Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak Brent turun di bawah USD 85 per barel pada penutupan perdagangan Senin. Penurunan patokan harga minyak dunia ini karena kekhawatiran resesi dan juga penguatan dolar AS.
Mengutip CNBC, Selasa (27/9/2022) harga minyak Brent berjangka untuk pengiriman November turun 2,1 persen menjadi diperdagangkan pada USD 84,32 per barel sekitar pukul 13:20 di Wall Street.
Advertisement
Sedangkan harga minyak West Texas Intermediate berjangka turun 2,3 persen diperdagangkan pada USD 76,97 per barel, harga terakhir yang pernah disentuh pada awal Januari 2022.
Dolar AS melonjak ke level tertinggi yang tidak terlihat sejak 2002 pada perdagangan Senin, sementara ponds sterling jatuh ke rekor terendah terhadap mata uang tersebut.
Pada perdagangan Jumat lalu, baik harga minyak Brent dan WTI berjangka turun sekitar 5 persen.
Direktur Penelitian Energy Aspects Amrita Sen menjelaskan, penurunan harga minyak dunia ini karena sentimen makro yang dipimpin oleh penguatan dolar AS yang memicu kekhawatiran resesi.
"Lonjakan terhadap mata uang lain berarti aset berdenominasi dolar AS seperti minyak menjadi lebih mahal bagi investor yang memegang mata uang asing. Ini membebani harga minyak berjangka," kata Associate Editorial Director for EMEA Crude and Fuel Oil S&P Global, John Morley.
Ini terjadi ketika bank sentral di seluruh dunia, termasuk AS dan Inggris, terus menaikkan suku bunga dalam upaya mengatasi inflasi.
Terus Memburuk
Tim analis Saxo Bank mengatakan sentimen pasar terus memburuk.
"Tekanan tak henti-hentinya pada komoditas, termasuk minyak mentah, berlanjut setelah sesi suram Jumat lalu yang melihat penguatan dolar AS yang dipercepat dan pesimisme pertumbuhan menyebabkan riak melalui pasar," kata Kepala analis Komoditas Saxo Bank Ole Hansen.
"WTI diperdagangkan di bawah USD 80 per barel sementara kembalinya ke pertengahan 80-an di Brent akan segera melihat tindakan OPEC+ untuk mendukung harga," katanya.
Ketika Rusia memperingatkan tidak akan memasok minyak mentah dan gas dan komoditas lain ke negara-negara yang setuju untuk membatasi harga minyak mentahnya dan pasar mengantisipasi resesi, sektor energi bisa menjadi yang pertama menemukan dukungan begitu dolar AS stabil.
Advertisement
Prediksi Profesor AS
Kekhawatiran seputar perlambatan ekonomi terus meningkat. Profesor ekonomi terapan di Universitas Johns Hopkins Steve Hanke menempatkan kemungkinan bahwa AS akan jatuh ke dalam resesi sebesar 80 persen.
“Jika [The Fed] melanjutkan pengetatan kuantitatif dan memindahkan tingkat pertumbuhan dan M2 (penawaran uang) ke wilayah negatif, itu akan parah,” kata Hanke kepada “Street Signs Asia” CNBC pada hari Jumat.