Terbongkar, Penyebab Pasokan Listrik PLN Berlebih

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) buka suara terkait persoalan kelebihan pasokan listrik atau oversupply yang dialami oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Sep 2022, 15:50 WIB
PT PLN (Persero) tengah menyelesaikan pembangunan jaringan tol listrik di Sumatera (dok: PLN). Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) buka suara terkait persoalan kelebihan pasokan listrik atau oversupply yang dialami oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) buka suara terkait persoalan kelebihan pasokan listrik atau over supply yang dialami oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Staf Khusus III Menteri BUMN Arya Sinulingga menyampaikan, persoalan kelebihan pasokan yang dialami oleh PLN bukan karena pemerintah terlalu optimis membangun mega proyek 35.000 gigawatt. Sebaliknya, persoalan tersebut terjadi akibat pandemi Covid-19 yang berdampak langsung terhadap perekonomian nasional.

"Jadi, itu (oversupply) bukan berarti pemerintah terlalu optimis. Melainkan karena Corona," kata Arya dalam acara Ngopi Bareng BUMN di Kementerian BUMN, Jakarta Pusat, Kamis (29/9).

Arya mencontohkan, akibat pandemi Covid-19 yang kedatangan tak terduga tersebut membuat perekonomian nasional terdampak parah. Hal ini mengakibatkan permintaan akan listrik terganggu seiring melemahnya daya beli masyarakat.

"Sama kayak perang Rusia dan Ukraina kan yang datangnya tidak terduga. Kira-kira begitu," tutupnya.

Sebelumnya, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero diminta untuk mencermati lagi realisasi program 35.000 megawatt. Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mengatakan, opsi ini perlu dipertimbangkan berkaca dari kondisi PLN yang mengalami surplus pasokan listrik.

"Perlu re-scheduling," ujar Mulyanto kepada merdeka.com, Selasa (27/9).

Mulyanto menuturkan, program 35.000 megawatt nyatanya tidak merata di seluruh Indonesia. Akibatnya, kondisi surplus pasokan listrik hanya terjadi di Pulau Jawa dan Sumatera sekitar 40 persen. Sementara elektrifikasi di Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Indonesia bagian timur, belum mencapai 100 persen.

Beban PLN dalam menjalankan program tersebut semakin berat saat permintaan tidak seimbang dengan ketersediaan barang.

Anggota komisi dari fraksi PKS itu menuturkan, program 35.000 megawatt bisa saja tercapai dengan optimal dengan asumsi pertumbuhan permintaan listrik 6-7 persen.

"Namun realisasinya (permintaan listrik) tidak sampai 5 persen," ujarnya.

Selain itu, Mulyanto juga berharap agar PLN bisa melakukan renegosiasi terhadap skema pembayaran produksi listrik yang dilakukan oleh Independent Power Producers (IPP) swasta.

Skema saat ini dan berlaku sejak bertahun ke belakang dikenal dengan istilah take or pay. Pembayaran hasil listrik oleh IPP berdasarkan kontrak yang telah dibuat, meski jumlah kebutuhan lebih kecil.

 


PLN Surplus Listrik, Program 35 Ribu MW Diminta Revisi

PT PLN (Persero) telah menyalurkan 511.892 megawatt hour (MWh) listrik hijau melalui layanan sertifikat energi baru terbarukan (EBT) atau Renewable Energy Certificate (REC) kepada lebih dari 160 pelanggan bisnis dan industri hingga Juni 2022. (Dok. PLN)

PT PLN (Persero) diminta untuk mencermati lagi realisasi program 35.000 megawatt. Ini sebagai langkah dari efisiensi yang harus dilakukan PLN dalam rangka menyediakan listrik bagi masyarakat.

Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mengatakan, opsi ini perlu dipertimbangkan berkaca dari kondisi PLN yang mengalami surplus pasokan listrik.

"Perlu rescheduling," ujar Mulyanto kepada merdeka.com, Selasa (27/9/2022).

Mulyanto menuturkan, program 35.000 megawatt nyatanya tidak merata di seluruh Indonesia. Akibatnya, kondisi surplus pasokan listrik hanya terjadi di Pulau Jawa dan Sumatera sekitar 40 persen. Sementara elektrifikasi di Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Indonesia bagian timur, belum mencapai 100 persen.

Beban PLN dalam menjalankan program tersebut semakin berat saat permintaan tidak seimbang dengan ketersediaan barang.

Anggota komisi dari fraksi PKS itu menuturkan, program 35.000 megawatt bisa saja tercapai dengan optimal dengan asumsi pertumbuhan permintaan listrik 6-7 persen.

"Namun realisasinya (permintaan listrik) tidak sampai 5 persen," ujarnya.


Renegosiasi Pembayaran

(Foto: Dokumentasi PLN)

Selain itu, Mulyanto juga berharap agar PLN bisa melakukan renegosiasi terhadap skema pembayaran produksi listrik yang dilakukan oleh Independent Power Producers (IPP) swasta.

Skema saat ini dan berlaku sejak bertahun ke belakang dikenal dengan istilah take or pay. Pembayaran hasil listrik oleh IPP berdasarkan kontrak yang telah dibuat, meski jumlah kebutuhan lebih kecil.

"Perlu renegosiasi untuk rescheduling termasuk negosiasi klausul TOP (take or pay). Juga program peningkatan demand listrik industri untuk pelanggan kelas menengah atas," pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, megaproyek pembangkit listrik 35.000 megawatt menjadi salah satu proyek ambisius Presiden Joko Widodo. Bahkan, pembangunan pada awalnya ditarget selesai dijalankan dalam lima tahun. Proyek ini mulai digagas sejak periode pertama Presiden Jokowi menjabat.

Namun, hingga saat ini proyek tersebut belum juga tuntas. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, sebanyak 10.469 MW dari target 35.000 MW sudah memasuki tahapan commercial operation date (COD) pada Agustus 2021 lalu.

Infografis Alasan Pembatalan Program Konversi Kompor Gas ke Kompor Listrik. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya