Krisis Ekonomi di Inggris, Pengusaha: Ada Saja Bahan Naik dan Tidak Tahu Mengatasinya

Pengusaha di Inggris mengungkapkan mulai merasakan dampak krisis ekonomi, ketika harga bahan dan komoditas mulai dipatok dengan dolar.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 30 Sep 2022, 17:12 WIB
Orang-orang berjalan di sepanjang shopping street di London, Rabu (17/8/2022). Tingkat inflasi Inggris telah mencapai 10,1% pada tahun ini hingga Juli, berdasarkan data dari Kantor Statistik Nasional. Angka tersebut naik dari 9,4% pada bulan Juni dan berada pada level tertinggi dalam lebih dari 40 tahun. (AP Photo/Frank Augstein)

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha di Inggris mengungkapkan mulai merasakan dampak krisis ekonomi di negara itu.

Penurunan nilai pound sterling memukul banyak bisnis dengan keras karena biaya bahan dan komoditas impor seperti gas alam yang dipatok dalam dolar menjadi mahal.

Karena semakin mahalnya biaya, pengusaha di Inggris kemungkinan akan terpaksa menaikkan harga produk atau jasanya kepada konsumen, ketika inflasi di sana sudah mendekati level tertinggi dalam 40 tahun sebesar 9,9 persen.

Seperti banyak pemilik usaha kecil di Inggris, pengusaha restoran fish and chips Harry Niazi mengharapkan bantuan pemerintah untuk mempertahankan bisnisnya di London, di mana biaya bahan bakar semakin meroket.

"Semua harga dipatok dengan dolar, solar untuk kapal menangkap ikan, truk untuk mengirimkan produk kami. Dampaknya begitu besar," kata Niazi, pemilik restoran Olley’s Fish Experience, dikutip dari Associated Press Jumat (30/9/2022). 

"Saya takut menaikkan harga. Kami biasanya kedatangan banyak pelanggan, kami tidak ingin kehilangan mereka, tetapi setiap ada saja bahan yang naik harganya. Saya tidak tahu bagaimana kami akan mengatasinya," ungkapnya. 

Harga ikan haddock, juga ikan putih lainnya yang Niazi impor kini dipatok dengan dolar, dan biaya itu telah melonjak sejak Juli 2022, ketika pemerintah Inggris memberlakukan tarif 35 persen pada produk impor makanan laut Rusia sebagai bagian dari sanksi atas konflik di Ukraina.

 


Biaya Pengiriman Produk ke Inggris Melonjak

Seorang pembelanja membawa tas di London, Rabu (17/8/2022). Office for National Statistic (ONS) menyebut lonjakan harga pangan sebesar 12,7 persen sejak Juli 2021 menjadi penyumbang lonjakan inflasi Juli 2022. Sementara, bulan sebelumnya, inflasi Inggris berada di kisaran 9,4 persen. (AP Photo/Frank Augstein)

Kekhawatiran Niazi tentang penurunan nilai pound sterling juga digaungkan oleh pengusaha di Inggris lainnya, yakni Sanjay Aggarwal, yang merupakan salah satu pendiri perusahaan bahan makanan, Spice Kitchen.

Perusahaan yang berbasis di Liverpool ini menjual produk set hadiah campuran rempah-rempah India yang dikemas dalam kaleng baja dari pabrikan India.

Aggarwal mengatakan dia sudah terpaksa menaikkan harga produknya tahun ini karena kenaikan harga baja.

Biaya pengiriman ke Inggris juga telah melonjak sejak mencapai titik terendah di tengah pandemi Covid-19 Biaya untuk mengirim container dari India ke Inggris telah meningkat empat kali lipat sejak 2020 menjadi sekitar USD 8.000 hingga USD 9.000, katanya.

Pengiriman terbarunya sudah dalam perjalanan tepat waktu untuk musim libur Natal, tetapi Aggarwal susah bersiap menghadapi lonjakan harga ketika dia harus melakukan pemesanan berikutnya.

"Kami terpengaruh karena bisnis kami bermain dalam skala global," ungkap Aggarwal.

"Jadi, setiap pesanan di masa mendatang yang kami lakukan sekarang, akan dikenakan biaya 20 persen lebih mahal," bebernya.

 


AS Minta IMF Bujuk Inggris Tunda Pangkas Pajak

Orang-orang mampir ke toko yang memajang berbagai suvenir mendiang Ratu Elizabeth II di Windsor, Inggris, pada 15 September 2022. Pengunjung yang berkerumun ke pusat kota London untuk momen bersejarah memberikan dorongan bagi bisnis pada saat ekonomi Inggris menghadapi inflasi tertinggi dalam empat dekade dan prediksi dari resesi yang mengancam. (AP Photo/Gregorio Borgia, File)

Pemerintahan Joe Biden dikabarkan ikut khawatir atas gejolak ekonomi di Inggris, dan sedang mencari cara untuk mendorong tim Perdana Menteri Liz Truss membatalkan rencana pemotongan pajak.

Dilansir dari The Straits Times, Kamis (29/9/2022) seorang sumber menyebutkan bahwa pejabat di Departemen Keuangan AS khawatir tentang volatilitas di pasar keuangan dan dampak ekonomi secara luas dari situasi ekonomi di Inggris. 

Selain itu, Departemen Keuangan AS juga dikabarkan tengah membahas masalah tersebut dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk membujuk PM Truss.

Sebelumnya, pada Selasa 27 September 2022, Menteri Keuangan AS Janet Yellen enggan membahasa secara langsung mengenai rencana kebijakan pajak Inggris ketika berbicara kepada wartawan.

Namun menteri AS lainnya, yakni Menteri Perdagangan Gina Raimondo secara terang-terangnya menyebut pendekatan Truss sebagai salah arah.

"Kebijakan pemotongan pajak dan secara bersamaan meningkatkan pengeluaran bukanlah kebijakan yang akan memerangi inflasi dalam jangka pendek atau menempatkan Anda dalam manfaat yang baik untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang," ujar Raimondo pada Rabu (28/9) dalam sebuah acara di Washington.

"Investor dan pebisnis ingin melihat para pemimpin dunia menanggapi inflasi dengan sangat serius - dan sulit untuk melihat itu pada saat ini dari pendekatan Inggris," tambah dia.

Seperti diketahui, Dana Moneter Internasional (IMF) telah secara terbuka mengkritik rencana pemotongan pajak di Inggris, memperingatkan bahwa langkah tersebut dapat memperburuk krisis biaya hidup. Inggris kini tengah dibayangi resesi.

IMF pun menyarakan Inggris untuk melakuan re-evaluasi terhadap rencana pajak tersebut, yang sebagian besar menguntungkan orang berpendapatan tinggi.

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya