Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan akan menyetop ekspor timah, tembaga, dan komoditas lainnya yang masih dalam bentuk mentah. Sebelumnya, Jokowi sudah menyetop ekspor nikel mentah.
“Hilirisasi, jangan sampai berpuluh puluh tahun hanya mengekspor komoditas mentah saja. Harus kita paksa, dulu nikel kita setop ramai, semua orang menyampaikan hati-hati ekspor kita bisa anjlok karena menghentikan nikel,” kata Jokowi dalam UOB Annual Economic Outlook 2023 bertajuk “Emerging Stronger in Unity and Sustainably”, Kamis (29/9/2022).
Advertisement
Sebelum ekspor nikel mentah dihentikan, pendapatan ekspor nikel mentah setiap tahun hanya USD 1,1 miliar atau sekitar Rp 15 triliun per tahun. Namun, setelah ekspor nikel mentah dihentikan, pendapatan dari ekspor komoditas tersebut melonjak menjadi USD 20,9 miliar setara Rp 360 triliun.
“Begitu kita hentikan coba cek. Di tahun 2021 USD 20,9 miliar. Jadi meloncat dari USD 1,1 miliar ke USD 20,9 miliar, dari Rp 15 triliun meloncat ke Rp 360 triliun. Itu baru nikel. Kita setop lagi timah, tembaga, kita setop lagi bahan-bahan lain yang kita ekspor mentahan,” tegas Jokowi.
Di samping itu, Jokowi menyoroti soal aspal. Di Buton Sulawesi Tenggara terkenal dengan tambang aspal. Tapi justru Indonesia masih impor aspal 5 juta ton per tahun.
Ternyata setelah Jokowi telusuri, hanya ada satu perusahaan yang memproduksi aspal, dan produksinya masih rendah yaitu 100 ribu ton per tahun. Hal inilah yang harus didorong dan merupakan peluang untuk mendatangkan investasi.
“Saya cek di Buton, kenapa kita masih impor aspal, kira-kira 5 juta ton per tahun. Kita punya aspal kok, saya cek ke lapangan ternyata tidak ada industrinya, baru ada 1 yang produksinya hanya 100 ribu ton per tahun, kita malah impor, ini apa-apaan kesalahan seperti ini harus dihentikan. Itu peluang investasi di industri aspal,” jelas Jokowi.
Lanjut Jokowi, masalah fundamental lainnya adalah ketahanan pangan, ketahanan energi juga harus terus diperbaiki. Sejauh ini Indonesia memiliki ketahan energi B30 nanti bisa ditingkatkan menjadi B40, sehingga Indonesia betul-betul kuat dalam ketahanan energi.
Jokowi: Indonesia Tak Impor Aspal mulai 2024, Semua Dipasok dari Buton
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan tidak ada impor aspal pada dua tahun mendatang atau hingga 2024. Ketegasan ini diambil karena industri dalam negeri bisa memenuhi kebutuhannya.
“Sehingga tadi sudah kita putuskan, dua tahun lagi tak ada impor aspal. Semuanya harus dikerjakan oleh Buton (Sulawesi Tenggara). BUMN silahkan, swasta silahkan, join dengan asing silahkan,” kata Presiden Jokowi usai meninjau Pabrik Aspal PT Wika Bitumen, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra), dikutip dari Antara, Selasa (27/9/2022).
Presiden Jokowi mengatakan Buton memiliki potensi besar dengan kekayaan hingga 662 juta ton aspal. Namun, lanjutnya, Indonesia malah impor hingga lima juta ton aspal per tahun.
“Di sini (Buton) produksi malah tidak dijalankan, impor terus,” ujar Presiden Jokowi.
Karena itu Presiden memerintahkan para menteri untuk mengkaji upaya pengembangan industri aspal di Buton. Dia menginginkan terdapat hilirisasi aspal agar produk yang dihasilkan memiliki nilai tambah.
“Kita ingin ada nilai tambah dari aspal yang ada di Buton, karena ada potensi 662 juta ton di sini, gede sekali,” ujar Presiden Jokowi.
Menurutnya, hilirisasi industri aspal di Buton juga akan meningkatkan pendapatan negara, diantaranya melalui penerimaan pajak.
“Nilai tambah ada di sini, pajak ada di sini, royalti ada di sini, dividen ada di sini, pajak karyawan ada di sini, sehingga kita harapkan Buton hidup kembali sebagai industri penghasil aspal,” kata Presiden Jokowi.
Advertisement
Kualitas Aspal Buton
Berdasarkan keterangan dari laman resmi Kementerian PUPR, aspal dari Buton (asbuton) memiliki keunggulan mutu yang lebih baik dari aspal minyak.
Penggunaan asbuton juga diperkirakan dapat menghemat devisa karena akan mengurangi impor aspal minyak yang tinggi.
Penggunaan asbuton juga mendukung program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN), karena asbuton olahan memiliki nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang tinggi.