Liputan6.com, Yogyakarta - Setiap 7 Oktober, Kota Yogyakarta akan merayakan hari ulang tahun (HUT) dengan beragam kegiatan. Tahun ini, berbagai rangkaian kegiatan akan menghiasi hari jadi kota ini.
Meski diperingati pada 7 Oktober, tetapi serangkaian kegiatan perayakan HUT Kota Yogyakarta akan digelar pada 1-9 Oktober 2022. Acara diawali dengan peluncuran logo HUT ke-266 Yogyakarta pada 1 Oktober 2022 yang dimeriahkan dengan berbagai aksi kesenian.
Selanjutnya, pada 2 Oktober 2022, akan digelar aksi bersepeda bersama yang bertajuk 'YoGowes' dengan melewati rute-rute bersejarah dan ikonik di Yogyakarta. Nantinya, kegiatan ini akan melibatkan setidaknya 2.500 orang.
Baca Juga
Advertisement
Sementara itu, pada 3-6 Oktober 2022, semarak karnaval para pelajar akan menghiasi jalan-jalan di Kota Yogyakarta. Selain itu, juga akan digelar seni budaya Sekar Rinoce dalam rangkaian HUT Yogyakarta.
Perhelatan budaya ini bertajuk Malioboro Seribu Kelir pada 4 Oktober 2022 ini diprediksi akan menjadi tontonan menarik karena kental akan nuansa teatrikal fesyen. Adapun, beragam pameran UMKM bertajuk Sekati ing Mall akan digelar sepanjang 5-10 Oktober 2022.
Kegiatan tersebut digelar di berbagai mal di Yogyakarta, seperti Galeria Mall, Malioboro Mall, serta Lippo Mall. Selain itu, peluncuran Mal Pelayanan Publik akan digelar pada 6 Oktober 2022.
Pada 7 Oktober, atau puncak acara, akan digelar perhelatan karnaval semalaman bertajuk 'Wayang Jogja Night Carnival' di kawasan Tugu Yogyakarta. Kegiatan tersebut akan dimeriahkan dengan berbagai kegiatan, seperti Mandiri Fashion Day di Pasar Beringharjo (8 Oktober 2022) hingga Malioboro Night Coffee di Jalan Jenderal Sudirman (8-9 Oktober 2022).
Saksikan video pilihan berikut ini:
Tema HUT ke-266 Yogyakarta
Adapun, tema HUT Kota Yogyakarta tahun ini adalah 'Sulih Luwih Pulih’. Tema tersebut menggambarkan kondisi Kota Yogyakarta yang bisa memulihkan diri sendiri sekaligus menjadi momentum kebangkitan pascapandemi Covid-19.
Kata 'sulih' memiliki arti berpindah dan beradaptasi dalam keadaan baru yang lebih baik. Sedangkan 'pulih' berarti sembuh dan 'luwih' berarti berkembang menjadi lebih baik. Secara singkat, makna tema 'Sulih Pulih Luwih' menggambarkan kondisi Kota Yogyakarta saat ini yang telah berhasil melewati pandemi dengan fase lebih baik.
Adapun, Pemkot Yogyakarta juga meluncurkan Logo HUT 266 Kota Yogyakarta. Logo tersebut berupa gunungan yang terdiri dari beberapa elemen, yakni motif flora hijau, motif lengkung emas, ornamen umplak joglo, lengkung emas, ulir tugu, dan ekor garuda.
Elemen-elemen tersebut mewakili berbagai unsur yang menjadi pondasi dalam pembangunan di Kota Yogyakarta. Secara filosofis, hal tersebut menunjukkan bahwa cita-cita pembangunan Kota Yogyakarta hanya dapat diwujudkan dengan kemanunggalan antara pemimpin dan masyarakat.
Advertisement
Kisah Lahirnya Kota Yogyakarta
Memasuki usia ke-266 tahun, kelahiran Kota Yogyakarta melalui perjalanan yang cukup panjang. Berdasarkan sejarahnya, berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda.
Dikutip laman Kota Jogja, perjanjian ini ditandatangani Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Disebutkan, isi Perjanjian Giyanti tertulis, Negara Mataram dibagi dua, yakni setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, sedangkan setengahnya lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi.
Dalam perjanjian itu pula, Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Perjanjian Giyanti ini sangat mempengaruhi jalannya sejarah peradaban Jawa.
Isi perjanjian yang juga melibatkan Belanda atau VOC ini telah membelah wilayah Mataram Islam yang memunculkan dua kerajaan, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Dalam buku 'Sejarah Kanjeng Sultan Hamengku Buwono IX' (2006) yang ditulis Purwadi, Perjanjian Giyanti juga disebut sebagai Babad Palihan Negari yang ditandatangani tanggal 13 Februari 1755 di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, dekat Karanganyar, Jawa Tengah.
Berdasarkan Perjanjian Giyanti, wilayah milik Mataram di sebelah timur Sungai Opak (yang mengalir dekat Candi Prambanan) dikuasai oleh Susuhunan Pakubuwana III, penguasa Kasunanan Surakarta. Sedangkan wilayah yang berada di sebelah barat Sungai Opak, menjadi kepunyaan Kasunanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwana I.
(Resla Aknaita Chak)