Liputan6.com, Jakarta - Nabi Muhammad SAW dilahirkan dari nasab mulia. Ayahnya bernama Abdullah bin Abdul Muthalib, sedangkan ibunya adalah Aminah binti Wahab.
Kedua orangtua Nabi Muhammad SAW merupakan saudara jauh, dan bertemu di silsilah Bani Kilab, hingga Ismail, Ibrahim AS dan Nabi Adam AS. Pernikahan keduanya hanya menurunkan satu putra saja, yakni Muhammad SAW.
Abdullah adalah anak dari Abdul Muthalib, pemuka Makkah yang juga penjaga Ka'bah. Penjaga Ka'bah berasal dari golongan paling mulia suku Quraisy, Bani Hasyim.
Diriwayatkan, ayah Nabi Muhammad SAW, Abdullah lahir pada periode kalender Arab zaman jahiliyah. Diperkirakan Abdullah lahir pada 545 M.
Baca Juga
Advertisement
Abdullah bin Abdul Muthalib memiliki sembilan saudara. Dari kesemuanya, dalam diri Abdullah bin Abdul Muthalib ditemukan berbagai kemuliaan sehingga beliau sangat dikagumi bangsa Quraisy.
Abdullah bin Abdul Muthalib wafat saat masih berusia muda, yakni 25 tahun, tepatnya pada 570 M, bertepatan dengan tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ketika wafat, putranya yang mulia, Nabi Muhammad SAW masih berada di dalam kandungan ibundanya, Aminah.
Abdullah meninggal dunia di Yatsrib atau Madinah dan dimakamkan di sana. Ketika itu, beliau menjadi bagian dari kafilah dagang Quraisy ke Syam.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Pencarian Sumur Zamzam dan Nazar Kakek Nabi Muhammad
Tidak terlalu banyak riwayat yang mengisahkan ayahnda Nabi, Abdullah bin Abdul Muthalib. Namun, salah satu kisahnya cukup spektakuler, lantaran bersamaan dengan penemuan sumur Zamzam.
Seperti diketahui, pada zaman Arab kuno, sumur Zamzam pernah dihilangkan karena peperangan. Pada Zaman kakek Nabi, Abdul Muthalib, sumur Zamzam kembali dicari dan akhirnya ditemukan.
Dalam proses pencarian sumur Zamzam, Abdul Muthalib bernazar akan mengurbankan salah satu anaknya jika ia memiliki 10 anak, sebagaimana Ibrahim hendak mengurbankan anaknya, Ismail. Dari 10 anak, Abdul Muthalib akan mengurbankan salah satunya.
Allah SWT pun mengaruniainya sepuluh orang anak. Ia pun harus menebus nazarnya dengan memilih salah satu dari sepuluh anak tersebut untuk dijadikan kurban dengan sistem undian.
Tanpa disangka, nama Abdullah yang keluar. Dengan berat hati, Abdul Muthalib pun bersedia menunaikan nazarnya dan hendak menyembelih Abdullah, anak terkasihnya.
Advertisement
Hukum Diyat untuk Pengganti Qishas
Namun, semua orang menentang dan menghalangi Abdul Muthalib untuk menyembelih Abdullah. Selain dikarenakan Abdullah sosok yang sangat mereka kagumi di Makkah, mereka juga mengkhawatirkan apabila hal tersebut menjadi rujukan kaumnya dalam bernazar.
Abdul Muthalib pun mencari jalan keluar dengan cara mendatangi seseorang yang bijaksana di Syam. Kemudian Abdul Muthalib disarankan untuk melakukan undian lagi dengan mencantumkan nama Abdullah dan sepuluh unta.
Namun nama Abdullah tetap saja keluar hingga setelah mencapai 100 ekor unta dalam undian tersebut, barulah keluar nama unta. Akhirnya Abdul Muthalib menyembelih 100 ekor unta yang kemudian dibagikan kepada warga.
Dari sinilah berlaku ketetapan diyat (tebusan) bagi seorang pembunuh yang tidak diqishas maka di wajibkan untuk membayar diyat yang berjumlah atau senilai dengan 100 ekor unta.
Al-Mubarakfuri dalam al-Rahiqul Makhtum menyebut bahwa hikmah dari keadaan yatim Rasulullah adalah agar Allah SWT langsung yang mendidik Nabi Muhammad SAW, yang dalam salah satu hadis disebut: Laqad addabani rabby, fa ahsana ta’diby.