Liputan6.com, Jakarta - Meski judulnya kocak, bukan berarti kisah ini tak mengandung hikmah. Ada faedah setelah membaca kisah Khalifah Abu Ja'far al Manshur atau lebih populer disebut Al Manshur ketika kebelet poligami.
Terlebih, kisah ini juga melibatkan Abu Hanifah, ulama besar yang lantas banyak diikuti oleh murid-muridnya dan akhirnya melahirkan mazhab Hanafi. Kenapa disebut sultan? biar lebih simpel saja.
Abu Jafar Abdullah bin Muhammad Al Manshur merupakan Khalifah kedua Bani Abbasiyah. Ayahnya adalah Muhammad, cicit dari Abbas bin Abdul Muthalib, paman sekaligus sahabat Nabi Muhammad SAW.
Nah, ceritanya begini. Syahdan, rumah tangga Al Manshur sedang tidak dalam kondisi baik. Al Manshur dan istrinya bersitegang.
Baca Juga
Advertisement
Ini bermula dari keinginan Al Manshur yang ingin kawin lagi. Namun rupanya sang istri keberatan. Meskipun raja, Al Manshur menghormati istrinya.
Bukan sultan namanya jika kehabisan akal. Untuk meluluhkan istrinya, Al Manshur mengundang Abu Hanifah, seorang ulama yang sangat dihormati. Dia butuh hujjah agar istrinya merestui keinginannya untuk memperistri wanita lain.
Berasal dari keluarga terhormat dan terdidik, Al Almanshur tentu paham, ada dalil diperbolehkannya poligami. Dia tentu berharap agar kedatangan Abu Hanifah akan melancarkan niatnya untuk poligami.
“Wahai Abu Hanifah, Harrah (nama istri khalifah) tidak sependapat denganku. Berilah penjelasan untuk menyelesaikan masalah ini,” pinta Al-Manshur kepada Abu Hanifah
“Katakan saja apa masalahnya, wahai Amirul Mu’minin,” Abu Hanifah mempersilakan.
“Emm, begini. Berapakah batas istri yang boleh dinikahi satu orang laki-laki?” tanya Al-Manshur. “Empat,” jawab Abu Hanifah singkat.
Al Manshur pun semringah dengan jawaban itu. Lantas dia melancarkan berbagai pertanyaan untuk semakin memperkuat alasannya berpoligami.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Sikap Tegas Abu Hanifah Berdasar Fiqih
“Jika memperistri hamba sahaya, berapa batasannya?” kembali Al Manshur bertanya.
“Kalau itu tidak ada batasan. Silakan berapa saja.” jawab Abu Hanifah, tegas.
“Jika ada orang yang tidak setuju dengan aturan ini, bagaimana hukumnya?”
“Ya jelas tidak boleh.”
“Baik, kalau begitu saya paham,” Semakin berbinar wajah Al Manshur.
Mendengar jawaban Abu Hanifah itu, Al-Manshur optimis istrinya akan menurut dan merestui keinginannya untuk poligami. Dengan percaya diri, Al Manshur berbisik kepada istrinya,"Kau dengar sendiri kan jawaban Syekh (Abu Hanifah) tadi?”
Namun, belum sempat sang istri menimpali, Abu Hanifah melanjutkan jawabannya yang belum selesai. “Tapi dengarkan dulu wahai Amirul Mu’minin. Saya belum selesai. Ini semua berlaku hanya bagi laki-laki yang mampu berbuat adil. Jika belum mampu atau khawatir tidak bisa, maka ia hanya boleh memiliki satu istri,” ujar Abu Hanifah.
Abu Hanifah kemudian mengutip firman Allah:
فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً
Artinya: “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (QS An-Nisa [4]: 3)
“Kita harus tetap berpegang teguh pada aturan-aturan yang telah Allah tetapkan,” pungkas Abu Hanifah. Al-Manshur pun terdiam cukup lama. Sementara Abu Hanifah lekas keluar dari istana. (Abdul Aziz al-Badri, Al-Islam Bainal Ulama wal Hukama, 2011: 91-92).
Jawaban Abu Hanifah itu sontak membuat Al Manshur terbengong. Abu Hanifah memberikan hujjah dengan jelas dan tegas.
Advertisement
Syarat Adil dalam Islam untuk Poligami
Mengutip laman NU, mampu berlaku adil kepada semua istri merupakan syarat mutlak dalam berpoligami. Baik adil dalam memberi nafkah, memberi jatah giliran, dan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga lainnya.
Syarat adil ini tidak berlaku dalam urusan kesetaraan perasaan cinta dan sayang bagi semua istri karena hal itu di luar batas kemampuan suami sebagai manusia pada umumnya. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala berikut:
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
Artinya: “Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS A-Nisa [4]: 129)
Hanya saja, penting kita perhatikan catatan Wahbah az-Zuhaili terkait hal ini. Poligami hanya boleh dilakukan jika betul-betul dalam kondisi darurat. Kemudian, Az-Zuhaili menegaskan bahwa sebenarnya rumah tangga ideal dalam Islam adalah hanya dengan memiliki satu istri (monogami).
Poligami merupakan solusi terakhir yang tidak sesuai dengan prinsip dasar rumah tangga. Berikut adalah paparan Az-Zuhaili:
"Monogami merupalan sistem perkawinan paling utama. Sistem monogami ini lazim dan asal/pokok dalam syara’. Sedangkan poligami adalah sistem yang tidak lazim dan bersifat pengecualian. Sistem poligami menyalahi asal/pokok dalam syara’. Model poligami tidak bisa dijadikan tempat perlindungan (solusi) kecuali keperluan mendesak karenanya syariat Islam tidak mewajibkan bahkan tidak menganjurkan siapapun untuk melakukan poligami. Syariat Islam hanya membolehkan praktik poligami dengan sebab-sebab umum dan sebab khusus,” (Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 1985: juz 7, halaman 169). Wallahu a’lam.
Tim Rembulan