Dokter Gigi Ditembak oleh Pasien di Pakistan, Asisten Tewas

Serangan terhadap dokter gigi WN China-Pakistan itu dikecam oleh menteri dalam negeri.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 29 Sep 2022, 09:10 WIB
ilustrasi peluru tembakan. (iStockphoto)

Liputan6.com, Karachi - Serangan kepada warga China kembali terjadi di Pakistan. Sasaran kali ini adalah lokasi praktek dokter gigi yang berlokasi di Karachi pada Rabu malam (28/9).

Dilaporkan BBC, Kamis (29/9/2022), korban adalah pria bernama Richard Chow. Ia berkewarganegaraan China-Pakistan.

Richard Chow adalah asisten untuk dokter gigi bernama Richard Hu (74) yang juga menderita luka. Istrinya bernama Margaret (72) turut kena luka tembakan. Keduanya dirawat di rumah sakit.

Klinik gigi itu telah beroperasi selama 40 tahun di Karachi yang merupakan kota terbesar di Pakistan. Pelaku adalah pria berusia awal 30 tahunan. Ia berhasil kabur bersama seorang kawannya dengan naik motor. Motif pelaku belum diketahui.

Menteri Dalam Negeri Pakistan Rana Sanaullah mengecam aksi serangan kepada Richard Hu. Ia menegaskan kasus itu tak bisa ditoleransi.

"Keamanan dari warga China harus dijamin dalam berbagai cara," ujarnya via Twitter.

Proyek-proyek infrastruktur China sedang berkembang di Pakistan, namun kasus kekerasan terhadap rakyat China semakin sering terdengar di Pakistan dalam beberapa waktu terakhir.

Pada April 2022, terjadi serangan bom bunuh diri di Karachi yang menewaskan tiga guru bahasa China dan sopir mereka yang merupakan warga Pakistan. Lokasi ledakan tak jauh dari Confucius Institute.

Pelaku penyerangan adalah Tentara Pembebasan Baloch yang menolak investasi China di Pakistan karena menanggap tidak menguntungkan warga lokal. Provinsi Balochistan kaya akan sumber daya alam, namun merupakan salah satu daerah yang ekonominya paling lemah di Pakistan.


Patahkan Rumor Kudeta, Xi Jinping Muncul di Pameran

Presiden AS Xi Jinping dalam pertemuan virtual dengan Presiden AS Joe Biden. Dok: White House

Pemimpin China, Xi Jinping telah muncul di depan publik untuk pertama kalinya sejak kembali dari perjalanan ke Asia Tengah, mematahkan rumor "kudeta" yang tidak berdasar. Isu yang memicu hiruk-pikuk spekulasi menjelang pertemuan penting Partai Komunis.

Xi Jinping pada Selasa 27 September 2022 mengunjungi sebuah pameran di Beijing yang menampilkan pencapaian China selama satu dekade berkuasa, menurut penyiar negara CCTV. 

Pada siaran berita malam utama jaringan tersebut, Xi ditunjukkan dalam kondisi mengenakan masker dan tengah melihat-lihat pajangan di Beijing Exhibition Hall - di mana foto-foto dirinya banyak ditampilkan.

Dia ditemani oleh Perdana Menteri Li Keqiang dan para pemimpin puncak lainnya, termasuk semua anggota Komite Tetap Politbiro tertinggi partai.

Xi belum terlihat di depan umum sejak kembali ke Beijing dari KTT regional di Uzbekistan pada 16 September.

Kunjungan itu adalah perjalanan luar negeri pertamanya dalam hampir 1.000 hari sejak awal pandemi.

Dikutip CNN, Rabu (28/9), ketidakhadirannya memunculkan rumor online, yang mengklaim - tanpa bukti - bahwa dia telah digulingkan dalam kudeta militer dan ditempatkan di bawah tahanan.

Rumor yang tidak berdasar itu semakin dipicu oleh klaim pembatalan penerbangan massal - kejadian umum di bawah pembatasan kebijakan nol-COVID China - dan video kendaraan militer yang tidak diverifikasi di jalan.

Spekulasi liar - yang berasal dari jaringan pembangkang China sebelum diambil dan diperkuat oleh media India - begitu kuat sehingga tagar chinacoup menjadi tren di Twitter selama akhir pekan.


Rumor Kudeta China dan Xi Jinping Ditahan

Dalam lawatannya ke Indonesia pada 2-3 Oktober 2013, Presiden Xi Jinping mengusulkan konsep Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 atau 21st Century Maritime Silk Road

Sebelumnya sempat beredar rumor di Twitter bahwa Presiden China Xi Jinping telah dikudeta. Tagar #ChinaCoup (kudeta China) juga tersebar luas di media sosial. 

Menurut laporan Newsweek, Minggu (25/9), rumor itu tersebar karena kecurigaan banyak penerbangan yang dibatalkan, serta adanya video yang menyebut pasukan militer masuk ke Beijing.

Presiden Xi Jinping lantas disebut telah ditangkap Tentara Pembebasan Rakyat. Namun, tidak jelas sumber video tersebut, maupun waktu dan lokasi pengambilannya.

Politisi India Subramanian Swamy juga ikut menyebar rumor ini di Twitter kepada 10 juta followers yang ia miliki. Ia salah menyebut nama Xi Jinping menjadi Jingping.

"Rumor terbaru harus diperiksa. Apakah Xi Jingping berada dalam tahanan rumah di Beijing?" ujar Swamy. 

Dalam narasi yang disebar Swamy, pemimpin Partai Komunis China mencabut mandat Presiden Xi Jinping dari militer ketika ia sedang berkunjung ke Samarkand, Uzbekistan, setelah itu tahanan rumah terjadi.

Namun, kabar itu dibantah oleh mantan pejabat Kementerian Pertahanan Amerika Serikat, Drew Thompson. Ia mengakui kondisi politik di China sedang sensitif. Spekulasi dan rumor pun jadi gampang beredar. 

"Meski kurangnya bukti bahwa Xi menghadapi oposisi internal, spekulasi itu masih bertahan. Ini menambah kemasukakalan rumor tersebut, atau harapan bagi sebagian orang, bahwa Xi ditahan," ujarnya via Twitter.

Selain itu, mantan koresponden CNN Frida Ghitis berkata kabar penangkapan Xi Jinping adalah rumor liar. 

"Media sosial berisik dengan klaim-klaim bahwa ada kudeta di China, bahwa Xi Jinping berada dalam tahanan rumah. Tetapi tidak ada bukti bahwa ini benar," ujarnya.


Xi Jinping Minta Putin Tak Lama-Lama Perang

Presiden Cina Xi Jinping seusai berbicara kepada awak media di Bandara Internasional Hong Kong, Kamis (29/6). Selama sepekan terakhir, Kepolisian Hong Kong sudah melakukan berbagai antisipasi terkait kunjungan Presiden Xi Jinping. (AP Photo/Kin Cheung)

Presiden China Xi Jinping disebut-sebut telah meminta Vladimir Putin untuk tidak berlama-lama melakoni perang Ukraina. Penyataan ini datang dari Mantan Penasihat Presiden Rusia Vladimir Putin, yatu Andrei Illarionov yang berbicara dengan DW.

Dalam wawancara tersebut, Andrei Illarionov menyebut bahwa sosok yang bisa bicara penuh dengan Putin adalah Xi Jinping, dikutip dari laman DW, Senin (26/9). 

Xi Jinping disebut-sebut meminta Putin mengubah kebijakannya, terutama soal perang di Ukraina, termasuk upaya mobilisasi dan ancaman nuklir.

"Faktanya, saat ini Rusia sudah melancarkan perang (di Ukraina) sejak tujuh bulan lalu dan belum juga terlihat kemenangan nyata," ujar Illarionov.

 

Infografis 6 Cara Dukung Anak dengan Long Covid-19 Kembali ke Sekolah. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya