Liputan6.com, Jakarta KDRT adalah salah satu bentuk kekerasan yang kerap terjadi di Indonesia. Data Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2016 menunjukkan bahwa 6 dari 10 perempuan mengalami KDRT.
Di Indonesia, KDRT adalah tindakan melawan hukum dan telah diatur dalam undang-undang.
Advertisement
Lalu apa itu KDRT? Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Penghapusan KDRT adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. (Pasal 1 ayat (2)).
Kendati menekankan pada korban perempuan, undang-undang ini melindungi semua orang tanpa memandang jenis kelamin. Sebagaimana tertuang dalam pasal 2 ayat (1) yang termasuk dalam ruang lingkup dan dilindungi dalam UU PKDRT adalah:
a. suami, isteri, dan anak;
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluargadengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalamrumah tangga; dan/atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Bentuk KDRT dan Ancaman Pidana Pelaku KDRT
Bentuk-bentuk kekerasan yang tertuang di UU PKDRT adalah meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.
Sementara itu ancaman pidana untuk pelaku KDRT di Indonesia tak main-main. Dalam UU PKDRT ketentuan pidana ini diatur dalam pasal 44 hingga 49.
Penyuluh hukum ahli muda dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Febi Ardhianti menjelaskan, menurut pasal 44 UU KDRT, ancaman pidana bagi pelaku KDRT yang korbannya tidak menderita sakit yang berat, ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 15 juta.
Namun, jika mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat, pelaku KDRT dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp 30 juta.
Khusus bagi KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp 5 juta.
Lebih lanjut, Febi menjelaskan apabila KDRT yang dialami melibatkan kekerasan psikis atau perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis yang berat, ada ancaman pidana yang berbeda. Pelaku KDRT ini dapat dikenakan kepadanya pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9 juta. Dalam hal perbuatan tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3 juta (Pasal 45 UU KDRT).
Jika tindak KDRT tersebut mengakibatkan matinya korban, pelaku dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp 45 juta.
Mengenai KDRT dalam bentuk kekerasan seksual, ketentuan pidananya diatur dalam UU PKDRT mulai pasal 46 hingga pasal 48.
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 36 juta (Pasal 46).
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit Rp 12 juta atau denda paling banyak Rp 300 juta (Pasal 47).
Advertisement
Langkah awal jika menjadi korban KDRT
Pengacara keluarga dan perceraian di Withers KhattarWong, Said Shriveena Naidu menjabarkan langkah pertama jika menjadi korban KDRT adalah memberi tahu anggota keluarga dan teman terpercaya secara langsung. Beri tahu mereka secara terbuka tentang situasi pernikahan Anda, termasuk apa yang telah dilakukan pasangan kepada Anda secara verbal maupun fisik, dan bagaimana perasaan Anda atas tindakan tersebut.
Hal ini dilakukan agar mereka mengetahui situasi Anda, dan dapat membantu atau turun tangan jika perlu. Orang yang Anda cintai juga dapat memberi Anda dukungan emosional yang sangat dibutuhkan, dan yang terpenting, membuat Anda merasa tidak terasing dan sendirian, kata Naidu.
"Mereka juga dapat secara fisik berada di sana bersama Anda ketika Anda menghadapi pelaku kekerasan berikutnya, ini berguna ketika Anda perlu berbincang atau memindahkan barang-barang pribadi Anda dari rumah. Mereka bisa menjadi saksi, dan untuk keselamatan korban juga," jelasnya.
Jika Anda dan atau anak-anak Anda telah menjadi korban KDRT dan takut akan keselamatan Anda, Naidu menyarankan agar mengambil barang-barang penting Anda, seperti pakaian, perhiasan, dan dokumen-dokumen penting, dan segera meninggalkan rumah keluarga bersama anak-anak Anda. "Korban harus mengambil semua barang miliknya seolah-olah mereka tidak akan pernah kembali ke rumah lagi," katanya.
Dokumen penting yang harus dibawa termasuk identitas diri seperti KTP, SIM, paspor, akta kelahiran dan catatan kesehatan serta soft copy atau hard copy akta nikah. Anda akan memerlukan surat nikah untuk mengajukan perceraian.
Kewajiban masyarakat jika mengetahui tindak KDRT
KDRT adalah kekerasan yang terjadi di ranah privat. Kendati demikian masyarakat yang melihat atau mengetahui adanya tindak KDRT ternyata mempunyai kewajiban khusus.
Kewajiban masyarakat ini diakomodir dalam pasal 14 dan 15 UU PKDRT. Bahkan dalam pasal 15 dirinci mengenai kewajiban masyarakat.
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a) mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b) memberikan perlindungan kepada korban;
c) memberikan pertolongan darurat; dan
d) membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Advertisement