Liputan6.com, Jakarta - Serangan impor produk garmen motif batik dari luar menjadi isu yang sudah lama muncul di tengah upaya untuk melestarikan batik. Namun para pelaku UMKM maupun pegiat wastra memiliki pandangannya sendiri menyikapi tantangan itu.
Bagi Dian Nutri Justisia Shirokadt, Pemilik brand Shiroshima yang telah mengimport produk batiknya hingga Jepang dan negara Eropa seperti Perancis, produk batik Indonesia haruslah dilestarikan. Produk garmen luar meski tampak seperti batik, namun sebenarnya bukanlah batik karena proses pengerjaannya tekstil dan merupakan produksi cetakan pabrik.
Advertisement
"Kita tetap harus mengedukasi dalam arti, kita tahu proses ini menggunakan sumber daya manusia, beliau yang mengerjakan batik kalau digantikan mesin kan kasian," ujar Dian saat ditemui Liputan6.com, Jumat 30 September 2022.
Berbeda dengan garmen motif batik, proses membuat batik sebagai warisan budaya tak benda yang sudah diakui oleh UNESCO ini juga tak bisa digantikan dengan mesin. Sebagai sebuah kekayaan asli Indonesia dan kebudayaan turun temurun, Dian mengaku memiliki visi ingin mempertahankan produksi batik tulis maupun cap agar para artisan batik yang meski sudah sepuh tetap bisa produktif dan berkreasi memiliki penghasilan untuk keluarganya.
Saat ini Dian mengaku sudah melakukan eksport namun untuk ritel. Brand Shiroshima yang mengambil DNA desain motif batik modern telah memiliki dua toko di Malaysia yang selalu rutin mengambil produk dari brandnya. "Kita sudah menjual juga hingga ke Paris, Singapura, HongKong, Jepang, Korea, terakhir di Australia," tambah Dian.
Untuk produksi batik sendiri Shiroshima memiliki sekitar 30 pengrajin batik cap dan tulis di Lendah, Kulon Progo. Dengan SDM itu pihaknya bisa menghasilkan produk batik berupa scarft hingga 3.000 buah. Namun untuk baju yang tanpa jahitan obras mereka memproduksi sekitar 500 hingga 1.000 yang semuanya dikerjakan handmade.
Permasalahan di Ekspedisi
Akan tetapi sebagai pengusaha UMKM, Dian justru mengaku kendalanya adalah dari segi ekspedisi saat akan mengimport produknya. "Saya pernah ke Jepang ditawari untuk masuk ke mall, sudah 4 tahun yang masuk dari India karena kita kalah bersaingnya dalam hal ekspedisi. Dari Indonesia ke Jepang sekitar Rp400 ribu per kilo, padahal saya ditawarkan kalau mau masuk ke departement store barang dan ekspedisi sampai sana maksimal Rp250 ribu," ungkap Dian.
Menurut Dian pemerintah seharusnya bisa memikirkan solusi untuk pelaku UMKM yang mengimport produk Indonesia ke luar. Kementerian Perdangan maupun Kementerian Perindustrian bisa memikirkan agar pelaku usaha tidak dibebankan biaya ekspedisi yang terlalu mahal.
Namun beruntungnya meski terkendala, Dian terbantu sejak berjualan di marketplace yang mulai dilakukannya sejak awal pandemi pada 2020. Ia kini bisa menjangkau konsumen yang lebih luas di seluruh Indonesia, termasuk anak muda. “Sebagai brand baru, saya merasa sangat terbantu dengan adanya platform e-commerce. Dengan customer base yang besar, saya dapat menjangkau konsumen lebih luas dan memperkuat brand Shiroshima,” tuturnya lagi.
Dian mengatakan hal tersebut tidak bisa dilakukan sendiri, sebab menembus pasar internasional bukanlah hal yang mudah, apalagi bagi brand baru seperti Shiroshima. Banyak proses yang harus ia lalui, tentunya menguras waktu, tenaga dan materi.
Advertisement
Tembus Pasar Internasional
Brand Shiroshima merupakan salah satu pengusaha batik lokal yang berhasil menembus pasar internasional berkat mengikuti salah satu program di sebuah marketplace. Brand batik asal Yogyakarta ini memiliki keunikan karena menawarkan angin baru di industri batik, melalui motif modern dan desain baju yang menggunakan teknik potongan zero-waste, sehingga tidak menyisakan limbah kain.
Melalui Shiroshima, Dian mengatakan ingin mengajak lebih banyak anak muda untuk bangga menggunakan batik dalam kehidupan sehari-hari. Ia juga bercita-cita untuk membawa Batik Kulon Progo ke ranah internasional.
Untuk mengoptimalkan misi usahanya, Dian mengambil langkah digitalisasi yaitu mengikuti Program Ekspor Shopee. "Saya merasa langkah saya sangat dipermudah untuk memasuki pasar internasional, dan kini saya bangga Shiroshima dapat menyapa pembeli di lima negara di Asia Tenggara," katanya.
Kisah Dian merupakan salah satu dari banyak kisah penjual di Shopee yang tersebar di 514 kota dan kabupaten di Indonesia. Kesuksesan Dian juga menjadi bukti bahwa UMKM dapat maju dan berdaya bersama pemanfaatan teknologi.
Edukasi Batik
Sementara itu Pendiri Wastra Indonesia, Monique Hardjoko dari sisi pegiat dan pecinta wastra Indonesia, mengatakan masuknya produk import garmen dari asing tidak bisa dihindari. Bahkan menurutnya bisa jadi tantangan kedepannya kian besar.
"Buat saya sebagai pegiat yang ingin melestarikan ini supaya berlanjut, kita nggak bisa melakukan upaya yang sifatnya menentang," sebut Monique saat ditemui Liputan6.com, Jumat 30 September 2022.
Dia pun tak muluk-muluk berpikir jauh dari kacamata Indonesia. Namun ia memulainya dari lini terkecil masyarakat seperti komunitas budaya, lingkup anak muda, bahkan teman-teman kantor yang ikut diajak untuk melestarikan batik dengan memakainya.
Sekarang menurutnya garmen-garmen dengan motif batik yang beredar dijual per meter harganya pun juga tidak murah. "Edukasinya sebetulnya dengan Rp100 ribu hingga Rp150 ribu kita sudah bisa beli batik cap yang bagus. Beberapa batik tulis juga masih bisa dibeli dengan harga mulai dari Rp250 ribu untuk batik tulis yang motif pesisir yang tidak terlalu rumit," kata Monique.
Biaya yang dikeluarkan menurutnya hampir sama, tapi tanpa sadar selembar yang kamu adopsi dari artisan batik itu sudah membantu. Tidak sekadar mengeluarkan uang, pembeli batik produk Indonesia mendapatkan karya seni yang perlu keterampilan yang di dalamnya ada nilai lebih.
"Kita jadi meningkatkan value ekonomi dengan cara yang sederhana. Tanpa sadar ikut menggerakkan, jika banyak dibeli produksi akan meningkat, meng-encourage jiwa seni orang-orang ini mereka jadi lebih semangat secara mentaly,"
Sementara itu permasalahan produk import motif batik dari luar merupakan pertanyaan yang harus bisa dijawab juga oleh beberapa stakeholder. Dari pemerintah, pelaku usaha, desainer dan masyarakatnya harus kompak dan sinergis.
Advertisement