Liputan6.com, Jakarta - PT PLN (Persero) pada akhirnya membatalkan program migrasi kompor gas ke kompor listrik atau kompor induksi. Sebelumnya program ini akan diuji coba karena pemerintah menanggung beban subsidi gas LPG 3 kg terlampau besar, imbas kenaikan harga minyak dunia di pasar internasional.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyatakan, PLN membatalkan program pengalihan kompor LPG 3 kg ke kompor listrik. Langkah ini dilakukan guna menjaga kenyamanan masyarakat dalam pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.
Advertisement
"PLN memutuskan program pengalihan ke kompor listrik dibatalkan. PLN hadir untuk memberikan kenyamanan di tengah masyarakat melalui penyediaan listrik yang andal," ujar Darmawan dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (28/9/2022).
Liputan6.com kemudian coba menanyakan alasan penghentian program kompor listrik tersebut kepada PLN dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tapi sayangnya belum terjawab.
Adapun putusan penghentian tersebut seakan jadi penegasan dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, yang menyebut program kompor listrik belum akan diberlakukan tahun ini. Sebab, itu masih tahap uji coba, dan juga ada kendala terkait anggaran di baliknya.
"Dapat dipastikan bahwa program ini tidak akan diberlakukan di tahun 2022. Sampai saat ini, pembahasan anggaran dengan DPR terkait dengan program tersebut belum dibicarakan, dan tentunya belum disetujui," ungkap Airlangga.
DPR RI melalui Komisi VII sejauh ini memang belum sepakat dengan rencana tersebut. Salah satunya dilontarkan Anggota Komisi VII DPR RI, Mulan Jameela yang menilai kompor listrik tak cocok digunakan untuk memasak masakan lokal Indonesia.
Belum Efisien
Senada, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto juga menyatakan pemakaian kompor listrik untuk rumah tangga di Indonesia saat ini belum efisien. Pasalnya, program elektrifikasi sekarang masih berbasis desa, bukan per satuan keluarga.
Sugeng pun mempertanyakan ketahanan listrik yang kini dikelola PLN. Bila sistem kelistrikan saja masih terkendala oleh urusan mati lampu, ia menyebut kondisi itu bisa membuat kompor listrik jadi lebih gampang rusak.
"Lantas pastikan dulu listrik itu tidak byar pet. Artinya kehandalan listrik dari sisi pasokan maupun dari transmisi harus betul-betul handal. Apalagi nanti lantas memakai kompor listrik, kalau byar pet kan pasti mudah sekali rusak," tuturnya kepada Liputan6.com.
Bila ditelisik lebih awal, inisiasi program kompor listrik ini digawangi oleh beban subsidi gas yang kian membengkak. Sebagai perbandingan, pada 2021 saja realisasi subsidi LPG 3 kg mencapai Rp 67,62 triliun, termasuk kewajiban kurang bayar Rp 3,72 triliun.
Di sisi lain, outlook subsidi BBM dan LPG 3 kg pada tahun ini mencapai angka Rp 149,37 triliun, atau 192,61 persen dari postur APBN 2022. Menurut catatan Kementerian Keuangan, lebih dari 90 persen kenaikan nilai subsidi berasal dari kesenjangan harga jual eceran dengan harga keekonomian tabung gas melon yang terlampau tinggi.
Sementara untuk 2023 mendatang, pemerintah juga telah usul tambahan anggaran khusus untuk LPG tabung 3 kg sebesar Rp 400 miliar, sehingga total nilainya di tahun depan menjadi Rp 117,8 triliun.
Melihat catatan tersebut, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengutarakan, pemerintah didesak untuk mengkonversi penggunaan kompor gas menjadi kompor listrik, meskipun membutuhkan waktu tidak sebentar.
"Diminimalkan (penggunaan LPG 3 kg), tapi ini kan it takes time berapa tahun, supaya kita, mau enggak kita impor barang luar terus, kan gamau kan?" ujar Menteri Arifin beberapa waktu lalu.
Tak hanya investasi awal, Balitbang ESDM memperkirakan, pemerintah perlu mengalokasikan subsidi energi per tahun kepada para keluarga penerima kompor listrik. Biayanya sekitar Rp 5,631 triliun untuk rumah tangga 450 VA, dan Rp 363 miliar untuk rumah tangga 900 VA.
Kendati mengeluarkan ongkos besar di awal, Balitbang ESDM memprediksi program migrasi kompor listrik nantinya akan menguntungkan perekonomian nasional hingga puluhan sampai ratusan triliun rupiah setiap tahunnya.
"Biaya investasi yang dikeluarkan pemerintah akan meningkatkan perekonomian sebesar Rp 246,8 triliun di tahun ke-1 dan Rp 83,1 triliun per tahun pada tahun selanjutnya," tulis Balitbang ESDM.
Advertisement
Kompor Listrik Bakal Hemat Uang Negara
Mengutip hasil studi Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian ESDM, pemakaian kompor listrik jenis kompor induksi 2.000 W untuk rumah tangga dengan tarif dasar listrik (TDL) 450 VA memang bakal menghemat biaya hingga Rp 45.756 per bulan dibandingkan gas melon.
Sementara untuk rumah tangga yang mengandalkan daya listrik lebih besar, 900 VA juga tetap bisa berhemat dengan meninggalkan tabung gas LPG 3 kg. Beban biaya bulanannya bisa terpangkas hingga Rp 30.169 per bulan dengan kompor listrik.
Di sisi lain, ongkos yang perlu dialokasikan pemerintah untuk program konversi kompor listrik memang tidak murah. Balitbang Kementerian ESDM menghitung, total ada sebanyak 31.528.901 rumah tangga pelanggan listrik dengan daya 450-900 VA yang diproyeksikan mendapat subsidi kompor listrik gratis. Juga tak dikenai pungutan biaya, penyederhanaan batas daya listrik dalam bentuk tambah daya dan perubahan instalasi listrik.
Secara perhitungan ekonomi, biaya investasi migrasi ke kompor listrik atau kompor induksi akan memakan ongkos antara Rp 2.477.000-5.572.000 per rumah tangga. Biaya itu dipakai untuk pengadaan kompor induksi 2.000 W sebesar Rp 600.000-1.720.000, termasuk untuk peralatan masak feromagnetic tiga set senilai Rp 650.000-1.125.000.
Selain itu, masing-masing rumah tangga juga akan mendapat harga diskon 50 persen untuk tambah daya listrik gratis, sebesar Rp 1,5 juta. Kemudian, instalasi saluran kabel khusus 20 meter untuk kompor listrik yang punya beban listrik besar Rp 1.122.000, dan sertifikat laik operasi Rp 105.000.
Untuk alokasinya, Balitbang ESDM menghitung sekitar 23.962.522 rumah tangga berdaya 450 VA berhak menerima subsidi kompor listrik gratis, dan 7.566.379 rumah tangga berdaya 900 VA.
Sehingga total biaya yang perlu digelontorkan untuk program migrasi kompor listrik gratis mencapai Rp 74,786 triliun. Itu terdiri dari Rp 56,839 triliun untuk pelanggan berdaya 450 VA, dan Rp 17,947 triliun untuk pelanggan berdaya 900 VA.