Liputan6.com, Roma - Pertama dalam sejarah, Italia berpotensi mendapatkan pemimpin wanita. Sosok tersebut adalah Giorgia Meloni (45) yang merupakan pemimpin Partai Konservatif dan Reformis Eropa.
Berdasarkan laporan BBC, Senin (26/9/2022), Giorgia Meloni unggul di pemilu Italia 2022 pada hitungan exit poll. Meloni tercatat pemimpin partai sayap kanan.
Baca Juga
Advertisement
Exit poll oleh lembaga Rai memprediksi Meloni menang 22-26 persen suara, mengalahkan rivalnya Enrico Lette yang berhaluan kiri-tengah.
Perolehan suara Enrico Lette tepat berada di belakang Giorgia Meloni, yakni antara 25,5 persen hingga 29,5 persen. Selanjutnya ada Giuseppe Conte dari Gerakan Lima Bintang.
Giuseppe Conte sebetulnya juga berhaluan politik tengah-kiri seperti Enrico Lette, namun keduanya tidak setuju dalam hal kebijakan.
Angka golongan putih alias golput cukup tinggi, yakni hanya 63,82 persen warga yang ikut nyoblos. Angka itu turun 10 poin dari pemilu 2018. Level nyoblos terutama rendah di daerah selatan, seperti Sisilia.
AP News menyebut polling dari Rai memiliki margin of error 3,5 persen poin.
Meski partai Meloni menang, nantinya presiden Italia yang akan memimpin siapa yang akan menjadi perdana menteri.
Tidak Disukai Uni Eropa?
Pemerintah Meloni berpotensi membangun pemerintahan paling sayap kanan di Italia sejak Perang Dunia II. Kondisi ini bisa membuat pusing Uni Eropa di tengah invasi Rusia.
BBC menyebut retorika Meloni mirip dengan gaya pemimpin Hungaria, Viktor Orban. Hal lain yang disorot adalah ia ingin membatasi hak LGBT dan para imigran. Pernikahan sesama jenis belum legal di Italia, pemerintah hanya menyediakan civil union bagi pasangan sesama jenis.
Meloni berusaha untuk memperbaiki citranya. Ia menegaskan dukungan pada Ukraina dan mengurangi retorika anti-Uni Eropa.
Rusia Dikabarkan Bakal Klaim Sejumlah Wilayah Ukraina pada 30 September 2022
Beralih ke konflik di Rusia, pemerintah Rusia bersiap secara resmi mengklaim wilayah-wilayah Ukraina. Proses pengangkatan (accession) itu rencananya dilakukan Rusia pada 30 September 2022.
Wilayah yang akan diklaim adalah Donetsk, Luhansk (Lugansk), Kherson dan Zaporozhye yang sudah menggelar referendum. Para pemimpin internasional menyebut referendum tersebut bersifat tipu-tipu.
Rusia tetap akan mengklaim wilayah-wilayah tersebut berdasarkan hasil referendum yang telah dilakukan pada Jumat (23/9).
"Menimbang hasil awal referendum-referendum dan kesiapan Rusia untuk mengakui mereka, pengangkatan wilayah-wilayah tersebut kemungkinan besar terjadi paling awal 30 September," ujar seorang anggota parlemen Rusia kepada media pemerintah Rusia, TASS, Minggu (25/9/2022).
Ada kemungkinan Presiden Rusia Vladimir Putin akan ikut serta, meski belum ada kepastian.
Deputi kepala faksi Partai Demokrat Liberal Rusia, Yaroslav Nilov, berkata bahwa anggota Duma (parlemen Rusia) belum diberitahu mengenai rencana-rencana tersebut. Namun, ia mengakui ada acara penting pada 30 September 2022. Anggota parlemen lantas diminta melakukan tes COVID-19.
"Para senator telah dibertahu untuk lolos tes PCR sebanyak tiga kali agar bisa ikut serta pada acara penting di 30 September," ujar Yaroslav Nilov.
Referendum di Donetsk, Luhansk (Lugansk), Kherson dan Zaporozhye terjadi di tengah invasi Rusia. Pemimpin dunia seperti Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan Kanselir Jerman Olaf Scholz telah mengecam referendum tersebut.
Presiden Prancis Emmanuel Macron juga berkata referendum tersebut tidak akan memberikan dampak hukum apa-apa.
Ini bukan pertama kalinya Rusia merebut wilayah Ukraina melalui "referendum". Pada 2014, Rusia juga melakukan hal yang sama pada Krimea, namun tidak diakui komunitas internasional.
Advertisement
Sidang Umum PBB 2022: Menlu Belanda Kecam Brutalitas Rusia di Ukraina
Menteri Luar Negeri Belanda Wopke Hoekstra turut menyuarakan kritiknya terhadap Rusia yang menginvasi Ukraina. Ia menyebut tindakan Rusia sebagai hal yang brutal.
Hoekstra menyuarakan hal itu saat menyimak pidato Presiden Amerika Serikat Joe Biden di Sidang Majelis Umum PBB (UNGA) yang mengecam Rusia.
"Saya menyambut ucapan di UNGA oleh POTUS. Kerajaan Belanda berdiri bersama AS dalam menyorot agresi Rusia terhadap Ukraina dan rakyatnya. Mobilisasi militer parsial dan referendum tipu-tipu dalam daerah Ukraina yang diduduki oleh Rusia adalah pelanggaran langsung Piagam PBB," ujar Menlu Belanda Wopke Hoekstra melalui Twitter, dikutip Jumat (23/9).
"Kita tetap harus bersatu dalam mengecam brutalitas Rusia dan melanjutkan dukungan terhadap Ukraina dengan cara yang kita bisa," ucapnya.
Masalah referendum tipu-tipu itu juga dibahas oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam pidatonya yang berapi-api di Sidang Umum PBB 2022. Rusia dikecam karena ingin mengadakan referendum di daerah yang mereka duduki secara militer.
Menurut laporan AP News, referendum itu terjadi di daerah separatis Luhansk dan Donetsk yang berada di timur Ukraina. Pejabat-pejabat yang dibeking Moskow di Kherson dan Zaporizhzhia di selatan juga meminta voting.
Kanselir Jerman Olaf Scholz juga setuju bahwa referendum itu adalah tipu-tipu. Presiden Prancis Emmanuel Macron berkata referendum itu tidak punya dampak hukum apa-apa. Sementara, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menilai retorika referendum Rusia itu hanya pengalihan isu.
Presiden Macron: Besok Putin Mungkin Serang Asia
Presiden Prancis Emmanuel Macron berapi-api saat pidato di Sidang Majelis Umum PBB 2022 di New York. Ia pun dan mengingatkan dunia agar tidak cuek terkait Perang Rusia-Ukraina.
Pasalnya, Presiden Macron khawatir Rusia akan menyerang daerah lain juga setelah negara tetangganya sendiri.
"Hari ini di Eropa, tetapi mungkin besok di Asia, di Afrika, atau Amerika Latin," ujar Presiden Prancis Emmanuel Macron di Markas PBB, disiarkan situs resmi UN, Kamis (22/9).
Presiden Macron juga berkata bahwa Mahkamah Internasional telah menetapkan invasi Rusia sebagai hal yang ilegal, serta agar Rusia mundur dari Ukraina.
Lebih lanjut, Presiden Macron bahkan menyebut Rusia membangkitkan lagi imperialisme ketika menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022.
"Apa yang kita lihat pada 24 Februari adalah kembali ke imperialisme dan kolonialisme. Prancis menolak hal tersebut dan terus mengupayakan perdamaian" ujar Presiden Prancis.
Delegasi Rusia tampak tidak berekspresi ketika mendengar pidato Presiden Emmanuel Macron.
Advertisement