Kenyamanan Bekerja yang Diciptakan Fujifilm Indonesia

Untuk terus dapat berinovasi, Fujifilm Indonesia memiliki metode kerja berbasis See, Think, Plan, and Do (STPD).

oleh stella maris pada 30 Sep 2022, 17:33 WIB
Karyawan Fujifilm Indonesia (FFID) di saat merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2022 (Dok. FFID).

Liputan6.com, Jakarta "Tak ada yang permanen kecuali perubahan," kata Heraclitus, seorang filsus Yunani. Salah  satu maksud singkat dalam ucapan ini adalah dunia berada dalam keadaan perubahan yang  konstan. Sebuah pemikiran yang mengatakan bahwa yang abadi dalam kehidupan adalah  perubahan itu sendiri.  

Segelintir orang mungkin dapat dengan cepat memahami konsep kalimat ini dan menyadari  bahwa untuk menghadapi perubahan yang konstan, kemampuan untuk beradaptasi sangat  vital untuk dimiliki. Memang, tak semua memiliki kemampuan beradaptasi. Tetapi  kemampuan ini bukanlah suatu hal yang sulit untuk dipelajari. Bukanlah suatu hal di luar  jangkauan. 

Lalu apa sebenarnya kemampuan untuk beradaptasi? Dan bagaimana cara agar dapat  beradaptasi? 

Kemampuan beradaptasi adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dalam berbagai  macam keadaan. Untuk dapat beradaptasi, lumrahnya, sikap pertama yang harus dimiliki  adalah dengan mempunyai sikap terbuka. Terbuka untuk menerima masukan, terbuka dalam  melihat peluang, terbuka menerima perubahan. 

Keterbukaan ini lah yang telah membantu Fujifilm, sebuah raksasa di dalam industri fotografi,  di saat zaman menghadirkan perubahan teknologi yang signifikan. Dengan keterbukaan,  Fujifilm dapat dengan mudah melakukan penyesuaian. Hebatnya, Fujifilm bukan sekedar  melakukan penyesuaian, tetapi perusahaan tersebut juga terbuka dalam mencari peluang ke 

sektor kesehatan dan kecantikan. Keberanian ini membuat Fujifilm berhasil mempertahankan  posisinya sebagai perusahaan besar yang tak gampang goyah dilanda perubahan zaman. 

Selain terbuka, Fujifilm juga menjunjung tinggi sikap adil dan tidak memihak. Nilai-nilai ini lah  yang menjadi budaya di Fujifilm. Budaya ini jelas menjadi energi positif bagi setiap karyawan  yang berada di perusahaan. Karena tidak dapat dipungkiri, budaya perusahaan yang positif  dapat mempengaruhi produktivitas dan kinerja karyawan itu sendiri. 

Bijak rasanya apabila mengutip sebuah kalimat yang dilontarkan oleh seorang naturalis dan  ahli geologi Inggris, Charles Darwin, “Bukan spesies terkuat yang bertahan hidup, juga bukan  yang paling cerdas, tetapi yang paling responsif terhadap perubahan.” Dengan demikian,  optimis rasanya, dengan keterbukaan, dan keinginan beradaptasi yang dimiliki Fujifilm,  perusahaan asal Jepang ini akan terus mengibarkan benderanya dalam dunia usaha selama  waktu mengizinkan. 


Kultur perusahaan yang nyaman untuk karyawan

Keterbukaan yang dilakukan oleh Fujifilm bukan hanya dikhususkan untuk faktor eksternal. Internal, keterbukaan pun menjadi sebuah kebiasaan. Di Fujifilm Indonesia, sikap terbuka langsung ditunjukkan oleh pimpinan perusahaan, yaitu Presiden Direktur Fujifilm Indonesia, Masato Yamamoto. 

Masato memiliki langkah-langkah pendekatan tersendiri pada seluruh karyawan di Fujifilm  Indonesia. Hal ini Ia lakukan untuk meminimalisir gap yang ada akibat perbedaan budaya  ataupun jabatan. 

Ia sadar bahwa menurut Teori Dimensi Budaya Hofstede-sebuah kerangka kerja yang  digunakan untuk memahami perbedaan budaya antarnegara, Indonesia termasuk dalam budaya dengan jarak kekuasaan yang tinggi dan masih menganggap senioritas. 

Maka dari itu, Masato tak pernah segan untuk melakukan serangkaian pendekatan agar  karyawannya tak segan dalam menyampaikan pendapat atau hanya sekedar berkomunikasi. Salah satu langkah konkret yang Ia lakukan adalah dengan selalu membiarkan pintu  ruangannya terbuka. Dengan pendekatan ini, hierarki di atas kertas hanya tertulis sebagai  formalitas. 

Contoh lain keterbukaan di Fujifilm Indonesia adalah di saat pandemi Covid-19 melanda  dunia. Bisa dikatakan selama dua tahun, banyak usaha terkena dampak negatif dari pandemi yang tak berkesudahan ini, tak terkecuali Fujifilm Indonesia. 

Langkah-langkah efisiensi saat itu perlu diambil oleh jajaran manajemen Fujifilm Indonesia. Tetapi langkah yang berat, dapat mudah dijalani dan diterima oleh seluruh karyawan. Caranya  adalah dengan memaparkan kondisi dan situasi perusahaan secara terbuka dan kemudian 

memberikan pilihan solusi untuk kepentingan bersama. Tak ada keputusan krusial yang  ditutupi oleh pihak manajemen. 

"Transparansi inilah yang menjaga Fujifilm Indonesia terhindar dari konflik internal, baik  vertikal maupun horizontal," tutur GM Finance & Accounting Fujifilm Indonesia, Rochadian  Maulana. 

FFID GM Finance, Accounting Rochadian Maulana (Dok. FFID).

Sikap keterbukaan yang ditunjukkan oleh Masato menjadi contoh bagi para jajaran  manajemen dan karyawan, yang kemudian menjadi sebuah kultur perusahaan yang sehat. 

Berangkat dari pentingnya sikap keterbukaan, peran seperti "corporate culture translator"- penerjemah kultur Jepang ke Indonesia, sangat dibutuhkan di Fujifilm Indonesia. Uniknya,  sebagai perusahaan yang berasal dari Jepang, di Fujifilm Indonesia, hanya ada Masato dan  beberapa saja yang merupakan orang asli Jepang. 

Sehingga, peran "corporate culture translator" diberikan kepada para General Manager (GM)  Fujifilm Indonesia. Sebagai GM Fujifilm Indonesia, penting bagi mereka menyerap kultur  Fujifilm Tokyo lalu menginternalisasikannya di Fujifilm Indonesia. Tujuannya agar nilai-nilai  kultur Fujifilm Tokyo sama dengan nilai-nilai kultur Fujifilm Indonesia. 


Metode kerja yang berfokus pada problem solving

Untuk terus dapat berinovasi, Fujifilm Indonesia memiliki metode kerja berbasis See, Think,  Plan, and Do (STPD). Hal ini berbeda dengan kebanyakan perusahaan yang memiliki metode  kerja berbasis Plan, Do, Check, Act (PDCA). STPD,sebuah metode yang diciptakan oleh Fujifilm  pada tahun 2005, merupakan sebuah inovasi yang berfokus pada problem solving. STPD  sendiri merujuk pada cara kerja karyawan berprestasi yang mampu mengatasi sejumlah  persoalan saat itu. Secara jangka panjang, tujuan dalam menggunakan metode kerja ini agar  meningkatkan produktivitas, omzet, dan profit perusahaan.

Menurut GM Corporate Affairs Fujifilm Indonesia Rudy Handojo, "STPD digunakan sebagai  tool untuk problem solving." Penggunaannya diterapkan dalam pekerjaan harian para  karyawan. Misal, ada karyawan yang tidak mencapai target, karyawan tersebut tidak akan  langsung dihakimi oleh atasan. Dengan adanya metode STPD, karyawan tersebut akan diajak  berdialog untuk mencari solusi bersama. Dengan pendekatan metode kerja seperti ini,  karyawan menjadi lebih terbuka tentang permasalahan-permasalahan yang dihadapi, tanpa  harus merasa khawatir akan diberikan sanksi.  

FFID GM Corporate Affairs Rudy Handojo (Dok. FFID).

Kinerja karyawan pun secara otomatis akan semakin menjadi efektif karena fokus dalam  mencari solusi, bukan terkungkung dalam permasalahan. Efek samping dari metode kerja ini  secara jangka panjang, membentuk iklim kerja yang suportif, menghilangkan ruang untuk  saling menyalahkan. 

Untuk mendukung metode kerja STPD, Fujifilm Indonesia memiliki kode etik. Kode etik yang  telah disusun dibuat menjadi panduan dalam bekerja, bukan aturan kaku untuk mendikte  karyawan. 

Karyawan pun secara sukarela mentaati kode etik yang telah ditetapkan, tanpa adanya  paksaan. Kesadaran ini dilakukan karena hadirnya kultur perusahaan yang terbuka, adil dan  tidak memihak. Sehingga karyawan bekerja secara profesional dan menjaga integritas dalam  bekerja agar dapat menciptakan iklim kerja yang nyaman untuk semua. Budaya positif ini  telah terpatri dalam diri setiap karyawan. 

Dengan kultur perusahaan yang memihak pada karyawan, wajar rasanya apabila mereka merasa nyaman bekerja di Fujifilm Indonesia. Ditambah lagi, karyawan mempunyai  kebebasan dalam mengemukakan ide-ide baru. Sebagai bagian dari kampanye global Fujifilm  2022, Never Stop, ruang yang telah disediakan diharapkan dapat mendorong lahirnya ide-ide 

atau inovasi baru. Semua karyawan dari semua divisi diajak berkreasi bersama untuk  melahirkan sebuah inovasi. 

Usaha Fujifilm Indonesia selaras dengan arahan, presiden, CEO dan direktur perwakilan  perusahaan Fujifilm Holding Tokyo Teiichi Goto, pada April 2022.  

“Setiap individual di Fujifilm harus memiliki earning power. Fujifilm telah menyediakan ruang  bagi setiap karyawan untuk mengemukakan ide dan gagasan baru. Dengan keterbukaan ini,  diharapkan setiap karyawan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang.” 


Relasi antar karyawan juga menjadi perhatian

Selain kemudahan-kemudahan dalam bekerja yang diberikan oleh Fujifilm Indonesia,  perusahaan juga mementingkan relasi antar karyawan. Selama masa pandemi Covid-19,  pertemuan fisik menjadi minim. Dengan mulai terkendalinya situasi pandemi, Fujifilm  Indonesia berencana menggelar kegiatan Funesday dan Lunch with President Director.  Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memupuk kembali hubungan sesama karyawan Fujifilm  Indonesia. 

Funesday sendiri adalah kegiatan minum teh atau kopi bersama yang digelar di kantor Fujifilm Indonesia. Kegiatan ini bukan dilakukan di ruang meeting, ataupun pantry kantor,  tetapi sebuah area yang dinamakan Green Corner. Green Corner adalah area tempat  berkumpul para karyawan Fujifilm Indonesia. Bukan hanya tempat untuk menggelar  Funesday, tetapi tempat ini merupakan saksi bisu banyaknya kegiatan internal yang telah  terlewati. Memori kebersamaan para karyawan terekam dengan jelas di area ini. 

Ide-ide baru, inovasi yang dirancang atau sekedar canda tawa dan keluh kesah karyawan pun juga terjadi di Green Corner. Area yang dinamakan dengan warna hijau ini pun diambil dari  warna perusahaan. Dengan harapan, di area hijau ini lah keberlanjutan lahirnya ide-ide dan  inovasi Fujifilm Indonesia akan terus terjadi. 

FFID GM Finance, Accounting Rochadian Maulana, FFID GM Corporate Affairs Rudy Handojo, FFID President Director Masato Yamamoto (Dok. FFID).

Selain Funesday, keunikan lain di Fujifilm Indonesia adalah kegiatan Lunch with President  Director Fujifilm Indonesia, Masato Yamamoto. 

Kegiatan ini dibalut oleh rasa kekeluargaan penuh simpati dan empati. Simpati untuk saling  mengenal lebih dalam. Empati untuk mendengar keluh kesah guna dicarikan solusi bersama. Kegiatan ini pun jauh dari kesan formal. Sehingga karyawan dapat dengan mudah  berinteraksi dengan Masato. 

Dengan kehangatan yang dihadirkan oleh jajaran direksi dan manajemen Fujifilm Indonesia,  wajar apabila turn-over karyawan tergolong rendah. Kenyamanan yang diciptakan membuat  karyawan merasa telah menemukan tempat untuk berkarya.

 

(*)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya