Liputan6.com, Jakarta Mendapatkan pengalaman yang tidak mengenakan seperti diselingkuhi bisa mengubah cara pandang dan bersikap seseorang. Belum lagi jika perselingkuhan yang terjadi disusul dengan tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Keduanya seolah bisa menjadi paket lengkap untuk menimbulkan trauma pada korban. Psikolog keluarga Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indriani pun membenarkan hal tersebut.
Advertisement
Efnie mengungkapkan bahwa setelah menjadi korban perselingkuhan kemudian KDRT, korban bisa mengalami trauma berat. Sehingga penanganan yang tepat perlu dilakukan. Korban perlu untuk mendapatkan pendampingan dari berbagai sisi.
"Kejadian ini sangat traumatis bagi korban, maka penanganan oleh profesional (dokter + psikolog) wajib dilakukan agar korban bisa dipulihkan secara fisik dan mental serta meneruskan perjalanan hidupnya," ujar Efnie melalui keterangan pada Health Liputan6.com, Sabtu (1/10/2022).
Selain dibantu oleh tenaga profesional, korban juga perlu untuk meminta dukungan dari lingkungan sekitar. Orang-orang di sekitar korban sebaiknya hadir secara fisik untuk mendampingi dan menjadi pendengar yang baik.
"Mereka (orang-orang terdekat korban) harus menjadi supporting group dengan cara hadir secara fisik, mendampingi, menjadi pendengar yang baik, dan menenangkan," kata Efnie.
Sebagai orang terdekat, Efnie menyarankan untuk menghindari percakapan terkait perselingkuhan maupun KDRT. Hal ini lantaran dapat memicu rasa trauma korban menjadi lebih dalam.
Sebaiknya, korban hanya ditemani dan didengarkan keluh kesahnya tanpa adanya banyak penghakiman atau pertanyaan yang memberatkan.
Jangan Lakukan Hal-Hal Ini pada Korban
Efnie menyarankan orang-orang terdekat untuk menghindari pembahasan topik tersebut secara berulang. Hal ini dapat memicu rasa trauma yang lebih dalam.
"Hindari untuk membahas kasus tersebut berulang-ulang di hadapan korban karena akan semakin memicu rasa trauma," ujar Efnie.
Sebagai masyarakat yang menyaksikan, penting pula untuk bijak dalam menyikapi kasus kekerasan. Salah satunya dengan menghindari pemberian label tertentu pada pelaku maupun korban.
Serta, hindarilah membicarakan kasus kekerasan di depan anak-anak, yang mana dianggap dapat merusak psikis dan perkembangan mereka.
"Hal yang sebaiknya tidak dilakukan adalah memberikan label tertentu pada pelaku maupun korban, karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk bully," ujar Efnie.
"Hindari juga untuk membicarakan hal ini di hadapan anak-anak yang masih berusia di bawah umur karena informasi yang tidak baik ini bisa merusak psikis atau perkembangan mereka," tambahnya.
Advertisement
Pelaku Bisa Coba Lakukan Psikoterapi
Dalam kesempatan berbeda, Efnie mengungkapkan bahwa orang yang kerap lakukan kekerasan perlu menjalani terapi. Jika kekerasan dalam hubungan terjadi, maka pelaku disarankan untuk mendapatkan psikoterapi untuk mengubah pola pikir.
"Yang bersangkutan (pelaku) butuh mendapatkan psikoterapi yang bertujuan untuk mengubah pola berpikir tentang kekerasan, termasuk membentuk habit baru yang lebih positif. Hal ini sangat penting, mengingat karena melakukan perilaku kekerasan tidak akan pulih dengan sendirinya," kata Efnie.
Menurut Efnie, pelaku kekerasan sebenarnya akan sulit untuk pulih jika tidak melakukan terapi untuk perubahan perilaku.
"Karena sekali berbuat kekerasan, jika tidak melalui proses terapi sang pelaku akan sulit untuk pulih atau mengubah perilakunya," ujar Efnie.
Sedangkan dalam sisi korban, Efnie menyebutkan bahwa biasanya yang membuat korban kesulitan untuk keluar dari hubungan adalah pola pikir tertentu dan logika yang sedang tidak dalam kondisi jernih.
"Biasanya pola pikir enggak tega dan takut kehilangan yang membuat mereka (korban) sulit lepas, sehingga logika yang jernih tidak dipergunakan kembali," ujar Efnie.
Trauma Masa Kecil Jadi Pemicu Tindak Kekerasan?
Jika berkaca pada kasus kekerasan, tak sedikit yang mewajarkan tindak kekerasan sebagai suatu kebetulan karena seseorang sedang diliputi oleh emosi. Padahal kenyataannya, emosi apalagi kebetulan ternyata bukanlah faktor yang menyebabkan seseorang bisa melakukan tindak kekerasan.
Efnie mengungkapkan bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan saat berpacaran bukanlah sebuah hal yang dapat terjadi secara kebetulan. Hal tersebut lantaran tendensi untuk melakukan kekerasan sebenarnya sudah dapat terbentuk sejak seseorang berada pada masa kanak-kanak.
"Biasanya, sang pelaku memang sudah memiliki kecenderungan untuk melakukan agresi pada orang lain. Hal ini (bisa) terbentuk sejak dari kecil. Beberapa hal yang bisa membentuk seseorang atau watak menjadi agresi diantaranya sejak kecil ia berada dalam lingkungan yang memberikan contoh demikian," kata Efnie.
"Misalnya, ada kekerasan yang dilakukan dalam keluarga, lingkungan tempat tinggal memberikan contoh kekerasan, efek dari menonton film yg memiliki adegan kekerasan, game yang mengandung unsur kekerasan, dan lain-lain," pungkasnya.
Advertisement