Liputan6.com, Cilacap - Tahun 1955 boleh jadi adalah tahun kebangkitan PKI, usai porak poranda imbas pemberontakan Madiun 1948. Tahun itu, PKI memenangi Pemilu di berbagai daerah.
Salah satunya di Cilacap, Jawa Tengah. Kala itu, Jawa Tengah masih satu wilayah daerah pemilihan dengan Yogyakarta. PKI di Kabupaten Cilacap mendapatkan 170.756 suara untuk DPR dan 167.219 suara untuk konstituante
Selain di Cilacap, PKI menang di banyak tempat seperti Kota Semarang, Blora, Temanggung, Purwodadi, Temanggung, Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Gunungkidul, Kabupaten Semarang, dan Solo.
Tak pelak, pergolakan politik memanas usai Pemilu 1955. Politik identitas begitu kental, terlebih di Cilacap, di mana palu arit memenangi pemilu.
Baca Juga
Advertisement
PKI bersaing ketat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Nahdlatul Ulama (NU) yang dulu masih menggunakan ejaan lama, Nahdlatoel Oelama (NO).
Usai itu, Cilacap dipimpin oleh bupati dari kubu pemenang pemilu. Merasa di atas angin, anggota PKI dan underbouwnya mulai semena-mena. Anggota PKI semakin jumawa.
Pertentangan antara kubu politik semakin kentara pada 1960-an. Tekanan kepada kiai-kiai kampung dan pondok pesantren juga terus terjadi. Itu makanya, banyak kiai yang akhirnya mengungsi ke daerah lebih aman.
Tekanan oleh PKI dan underbouwnya itu juga turut dirasakan oleh ulama kharismatik, KH Najmudin, kiai kharismatik pengasuh Pondok Pesantren Bendasari, Pesantren yang berada di Desa Cilopadang, Kecamatan Majenang, Cilacap. Pondok pesantren ini di belakang hari dikenal dengan Pondok Pesantren El Bayan, Majenang.
Terlebih, beliau sangat menentang ajaran komunis. Namun, ia tak mengungsi dan memilih bertahan.
Ulama kharismatik ini juga terkenal karena karomahnya. Beliau dikenal sakti. Kesaktiannya sudah kondang sejak zaman agresi militer Belanda, 1948-an, atau saat KH Najmudin masih muda.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Santri Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy'ari
Kiai Masngudin, cucu keponakan Alhmaghfurlah KH Najmudin bercerita, geger masa revolusi juga bertambah dengan keberadaan milisi Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (NII) yang mulai merangsek ke Jawa Tengah.
Di tempat asalnya, di Jawa Barat, DI/TII semakin terdesak oleh pasukan Siliwangi dan Raiders. Dia tak bisa memperkirakan waktunya, tapi kurang lebih kisaran tahun 1960-an awal.
Majenang adalah wilayah perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat sehingga kekerasan berlangsung massif. Keadaan semakin sulit. Di satu sisi, KH Najmudin jelas tidak mau bergabung dengan PKI. Tetapi, di sisi lain, ia pun tak setuju dengan pendirian negara Islam.
KH Najmudin tetap istikamah di partai NU atau dulu disebut sebagai NO. Partai yang dibikin oleh anggota ormas yang didirikan gurunya, Hadratusyaikh KH Hasyim Asy’ari. Penentangannya terhadap PKI juga dikenal luas.
KH Najmudin memang pernah mengaji langsung kepada Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, di Pondok Pesantren Tebuireng. Bahkan, ia sempat dipercaya sebagai lurah pondok, meski hanya delapan bulan di pesantren legendaris ini.
NU adalah partai Islam yang tetap menginginkan Indonesia sebagai NKRI. NU anti-komunis namun juga tak hendak mendirikan negara khilafah.
Kebetulan, kediaman KH Najmudin dan pesantrennya berada di pinggir jalan dari desa ke kawasan pertanian dan pasar. Makanya, jalan selalu ramai. Tiap hari ratusan orang dari berbagai wilayah menggunakan jalan ini.
Kala itu, atribut politik digunakan oleh petani, pedagang, buruh, hingga pekerja. Petani dan pedagang misalnya, mengatribusi tudungnya dengan lambang partai.
Advertisement
Rumahnya Tak Perlu Dijaga
Dan anehnya, tiap orang, yang lewat di depan rumah KH Najmudin akan selalu turun dari sepeda. Kalau pelintas itu berjalan maka akan membungkuk. Itu berlaku untuk semua orang dari golongan manapun, termasuk PKI.
Mereka takut Mbah Najmudin sedang berada di depan rumah, sehingga mereka sudah bersiap berlaku sopan. Sudah menjadi kebiasaan, Mbah Najmudin menyapa orang-orang yang lewat, baik itu dari golongan NU, PNI, PKI, dan partai lainnya.
“Yang PKI ya ada tulisannya PKI, warnanya merah. Kalau PNI ya begitu, ada tulisannya. Kalau NU ya di tudungnya ada tulisan Pertanu,” ucap Masngudin, cucu keponakan KH Najmudin, beberapa waktu lalu.
Di balik konsistensinya di Partai NU, KH Najmudin dikenal sebagai sosok kharismatik, sekaligus terbuka. Itu sebab, ia diterima oleh golongan manapun, termasuk komunis. Bahkan, berbeda dari pesantren lain yang kerap ‘diganggu oleh PKI’, pesantrennya jauh dari marabahaya itu.
“Tidak ada yang jaga, karena banyak santri di situ. Orang PKI juga menghormati Mbah Najmudin,” dia mengungkapkan.
Kondisi ini adalah anomali. Kala itu, kiai jika tak mengungsi, maka rumah atau pesantrennya selalu dijaga oleh para pendekar.
Trauma pemberontakan 1948 masih begitu membekas. Kala itu, banyak kiai dan tokoh agama yang jadi korban PKI. Namun, suasana kediaman KH Najmudin dan pesantrennya tetap tenang.
Tim Rembulan