi manusia, termasuk di dalamnya perlindungan terhadap hak hidup, merupakan prinsip yang sangat mendasar dalam syariat Islam. Dan ajaran Islam dalam hal ini telah hadir lebih seribu tahun sebelum Declaration of The Human Rights yang digelar oleh PBB pada 10 Desember 1948. (PBNU, 2016 M: 184).
Forum muktamar menyatakan, hak hidup dan perlindungan terhadap jiwa manusia merupakan salah satu persoalan yang sangat urgen dalam Islam. Setiap upaya yang bertujuan melindungi keselamatan jiwa harus didukung; dan setiap tindakan yang mengarah pada terancamnya keselamatan jiwa harus dicegah. (PBNU, 2016 M: 182).
Meski semangat penegakan HAM dan penjatuhan hukuman mati atas sanksi kejahatan berat tampak bertentangan, bagi peserta muktamar NU 2015 kedua hal tersebut bukan masalah berarti.
“Ini tidak berarti bahwa Islam menutup ruang untuk diterapkannya hukuman mati. Hukuman mati bisa diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang merusak harkat dan martabat manusia dengan beberapa syarat yang ketat, di antaranya dibuktikan dengan alat bukti yang kuat dan meyakinkan. hal ini tidak dianggap bertentangan dengan HAM dalam konsep Islam,” (PBNU, 2016 M: 184).
Pada komisi Bahtsul Masail Ad-Dinniyyah Al-Maudhu’iyyah, peserta muktamar tidak menyebut secara jelas pelanggaran HAM dan hukuman mati bagi koruptor. Tetapi pada komisi rekomendasi, peserta muktamar ke-33 NU menyebut, “Tindak pidana korupsi dan pencucian uang adalah kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan yang menimbulkan mudharat dalam jangka panjang.” (PBNU, 2016 M: 380).
Karena hukuman mati dalam Islam dan semangat penegakan HAM tidak bertentangan, peserta Muktamar ke-33 NU merekomendasikan, “Sanksi untuk pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang meliputi sanksi moral, sanksi sosial, pemiskinan, ta’zir, dan hukuman mati sebagai hukuman maksimal...mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” (PBNU, 2016 M: 380). Wallahu a'lam. (Alhafiz Kurniawan)
(Sumber: https://islam.nu.or.id/syariah/putusan-nu-tentang-korupsi-koruptor-dan-hukuman-mati-lZTSS-)
Tim Rembulan
Advertisement