AS Umumkan Bantuan Kemanusiaan Untuk Pengungsi Rohingya Sebesar Rp 2,5 Triliun

AS telah mengalokasikan dana sebesar US$170 juta atau setara Rp 2,5 triliun untuk bantuan kemanusiaan tambahan bagi warga Muslim-Rohingya.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Sep 2022, 13:30 WIB
Pandangan umum dari Kamp Pengungsi Kutupalong di Cox's Bazar, Bangladesh, Senin (22/7/2019). Lebih dari satu juta etnis Rohingya melarikan diri dari Myanmar dan menetap di Kutupalong yang merupakan salah satu kamp pengungsi terbesar di dunia. (MUNIR UZ ZAMAN/AFP)

Liputan6.com, Washington D.C - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken, pada Kamis (22/9), mengumumkan bahwa AS telah mengalokasikan dana sebesar US$170 juta atau setara Rp 2,5 triliun untuk bantuan kemanusiaan tambahan bagi warga Muslim-Rohingya yang tinggal di dalam dan luar Myanmar.

Dalam pernyataannya, Blinken mengatakan paket bantuan terbaru itu mencakup lebih dari US$93 juta yang diberikan lewat Departemen Luar Negeri dan lebih dari US$77 juta melalui lembaga USAID. Pernyataan tersebut juga menyebutkan bahwa sebanyak US$138 juta khusus diperuntukkan bagi program di komunitas yang menampung para pengungsi Rohingya di Bangladesh.

Blinken mengatakan alokasi tambahan dana terbaru itu membuat total bantuan kemanusiaan yang telah diberikan oleh AS untuk mengatasi krisis pengungsi Rohingya sejak Agustus 2017 mencapai hampir US$1,9 miliar.

“(Bantuan tersebut) memberi dukungan yang menopang kehidupan lebih dari 940.000 pengungsi Rohinya, yang sebagian besar selamat dari kampanye genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan serta pembersihan etnis,” ujar Blinken.

Pada awal tahun ini, pemerintah Amerika Serikat menyatakan kampanye Myanmar melawan Rohingya sebagai genosida, seperti dikutip dari laman VOA Indonesia, Minggu (25/9/2022).

Dalam pernyataan yang dirilis pada Kamis tersebut, diplomat tertinggi AS itu mengatakan paket bantuan terakhir akan memberi makanan, air minum yang aman, perawatan kesehatan, perlindungan, pendidikan, tempat tinggal dan dukungan psikososial pada lebih dari 940.000 pengungsi Rohingya dan 540.000 anggota masyarakat yang menampung para pengungsi di Bangladesh.

Blinken mendesak para donor lain untuk berkontribusi kuat pada mereka yang diusir dari Myanmar dan terdampak kekerasan di sana. Amerika Serikat, tegas Blinken, memuji kemurahan hati rakyat dan pemerintah Bangladesh dan negara-negara lain yang menerima pengungsi Rohingya.

Menyadari bahwa kondisi di Myanmar saat ini tidak memungkinkan untuk memulangkan para warga Rohingya secara aman, berkelanjutan dan reintegrasi dengan kampung mereka, Blinken mengatakan AS kini tengah memperkuat upaya dengan Bangladesh, para pengungsi Rohingya dan mereka yang berada di Myanmar untuk menyelesaikan krisis yang terjadi saat ini.


Pengadilan PBB Tolak Keberatan Myanmar, Kasus Genosida Rohingya Tetap Disidangkan

Pengungsi Rohingya dari Rakhine State, Myanmar di Bangladesh. (Dokumentasi KBRI Dhaka)

Majelis hakim di pengadilan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada hari Jumat (22/7) menolak keberatan awal Myanmar atas kasus yang menuduh negara Asia Tenggara itu bertanggung jawab atas genosida terhadap etnis minoritas Rohingya.

Dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (24/7/2022), keputusan yang menetapkan yurisdiksi Mahkamah Internasional itu memastikan penyelenggaraan sidang yang akan menyiarkan bukti-bukti kekejaman terhadap Rohingya, yang menurut kelompok hak asasi manusia dan hasil penyelidikan PBB telah melanggar Konvensi Genosida tahun 1948.

Maret lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan bahwa penindasan yang disertai kekerasan terhadap populasi Rohingya di Myanmar, yang sebelumnya dikenal sebagai Burma, tergolong genosida.

Tun Khin, presiden Organisasi Rohingya Burma Inggris, menyambut baik keputusan itu. ia mengatakan, 600.000 warga Rohingya “masih menghadapi genosida,” sementara “satu juta orang yang berada di kamp-kamp di Bangladesh, mereka menanti harapan ditegakkannya keadilan.”

Gambia, negara di benua Afrika, mengajukan kasus tersebut tahun 2019 di tengah kemarahan dunia atas perlakuan terhadap warga Rohingya, di mana ratusan ribu di antara mereka melarikan diri ke Bangladesh, negara tetangganya, di tengah tindakan brutal pasukan Myanmar pada 2017. Gambia berpendapat bahwa negaranya dan Myanmar sama-sama penandatangan Konvensi 1948, dan semua penandatangan memiliki kewajiban untuk menjamin konvensi itu ditegakkan.


Disetujui Hakim

Anak-anak pengungsi Rohingya bermain sepak bola di kamp pengungsi Kutupalong di Ukhia (22/3/2022). Ratusan ribu orang Rohingya melarikan diri dari Myanmar setelah tindakan keras tahun 2017, yang menjadi subjek kasus genosida di pengadilan tertinggi PBB di Den Haag. (AFP/Munir Uz Zaman)

Hakim di Mahkamah Internasional setuju.

Saat membacakan kesimpulan keputusan, presiden pengadilan, Hakim AS Joan E. Donoghue, mengatakan: “Setiap negara pihak Konvensi Genosida dapat meminta pertanggungjawaban negara pihak lain, termasuk melalui persidangan di pengadilan.”

Sekelompok kecil pengunjuk rasa pro-Rohingya berkumpul di luar markas Mahkamah Internasional, The Peace Palace, sebelum putusan itu diumumkan, sambil membentangkan spanduk bertuliskan: “Percepat penegakkan keadilan bagi Rohingya. Penyintas genosida tidak bisa menunggu bergenerasi-generasi.”

Salah satu pengunjuk rasa menginjak-injak foto pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.

Pengadilan menolak argumen para pengacara Myanmar dalam sidang Februari lalu bahwa kasus itu harus dibatalkan karena pengadilan dunia hanya mengatur perselisihan antarnegara dan bahwa keluhan mengenai Rohingya itu diajukan oleh Gambia atas nama Organisasi Kerja sama Islam.


Tolak Klaim Myanmar

Pengungsi etnis Rohingya berada di atas kapal milik nelayan Indonesia di pesisir Pantai Seunuddon, Aceh Utara (24/6/2020). Para pengungsi Rohingya diselamatkan nelayan Aceh setelah kapal yang ditumpangi puluhan pengungsi itu rusak. (AP Photo/Zik Maulana)

Majelis Hakim juga menolak klaim Myanmar bahwa Gambia tidak dapat mengajukan gugatan karena negara itu tidak terkait secara langsung dengan peristiwa di Myanmar dan bahwa tidak ada sengketa hukum yang terjadi di antara kedua negara sebelum kasus itu diajukan.

Militer Myanmar meluncurkan apa yang disebutnya sebagai kampanye pembersihan di negara bagian Rakhine tahun 2017 menyusul sebuah serangan oleh kelompok pemberontak Rohingya. Lebih dari 700.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, negara tetangganya. Pasukan keamanan Myanmar telah dituduh melakukan perkosaan, pembunuhan dan pembakaran ribuan rumah warga Rohingya. 

Infografis Penangkapan Aung San Suu Kyi dan Kudeta Militer Myanmar. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya