Saat Negara Lain Bertarung dengan Inflasi, China Justru Dihantui Risiko Deflasi Dampak Kebijakan Ketat Covid-19

China dihantui peningkatan risiko deflasi, karena menyusutnya permintaan di bawah krisis properti dan pembatasan Covid-19 yang berkepanjangan.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 29 Sep 2022, 13:20 WIB
Kapal berlayar di sepanjang Sungai Huangpu di distrik Pudong yang dikunci sebagai tindakan pencegahan Covid-19, di Shanghai (28/3/2022). Bagian timur kota yang terdiri dari sekitar 11 juta penduduk di lockdown selama empat hari. (AFP/Hector Retamal)

Liputan6.com, Jakarta - China menghadapi peningkatan risiko deflasi karena menyusutnya permintaan dampak krisis properti dan pembatasan Covid-19 yang berkepanjangan. Ancaman deflasi ini berkebalikan dengan beberapa negara maju yang justru menghadapi inflasi tinggi.

Indeks yang disusun oleh China Beige Book International (CBBI) mengungkapkan bahwa sejumlah perusahaan di China melaporkan pertumbuhan harga jual terlemah sejak kuartal terakhir 2020 dalam tiga bulan hingga September.

Penurunan itu terjadi meski upah dan biaya input sedikit meningkat dari kuartal sebelumnya.

CBBI mensurvei 4.354 perusahaan selama periode tersebut.

"Sementara hampir seluruh dunia panik atas lonjakan inflasi, risiko deflasi membayangi China, berkat dampak loyonya permintaan karena kebijakan nol-Covid-19," kata kepala eksekutif CBBI Leland Miller, dikutip dari The Straits Times, Kamis (29/9/2022). 

Sebagian besar tekanan deflasi sejauh ini berasal dari industri properti, menurut laporan CBBI, yang mencatat bahwa industri ritel dan jasa masing-masing mengalami percepatan harga pada kuartal ketiga.

Selain industri properti, tekanan deflasi diperparah dengan lockdown di daerah-daerah seperti Shanghai dan provinsi Jilin, yang membatasi aktivitas awal tahun, dan kota-kota lain salah satunya Chengdu yang baru-baru ini memberlakukan lockdown.

Indeks harga konsumen utama China naik 2,5 persen pada Agustus 2022 karena harga daging babi terus naik dan harga BBM yang masih tinggi.

Namun laju kenaikan melambat dari bulan sebelumnya, dan inflasi inti, yang tidak termasuk harga pangan dan energi, tidak berubah dari angka 0,8 persen bulan lalu.


Kekhawatiran pada Industri Manufaktur di China

Seorang pria bermasker jongkok saat menunggu untuk menyeberang jalan di Shanghai (2/6/2022). Lalu lintas, pejalan kaki dan pelari muncul kembali di jalan-jalan Shanghai ketika kota terbesar di China mulai kembali normal di tengah pelonggaran penguncian COVID-19 dua bulan yang ketat atas penerapannya. (AP Photo/Ng Han Guan)

Survei CBBI juga memberikan gambaran yang mengkhawatirkan bagi industri manufaktur di China.

Indikator termasuk margin keuntungan dan harga jual pada kuartal ketiga memburuk, baik dibandingkan dengan periode April-Juni maupun dengan kuartal ketiga 2021.

Sementara itu, sektor ritel dan jasa menunjukkan pemulihan pada indikator-indikator tersebut dari kuartal kedua, meskipun tetap di bawah level 2021.

Aktivitas pinjaman korporasi, sementara itu, terus menurun pada kuartal ketiga, menunjukkan pelonggaran kebijakan moneter People's Bank of China' belum berdampak signifikan terhadap perusahaan di China.

"Perusahaan tidak ingin merencanakan masa depan jika mereka tidak mengetahui masa depan. Dan untuk mengetahui masa depan, kebijakan nol-Covid-19 perlu dicabut terlebih dahulu," kata Miller.


Covid-19 Tekan Ekonomi, Orang Kaya China Mulai Jual Tas Hermes hingga Jam Rolex

Seorang wanita memakai masker saat mengunjungi pusat perbelanjaan di Beijing, China, Selasa (14/12/2021). Kasus pertama varian omicron COVID-19 telah terdeteksi di daratan negara di kota Tianjin di sebelah timur Beijing. (AP Photo/Ng Han Guan)

Sejumlah orang kaya di China mulai menjual barang mewah mereka, di antaranya tas Hermes hingga jam tangan Rolex, untuk memperbesar simpanan uang tunai di tengah ketidakpastian ekonomi, ketika negara itu masih memberlakukan kebijakan nol-Covid-19.

Namun, situasi ini menjadi keuntungan bagi Zhu Tainiqi, pendiri toko barang mewah bekas ZZER yang berbasis di Shanghai, yang sekarang mencari ruang toko untuk memperluas bisnisnya.

Mantan pemodal ventura melihat lonjakan orang yang ingin menjual tas Hermes Birkin atau jam tangan Rolex mereka untuk mengumpulkan uang, serta lonjakan minat dari pembeli yang memperketat ikat pinggang.

"Semakin banyak orang sekarang sadar bahwa mereka dapat menjual barang-barang mewah untuk sejumlah uang dan pihak pembeli memperhatikan bahwa mereka bisa menjualnya dengan nilai besar," kata Zhu, dikutip dari Channel News Asia, Rabu (28/9/2022). 

"Mereka berpikir, 'Mengapa tidak mencoba menjualnya?," lanjut dia.

Dia mengatakan jumlah pengirim ZZER, atau orang yang menitipkan penjualan barang mereka, telah melonjak 40 persen sejauh ini pada tahun 2022 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Platform tersebut bahkan sudah memiliki 12 juta member penjual dan mengharapkan untuk menjual 5 juta barang mewah tahun ini.

Pasar barang mewah bekas China diperkirakan akan tumbuh hingga sebesar USD 30 miliar pada 2025 mendatang dari USD 8 miliar pada 2020, menurut perkiraan konsultan iResearch akhir tahun lalu.

"Saya pikir karena minat di China ... benar-benar dapat menggerakkan jarum untuk beberapa merek berpikir tentang bagaimana mereka akan menangani (penjualan kembali) ini, dan peran apa yang akan mereka mainkan dalam keseluruhan proses," kata Iris Chan, partner dan kepala pengembangan klien di konsultan Digital Luxury Group.

Infografis 6 Rekomendasi WHO untuk Akhiri Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya