Liputan6.com, Tehran - Kondisi di Republik Islam Iran masih mencekam. Rakyat masih terus berdemo usai kematian wanita muda bernama Mahsa Amini. Ia meninggal setelah ditangkap polisi moral karena perkara pemakaian hijab yang benar.
Dilaporan AP News, Jumat (23/9/2022), angka kematian disebut mencapai 26 orang. Jumlah itu berdasarkan laporan saluran TV milik pemerintah Iran.
Baca Juga
Advertisement
"Sayangnya, 26 orang dan petugas kepolisian yang hadir di TKP kehilangan nyawa," ujar seorang pembawa berita.
Belum ada statistik kematian resmi dari pemerintah. Namun, AP News menyebut korban tewas sudah mencapai 11 orang pada Kamis (22/9).
Protes Hijab
Pemerintah Iran telah memblokir WhatsApp dan Instagram setelah protes meluas. Namun, banyak video viral di Twitter menampilkan protes para wanita Iran.
Salah satu video yang viral di Twitter berasal dari pengguna bernama Alireza Nader. Video itu menampilkan seorang wanita yang menari di dekat api unggun. Rambutnya bebas tanpa hijab.
"Inilah Iran yang sebenarnya. Wajib hijab bukan budaya kita," ujarnya.
Penulis Harry Potter, JK Rowling, juga masih terus menyuarakan dukungan kepada wanita Iran. Dukungan serupa turut diberikan oleh penulis The Handmaid's Tale, Margaret Atwood.
Melalui Twitternya, JK Rowling meminta dunia ingat nama Mahsa Amini.
"Seluruh dunia perlu terus menyebut namanya. #MahsaAmini meninggal pada usia 22 saat ditangkap polisi karena ia melanggar regulasi hijab. Solidaritas untuk seluruh rakyat Iran yang sedang protes," tulis JKR.
Tolak Polisi Moral
Sebelumnya dilaporkan, situasi di Iran memanas karena kematian wanita muda bernama Mahsa Amini (22). Wanita itu meninggal setelah ditangkap polisi moral karena tidak benar dalam memakai hijab.
Kematian Mahsa Amini memantik demo besar-besaran di Iran. Viral pula video-video beredar di Twitter ketika wanita Iran berani membuka hijab mereka. Penulis Harry Potter, JK Rowling, bahkan ikut mendukung perjuangan para wanita Iran.
Dilaporkan VOA Indonesia, Kamis (22/9), video warganet yang diposting di media sosial tampak menunjukkan protes-protes anti-pemerintah terbaru yang berlangsung di sedikitnya 16 dari 31 provinsi pada hari Selasa. Ini lonjakan besar dari awalnya sedikit provinsi yang terlihat dalam video protes di media sosial dalam empat hari sebelumnya.
VOA tidak dapat memverifikasi secara independen protes-protes selama hampir sepekan itu karena dilarang melaporkan di dalam Iran.
Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan mengatakan pemerintah tidak terkejut protes-protes berkobar di Iran terkait kematian Amini yang ditahan polisi moral negara itu pekan lalu.
Sullivan mengatakan, “Kami tidak terkejut melihat orang-orang dari semua lapisan masyarakat keluar di Iran untuk menentang keras hal itu dan mengatakan ini bukanlah masyarakat yang mereka inginkan. Ini tidak konsisten dengan kewajiban negara manapun di bawah Deklarasi HAM Universal PBB. Dan ini adalah sesuatu yang akan ditentang keras dan tegas oleh AS, sebagaimana yang saya lakukan sebelumnya dan kembali saya lakukan sekarang.”
Advertisement
Penyakit Jantung?
Protes-protes dimulai hari Jumat lalu setelah rumah sakit mengukuhkan kematian perempuan berusia 22 tahun itu. Amini adalah warga minoritas Kurdi Iran yang tinggal di kota Saqez, provinsi Kurdistan, Iran Barat Laut.
Anggota keluarganya melaporkan bahwa polisi moral Iran menangkap Amini sewaktu ia berkunjung ke Teheran pada 13 September lalu. Mereka mengatakan polisi menuduh Amini tidak mengenakan jilbabnya dengan benar, dan membawanya ke kantor polisi di mana ia dilaporkan koma sewaktu berada dalam tahanan dengan perempuan-perempuan lainnya.
Kerabat Amini menuduh polisi Iran menganiayanya di dalam tahanan dan bergegas menguburkannya di Saqez pada hari Sabtu tanpa memberitahu hasil autopsi.
Pihak berwenang membantah telah menganiaya Amini dan menyebut kematiannya adalah karena serangan jantung. Keluarganya mengatakan Amini tidak memiliki riwayat gangguan jantung.
Kecaman Dunia
Pada Selasa (20/9), menghadapi kecaman internasional karena kematian seorang perempuan yang ditangkap polisi moral. Kematian perempuan muda bernama Mahsa Amini itu telah memicu demonstrasi selama tiga hari, termasuk bentrokan dengan pasukan keamanan di ibu kota Teheran dan kerusuhan lain yang menewaskan sedikitnya tiga orang.
Kantor PBB Urusan Hak Asasi Manusia menyerukan penyelidikan atas kematian Amini.
Amerika Serikat, yang tengah berupaya menghidupkan kembali kesepakatan nuklir tahun 2015 dengan Iran, meminta pemerintah negara itu untuk mengakhiri “penganiayaan sistemik” terhadap kaum perempuan.
Italia juga menyampaikan kecaman keras atas kematian Amini.
Di sisi lain, para pejabat Iran menolak kritik yang dilontarkan oleh dunia internasional dan menyebutnya sebagai langkah bermuatan politik, dan menuduh negara-negara asing – yang tidak disebut namanya – mengobarkan kerusuhan.
Secara terpisah, seorang pejabat Iran mengatakan tiga orang tewas dibunuh kelompok bersenjata – yang juga tidak disebut namanya – di wilayah Kurdi, di mana demonstrasi tersebut berawal. Laporan tersebut merupakan konfirmasi pertama tentang kematian terkait demonstrasi dan kerusuhan pasca meninggalnya Amini.
Sementara kantor berita semi-resmi Iran, Fars, pada Senin (19/9) lalu, melaporkan kelompok-kelompok kecil demonstran kembali berkumpul di pusat kota Teheran, meneriakkan “matilah diktator!” Massa yang berjumlah sekitar 300 orang itu juga merusak rambu-rambu jalan.
Gubernur Teheran, Mohsen Mansouri, menuduh kedutaan-kedutaan asing telah memprovokasi demonstrasi itu, dan mengatakan tiga warga asing telah ditangkap. Ia tidak merinci kewarganegaraan dari ketiga orang yang ditangkap itu.
Advertisement