Gabungan Pengusaha Angkutan Penyeberangan Sebut Penyesuaian Tarif Tak Sesuai Usulan

Usulan Gapasdap menaikkan tarif akibat adanya kenaikan BBM adalah hanya sebesar 7-10 persen, bukan sampai 11 persen.

oleh Nefri Inge diperbarui 29 Sep 2022, 11:37 WIB
Kapal berlayar di sepanjang Sungai Huangpu di distrik Pudong yang dikunci sebagai tindakan pencegahan Covid-19, di Shanghai (28/3/2022). Bagian timur kota yang terdiri dari sekitar 11 juta penduduk di lockdown selama empat hari. (AFP/Hector Retamal)

Liputan6.com, Palembang - Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 184 Tahun 2022, yang berisi penetapan penyesuaian tarif angkutan penyeberangan sebesar 11 persen, disayangkan oleh Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (Gapasdap).

Ketua Umum Gapasdap Khoiri Soetomo mengatakan, usulan Gapasdap menaikkan tarif akibat adanya kenaikan BBM adalah hanya sebesar 7-10 persen.

Dengan adanya kekurangan pada saat penetapan tarif sebelumnya, yang dihitung mulai tahun 2018. Di mana, kekurangan tersebut mencapai 35,4 persen.

“Yang sebenarnya sesuai ketentuan, harus dilakukan evaluasi atau penyesuaian setiap 6 bulan. Tapi ini tidak dilakukan sehingga tidak cukup untuk menjamin keselamatan pelayaran dan juga standar pelayanan minimum,” ucapnya, Kamis (29/9/2022).

Terlebih ditambah dengan pengaruh kenaikan BBM sebesar 32 persen, yang berdampak kekurangan sebesar 7–10 persen. Ketum Gapasdam ini menilai, harusnya ada kenaikan tarif sebesar 43 persen.

Dia menilai, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi merupakan penanggung jawab keselamatan transportasi. Namun mengapa menetapkan tarif yang bertolak belakang dengan keselamatan.

“Dan ini seakan-akan kami dijebak pada penilaian publik, tentang rendahnya jaminan keselamatan transportasi penyeberangan ataupun standar pelayanan minimum yang kurang,” ujarnya.

Sebagai asosiasi pengusaha angkutan penyeberangan, Gapasdamtidak bisa menerima tuntutan untuk keselamatan dari pemerintah.

Sehingga, keselamatan bukan menjadi tanggung jawab operator/pengusaha lagi, tetapi merupakan tanggung jawab dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub), karena kondisi pentarifan yang sangat minim.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Keselamatan Penumpang

Ketua Umum Gapasdap Khoiri Soetomo (Dok. Foto Pribadi Khoiri Soetomo / Nefri Inge)

Tarif angkutan penyeberangan yang melakukan perhitungan adalah pemerintah, sehingga ketika terjadi kekurangan dalam penetapannya seolah-olah ada unsur kesengajaan atau tidak paham terhadap transportasi.

“Keselamatan merupakan prioritas utama yang harus dijamin. Jika terjadi kecelakaan, maka menteri yang harus bertanggung jawab. Keselamatan janganlah dipolitisasi, karena keselamatan nilainya mutlak,” katanya.

Selain berpengaruh pada faktor keselamatan, kurangnya tarif juga akan dikhawatirkan juga akan memengaruhi tingkat kesejahteraan karyawan yang selama ini, sudah terganggu dalam pembayaran gajinya.

Dengan gaji yang tidak cukup akan menyebabkan konsentrasi kerja karyawan berkurang, akhirnya akan berpengaruh pada keselamatan pelayaran.Selama ini sudah banyak perusahaan yang tidak mampu membayar gaji tepat waktu dan bahkan beberapa perusahaan besar sudah gulung tikar.

Gapasdap pun punya tanggung jawab untuk menjaga iklim usaha tetap kondusif dan keselamatan nyawa publik, serta barang publik tetap terjaga. Kata Khoiri.


Kontrol Pemerintah

Menhub, Budi Karya Sumadi (tengah) saat meninjau Bandara Internasional Yogyakarta, Kulon Progo, Rabu (24/4). Progres pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta hampir 100 persen, sementara progres pembangunan keseluruhannya termasuk domestik mencapai 47 persen. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

"Menteri menganggap keselamatan tidak penting, padahal keselamatan nyawa publik tidak ternilai harganya dan menjadi kewajiban pemerintah sesuai UUD, untuk menjamin keselamatan jiwa dari setiap rakyatnya,” ungkapnya.

Khoiri menjelaskan, Pemberlakuan KM 184 tahun 2022 membatalkan KM 172 tahun 2022 mengenai penyesuaian tarif angkutan penyeberangan lintas antarprovinsi. Yang mana ditetapkan pada tanggal 15 September 2022, yang seharusnya berlaku 3 hari setelahnya.

Namun dia menilai SK tersebut ‘layu sebelum berkembang’, tidak pernah berlaku tanpa adanya kejelasan. Serta tidak ada pencabutan walaupun telah melewati batas waktu pemberlakuannya, yaitu tanggal 19 September 2022.

“Organda sudah mengalami kenaikan antara 35 -45 persen dan Aptrindo 40 persen. sebelum terjadinya kenaikan tarif angkutan penyeberangan. Kenapa hal ini tidak ada kontrol dari pemerintah,” ujarnya.

“Ini berarti telah terjadi diskriminasi dimana moda transportasi laut, tidak diperhatikan oleh kemenhub padahal jargon Presiden Joko Widodo adalah maritim,” ucapnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya