Pengamat: Kenaikan Bunga Acuan BI Jadi 4,25 Persen Wajar Tapi Mengagetkan

Dengan adanya kenaikan suku bunga, masyarakat akan berpikir dua kali untuk melakukan pembelian.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Sep 2022, 18:45 WIB
Gubernur BI Perry Warjiyo bersiap Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia di Jakarta, Kamis (20/6/2019). Rapat memutuskan untuk mempertahankan BI7DRR sebesar 6,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menaikkan bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DDR) sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,25 persen. Analis Utama Ekonomi Politik LAB45 Reyhan Noor mengatakan, meskipun kenaikan suku bunga cukup agresif, tetapi masih dalam batas wajar.

"Kenaikan suku bunga sebesar 50 basis poin cukup mengagetkan meskipun masih dalam rentang yang wajar," katanya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (23/9/2022).

Reyhan menjelaskan, kebijakan BI untuk menaikkan suku bunga sudah tepat. Mengingat, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve juga menaikkan suku bunga.

BI, lanjutnya, pun tidak sendiri dalam menaikkan suku bunga. Beberapa bank sentral negara lain seperti Filipina, Inggris, dan Eropa pun juga melakukan kebijakan yang sama.

"Menurut saya, kebijakan ini sudah tepat mengingat inflasi domestik yang sudah dapat dipastikan meningkat akibat kenaikan harga BBM pada awal bulan lalu," ujarnya.

Lebih lanjut, kenaikan suku bunga juga dinilai berfungsi untuk mengelola ekspektasi masyarakat ke depan. Ekspektasi ini termasuk rencana pembelian barang dan jasa di masa depan.

Dengan adanya kenaikan suku bunga, kata Reyhan, masyarakat akan berpikir dua kali untuk melakukan pembelian. Oleh karena itu, permintaan akan berkurang yang pada akhirnya mempengaruhi harga agar tidak terlalu naik signifikan.

Namun demikian, ia berpandangan harga barang dan jasa yang tinggi tidak serta merta dapat langsung turun karena kenaikan harga bukan karena faktor permintaan yang meningkat.

"Hal ini disebabkan oleh kenaikan harga sebenarnya terjadi bukan karena permintaan yang meningkat melainkan masalah eksternal yang menyebabkan adanya disrupsi supply sejak pandemi covid-19," ujar Reyhan.


Jaga Rupiah

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RGD) Bank Indonesia di Jakarta, Kamis (19/12/2019). RDG tersebut, BI memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 5 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Reyhan menerangkan, kenaikan suku bunga tentunya tidak hanya ditujukan untuk meredam inflasi, melainkan juga bertujuan untuk menjaga stabilitas nilai tukar.

Dalam konteks meredam inflasi, kenaikan suku bunga akan mempengaruhi ekspektasi konsumen sehingga berpotensi mempengaruhi konsumsi dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi.

"Di sisi lain, kenaikan suku bunga justru akan mampu menjaga kinerja ekspor dan impor dalam konteks menjaga stabilitas nilai tukar," ujarnya.

 


Suku Bunga Acuan BI Naik 50 Bps, Jadi 4,25 Persen

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah) menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RGD) Bank Indonesia di Jakarta, Kamis (19/12/2019). RDG tersebut, BI memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga acuan 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) sebesar 5 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Bank Indonesia (BI) berdasarkan Rapat Dewan Gubernur (RDG) 21-22 September 2022 memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bps menjadi 4,25 persen. Sementara suku bunga Deposit Facility naik sebesar 50 bps menjadi 3,5 persen, dan suku bunga Lending Facility juga naik 50 bps menjadi 5 persen.

“Berdasarkan assessment, dan perkiraan ke depan, rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 21-22 September 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 50 bps menjadi 4,25 persen,” kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam pengumuman RDG BI September 2022, Kamis (22/9/2022).

Keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah preemptive dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi inti kembali ke sasaran 3 persen plus minus 1 persen pada paruh kedua tahun 2023, serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat tingginya ketidakpastian pasar keuangan global ditengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat.

Lebih lanjut, Perry menyampaikan perbaikan ekonomi nasional terus berlanjut, dengan semakin membaiknya permintaan domestik dan tetap positifnya kinerja ekspor. Konsumsi swasta tumbuh tinggi didukung dengan kenaikan pendapatan, tersedianya pembiayaan kredit, dan semakin kuatnya keyakinan konsumen seiring dengan meningkatnya mobilitas.

“Dorongan terhadap konsumsi rumah tangga juga didukung dengan kebijakan Pemerintah yang menambah bantuan sosial untuk menjaga daya beli masyarakat, utamanya kelompok bawah dari dampak kenaikan inflasi sebagai konsekuensi pengalihan subsidi BBM,” ujarnya.

 


Perbaikan Ekonomi

Selanjutnya, kenaikan permintaan domestik juga terjadi di investasi, khususnya investasi non bangunan. Berlanjutnya perbaikan ekonomi domestik tersebut tercermin dalam perkembangan indikator dini pada Agustus 2022 dan hasil survei Bank Indonesia terakhir, seperti keyakinan konsumen, penjualan eceran, dan Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur terus membaik.

Dari sisi eksternal, kinerja ekspor terus membaik khususnya ekspor CPO, batubara, besi dan baja seiring dengan permintaan mitra dagang utama yang masih kuat dan kebijakan Pemerintah untuk mendorong ekspor CPO dan pelonggaran akses masuk wisatawan mancanegara.

“Secara spasial kinerja positif ekspor ditopang oleh seluruh wilayah terutama Kalimantan dan sumatera yang tetap tumbuh kuat. Perbaikan ekonomi nasional juga tercermin pada lapangan usaha utama, seperti industri pertambangan, pengolahan, dan pertanian,” pungkasnya.

 

Infografis: Deretan Bank Digital di Indonesia (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya