Liputan6.com, Jakarta - Obligasi bertenor jangka panjang dinilai lebih menarik ketimbang obligasi bertenor jangka pendek untuk kemungkinan hadapi volatilitas.
Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk, kebijakan bank sentral terutama bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) menyita perhatian. Hal itu menimbulkan pertanyaan kenaikan suku bunga, apakah memperlambat inflasi?
Advertisement
Bank sentral AS menaikkan suku bunga acuan ke level tertinggi dalam 15 tahun terakhir seiring langkah meredam inflasi dari kendala pasokan dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Pada pertemuan September 2022, the Fed menaikkan suku bunga acuan 0,75 persen sehingga dorong bunga acuan 3-3,25 persen. Konsensus prediksi bunga acuan the Fed berada di posisi 4,2 persen-4,4 persen pada akhir 2022. Suku bunga acuan itu lebih tinggi dari 3,5 persen yang diharapkan awal bulan lalu.
Tingkat bunga acuan tersebut juga diprediksi tetap tinggi pada 2023 sebelum pelonggaran dimulai pada 2024. Sejumlah bank sentral telah ikuti langkah the Fed menaikkan suku bunga acuan secara agresif. Hal ini juga dilakukan Bank Indonesia (BI).
Bank Indonesia telah menaikkan dua kali bunga acuan dengan total 75 basis poin pada 2022. Bank Indonesia dongkrak bunga acuan pada Agustus dan September seiring tekanan inflasi dan bahan bakar. Dengan demikian, biaya transportasi meningkat.
Suku bunga acuan Bank Indonesia menjadi 4,25 persen pada pertemuan September 2022. Diperkirakan jarak 100 basis poin dengan bunga acuan the Fed. Ini adalah jarak terendah antara bank sentral Indonesia dan the Fed.
Adapun median berada di 300-350 basis poin. Ashmore menilai, Bank Indonesia sangat tidak mungkin mempertahankan bunga acuan. “Hal ini terutama ketidakpastian pada 2022 akan meningkatkan risiko mata uang,” tulis Ashmore.
Melihat kondisi tersebut, Ashmore percaya peluang obligasi jangka panjang yang saat ini terlihat menarik sementara obligasi berdurasi jangka pendek hadapi volatilitas.
Data Ekonomi Pekan Ini
Pada pekan ini, ada sejumlah rilis data ekonomi yang rilis antara lain bank sentral Amerika Serikat menaikkan bunga 75 basis poin ke kisaran 3 persen-3,25 persen pada pertemuan September 2022.
Kenaikan bunga acuan ini tiga kali berturut-turut dan mendorong biaya pinjaman ke level tertinggi sejak 2008. Bank sentral AS juga beri sinyal kenaikan bunga ke depan.
Selain itu, tingkat inflasi tahunan Kanada melambat menjadi 7 persen pada Agustus 2022 dari posisi Juli 2022 di kisaran 7,6 persen. Inflasi tersebut juga berada di bawah perkiraan pasar 7,3 persen.
Di sisi lain, bank sentral Eropa menaikkan bunga acuan 75 basis poin yang belum pernah terjadi sebelumnya pada September 2022. Sebelumnya, bank sentral Eropa menaikkan bunga acuan 50 basis poin pada Juli 2022 dan sesuai dengan harapan.
Bank sentral Inggris atau Bank of England dongkrak suku bunga 50 basis poin menjadi 2,25 persen pada September 2022. Kenaikan suku bunga acuan itu tujuh kali berturut-turut dan mendorong biaya pinjaman ke level tertinggi sejak 2008.
Bank of Japan mempertahankan bunga jangka pendek minus 0,1 persen. Sementara itu, imbal hasil obligasi bertenor 10 tahun nol persen pada pertemuan September 2022.
Di sisi lain, Bank Indonesia menaikkan bunga acuan 50 basis poin menjadi 4,25 persen pada pertemuan September 2022. Kenaikan suku bunga acuan itu langkah yang mengejutkan seiring pasar harapkan kenaikan suku bunga acuan 25 basis poin dan itu mendorong biaya pinjaman ke posisi tertinggi sejak Juni 2020.
Advertisement
Suku Bunga Tinggi Bakal Efektif Redam Inflasi
Sebelumnya, makro ekonomi Indonesia positif akan menopang pasar obligasi dalam jangka menengah. Hal ini seiring tekanan global dengan bank sentral menaikkan suku bunga.
Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, ditulis Minggu, 11 September 2022, Bank Sentral Eropa mengumumkan menaikkan suku bunga 75 basis poin menjadi 1,25 persen.
Ini kenaikan dua kali berturut-turut setelah menaikkan suku bunga untuk pertama kalinya dalam 11 tahun pada pertemuan Juli 2022. Ashmore Asset Management Indonesia menilai, ini bukan langkah yang mengejutkan tetapi lebih dari konfirmasi kalau saat ini berakhirnya erah dengan pembiayaan murah.
“Dan sinyal sudut pandang bank sentral Eropa kalau kita mungkin bersiap untuk waktu yang tidak pasti dengan harga energi lebih tinggi dan krisis geopolitik,” tulis Ashmore.
Christine Lagarde juga telah mengindikasikan bank sentral siap mengumumkan kenaikan suku bunga lebih lanjut untuk atasi inflasi tinggi dan menurunkannya ke 2 persen. Inflasi utama Euro mencapai rekor di posisi 9,1 persen pada Agustus 2022.
Lalu bisakah kenaikan suku bunga menjaga mata uang dan inflasi?
Kenaikan suku bunga diharapkan dapat mengurangi selisih antara suku bunga acuan bank sentral Eropa (ECB) dan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) terutama dengan melemahnya mata uang imbas perang dan untuk kurangi inflasi seiring sebagian besar impor lebih mahal.
Risiko
Namun, risikonya masih terletak pada potensi dalam resesi di Uni Eropa karena perang yang sedang berlangsung antara Rusia-Ukraina, masalah pasokan energi yang mungkin memperburuk musim dingin yang akan datang ini.
Sementara itu, banyak produsen energi meningkatkan produksi sehingga ada kemungkinan harga tetap tinggi untuk jangka menengah. Di sisi lain, pertumbuhan lain melambat sehingga target inflasi dua persen tercapai.
Terkait investasi obligasi di negara berkembang akan berlanjut hadapi tekanan jelang banyak negara dengan rating investasi tinggi akan menaikkan suku bunga dan potensi tarik dana dari negara berkembang termasuk Indonesia.
“Kami melihat makro ekonomi Indonesia telah meningkat dan tekanan terukur dalam jangka pendek untuk pasar obligasi. Sementara pertumbuhan terefleksi pada pasar saham yang tetap kuat, kami tetap rekomendasikan untuk overweight saham dan obligasi pada sisa akhir tahun,” tulis Ashmore.
Advertisement