Covid-19 Tekan Ekonomi, Orang Kaya China Mulai Jual Tas Hermes hingga Jam Rolex

Warga China mulai menjual tas Hermes hingga jam tangan Rolex untuk dimasukkan sebagai simpanan di tengah ketidakpastian ekonomi akibat Covid-19.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 28 Sep 2022, 15:50 WIB
Seorang wanita mengenakan masker berjalan ke sebuah pusat perbelanjaan di Beijing, China, Selasa (14/12/2021). Kasus pertama varian omicron COVID-19 telah terdeteksi di daratan negara di kota Tianjin di sebelah timur Beijing. (AP Photo/Ng Han Guan)

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah orang kaya di China mulai menjual barang mewah mereka, di antaranya tas Hermes hingga jam tangan Rolex, untuk memperbesar simpanan uang tunai di tengah ketidakpastian ekonomi, ketika negara itu masih memberlakukan kebijakan nol-Covid-19.

Namun, situasi ini menjadi keuntungan bagi Zhu Tainiqi, pendiri toko barang mewah bekas ZZER yang berbasis di Shanghai, yang sekarang mencari ruang toko untuk memperluas bisnisnya.

Mantan pemodal ventura melihat lonjakan orang yang ingin menjual tas Hermes Birkin atau jam tangan Rolex mereka untuk mengumpulkan uang, serta lonjakan minat dari pembeli yang memperketat ikat pinggang.

"Semakin banyak orang sekarang sadar bahwa mereka dapat menjual barang-barang mewah untuk sejumlah uang dan pihak pembeli memperhatikan bahwa mereka bisa menjualnya dengan nilai besar," kata Zhu, dikutip dari Channel News Asia, Rabu (28/9/2022). 

"Mereka berpikir, 'Mengapa tidak mencoba menjualnya?," lanjut dia.

Dia mengatakan jumlah pengirim ZZER, atau orang yang menitipkan penjualan barang mereka, telah melonjak 40 persen sejauh ini pada tahun 2022 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Platform tersebut bahkan sudah memiliki 12 juta member penjual dan mengharapkan untuk menjual 5 juta barang mewah tahun ini.

Pasar barang mewah bekas China diperkirakan akan tumbuh hingga sebesar USD 30 miliar pada 2025 mendatang dari USD 8 miliar pada 2020, menurut perkiraan konsultan iResearch akhir tahun lalu.

"Saya pikir karena minat di China ... benar-benar dapat menggerakkan jarum untuk beberapa merek berpikir tentang bagaimana mereka akan menangani (penjualan kembali) ini, dan peran apa yang akan mereka mainkan dalam keseluruhan proses," kata Iris Chan, partner dan kepala pengembangan klien di konsultan Digital Luxury Group.


Mulai Menarik Minat

Seorang wanita memakai masker saat mengunjungi pusat perbelanjaan di Beijing, China, Selasa (14/12/2021). Kasus pertama varian omicron COVID-19 telah terdeteksi di daratan negara di kota Tianjin di sebelah timur Beijing. (AP Photo/Ng Han Guan)

Seorang pekerja kantoran di China, yakni Wang Jianing mengungkapkan bahwa dia telah merubah preferensinya untuk berbelanja produk barang mewah bekas, mengingat situasi ekonomi.

"Konsumsi saya pasti akan diturunkan (tahun ini), tapi saya tetap menyukai apa yang saya beli, dan saya tidak bisa mengendalikan keinginan untuk membelinya," katanya, saat diwawancara di depan dinding yang memajang tas Louis Vuitton dan Gucci di Gudang ZZER di pusat kota Shanghai yang luas.

ZZER mengandalkan sentimen seperti Wang untuk pertumbuhan.

Perusahaan, yang dimulai sebagai platform online pada tahun 2016, mulai membuka toko offlinenya di Shanghai dan Chengdu tahun lalu dan sekarang mencari lebih banyak ruang toko di Beijing, Guangzhou dan Shenzhen.

Selain ZZER, platform toko barang mewah bekas yang dikenal di China lainnya adalah Feiyu, Ponhu dan Plum.

Masing-masing dari mereka mampu menarik puluhan juta dolar dana modal ventura pada tahun 2020 dan 2021 dengan tujuan untuk meningkatkan praktik otentikasi, memperluas jangkauan pelanggan dan, dalam beberapa kasus, beralih dari model online-only ke online-offline.


Kebijakan Covid-19 Tak Kunjung Longgar, 1.800 Perusahaan Eropa Bingung Berbisnis di China

Pengendara melewati penghalang di sekitar komunitas di Shanghai (2/6/2022). Lalu lintas, pejalan kaki dan pelari muncul kembali di jalan-jalan Shanghai ketika kota terbesar di China mulai kembali normal di tengah pelonggaran penguncian COVID-19 dua bulan yang ketat atas penerapannya. (AP Photo/Ng Han Guan)

Kamar Dagang Uni Eropa mengungkapkan bahwa kebijakan nol-Covid-19 melumpuhkan operasi bisnis Eropa di China.

Dilansir dari The Straits Times, Senin (26/9/2022) Kamar Dagang UE di China, yang mencakup lebih dari 1.800 perusahaan Eropa di negara itu, mengatakan dalam sebuah laporan bahwa kebijakan nol-Covid-19 dan ketidakpastian berdampak negatif pada 75 persen operasi anggotanya.

"Lingkungan bisnis China masih tidak dapat diprediksi selama ada ancaman lockdown," kata organisasi itu.

Kamar Dagang UE menambahkan bahwa situasi tersebut telah mendorong hampir seperempat perusahaan untuk mempertimbangkan mengalihkan investasi saat ini atau yang direncanakan ke China, persentase tertinggi dalam dekade terakhir.

Terlepas dari potensi pertumbuhan China yang signifikan, "tingkat keterlibatan perusahaan-perusahaan Eropa tidak dapat lagi diterima begitu saja", kata laporan itu.

China pada Juni 2022 mengurangi waktu karantina bagi pelancong yang datang dari 21 menjadi 10 hari, tetapi kurangnya penerbangan dan harga tiket yang tinggi tetap menjadi kendala utama untuk bepergian.

Penutupan perbatasan China sejak 2020 juga mempercepat eksodus WNA dari Eropa dan membuat mereka yang masih berada di negara itu terisolasi, menurut laporan Kamar Dagang UE.

Jika Beijing terus bertahan dengan kebijakan tersebut, "lingkungan bisnis akan terus menjadi lebih menantang", sebut Kamar Dagang UE.

Dalam kata pengantar laporan tersebut, Presiden Kamar Eropa Joerg Wuttke menulis bahwa "seluruh dunia sebagian besar telah melanjutkan tingkat 'normalitas' pra-pandemi, tetapi China tetap enggan untuk membuka pintunya".

Infografis 6 Rekomendasi WHO untuk Akhiri Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya