Arema vs Persebaya Berujung Tragedi, Jurnalis Sampai Gemetar Lihat Banyak Korban Berjatuhan

Jurnalis yang meliput laga Arema FC dan Persebaya Surabaya bertutur tentang para korban yang digotong setelah gas air mata ditembakkan.

oleh Yo Kavya diperbarui 03 Okt 2022, 14:30 WIB
Polisi dan tentara berdiri di tengah asap gas air mata saat kerusuhan pada pertandingan sepak bola antara Arema Vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022. Ratusan orang dilaporkan meninggal dunia dalam tragedi kerusuhan tersebut. (AP Photo/Yudha Prabowo)

Liputan6.com, Jakarta Tidak mudah melupakan insiden kelam yang menyelimuti Stadion Kanjuruhan, Sabtu malam (1/10/2022). Insiden berdarah usai pertemuan Arema Vs Persebaya itu telah merenggut setidaknya 125 korban jiwa. 

Insiden bermula saat pendukung Arema turun ke lapangan usai peluit panjang berbunyi. Mereka ingin meluapkan kekecewaan setelah tim kesayangannya secara mengejutkan kalah 2-3 dari Bajul Ijo. 

Tidak ada suporter lawan yang diburu, karena sejak awal Bonek dilarang hadir di Kanjuruhan. Para pemain Persebaya juga sudah buru-buru mengamankan diri ke ruang ganti menunggu dievakuasi dengan rantis.

Sayang bentrok tetap tak terhindarkan. Langkah petugas keamanan dalam membubarkan massa justru menyulut emosi Aremania hingga menyebabkan massa lebih banyak masuk ke lapangan. Suasana semakin tidak terkendali saat polisi melepaskan gas air mata. Banyak penonton panik saat menyelamatkan diri. 

Yona Arianto, salah seorang jurnalis tengah berada di pintu VIP 2 saat kericuhan meluas. Dari lokasi ini terdapat akses ke lapangan dari sisi selatan. "Setelah adanya suara tembakan gas air mata, supporter yang berada di lapangan lalu lari berhamburan ke tribun," kata Yona bercerita kepada Liputan6.com.  

"Sebagian, karena panik lalu ketemu lorong yang biasa digunakan awak media. Banyak yang sempoyongan, sesak napas," sambungnya setelah berhenti sejenak untuk menahan tangis. 

Seperti jurnalis lainnya, Yona awalnya berusaha mengabadikan momen tersebut. Namun naluri kemanusiaannya bersama rekan jurnalis lain akhirnya mendorong mereka untuk ikut membantu.

 

"Kami menggotong puluhan jenasah dan korban yang dalam kondisi sakaratul maut, terutama anak-anak dan wanita. Masih terbayang bagaimana wajah mereka menghitam, penuh darah dan tak henti bergerak terus menahan sakit,” kata Yona Arianto.


Seorang Bapak

Banyak suporter Arema FC tak berdosa meregang nyawa saat berdesak-desakan menghindari gas air mata yang juga diarahkan ke tribune. (AP/Yudha Prabowo)

"Ada seorang bapak membawa anaknya. Dia sudah tidak kuat lagi berjalan. Minta saya menyelamatkan anaknya. Dia tak bisa lagi menggendong anaknya. Saya bawa anak itu ke ruang medis. Saya tidak tahu bagaimana nasibnya, mungkin tertolong,” ujar Yona sambal terisak.

Menurut Yona, di ruang medis sudah banyak korban dibawa oleh Aremania dan jurnalis. Ruangan itu terasa pengap, kurang sirkulasi udara, dan sedikitnya tenaga medis.

Bersama jurnalis lainnya, juga Aremania, Yona juga membantu korban lainnya yang mengalami sesak napas. Dadanya ditekan, diberi nafas buatan. Nyawa supporter itu tak tertolong. Para jurnalis sampai lemas, gemetar menyaksikan hal itu.

“Saya tidak ingat berapa korban yang digotong ke ruang medis dan ruang media. Para jurnalis dan Aremania bolak -balik membawa korban. Di media center awalnya banyak kursi, lalu dipinggirkan dan para korban ditaruh di situ,” katanya.

 


Ibu Memegang Botol Susu

Klub Prancis lainnya, AC Ajaccio dan Clermont Foot 63 juga melakukan mengheningkan cipta untuk para korban tragedi Kanjuruhan yang banyak memakan korban jiwa. (AFP/Pascal Pochard-Casabianca)

"Ada yang meninggal juga di media center. Ada dua atau lebih yang meninggal di depan saya setelah pertolongan seadanya dilakukan,” tambahnya

Satu korban lain yang tetap membayangi ingatan Yona adalah seorang ibu, berusia sekitar 30 tahun, meregang nyawa. Diletakkan di depan mushola stadion. Tangan kanannya masih memegang botol dot minum anaknya, yang telah terpisah entah ke mana.

"Dunia turut berduka. Dunia tak akan melupakan tragedi ini. Dunia pasti ingin tahu di mana Malang, di mana Kanjuruhan. Tragedi ini tak akan pernah terlupakan,” kata Yona.


Manajer hingga Pemain Ikut Membantu

Tidak hanya jurnalis yang ikut membantu korban saat tragedi Kanjuruhan. Seperti dikutip dari Bola.com, manajer hingga pemain Arema juga turun tangan. Manajer Arema FC, Ali Rifki bersama para pemain, ia membantu melakukan evakuasi korban yang sempat terjebak dalam kepungan gas air mata.

Ikhfanul Alam, Evan Dimas, Dendi Santoso hingga pemain asing Renshi Yamaguchi juga turut membopong para korban. Mereka mengumpulkan para korban di tengah lapangan sembari menunggu ambulans tiba.

Karodokpol Pusdokkes Polri Brigjen Nyoman Eddy Purnama Wirawan telah memutakhirkan data korban tewas Tragedi Kanjuruhan, Malang. Setelah diperbaharui, jumlah korban meninggal dunia diketahatui sebanyak 125 orang. Ini sekaligus meluruskan angka yang beredar sebelumnya, yakni 129 orang. 

"Setelah ditelusuri di RS terkait menjadi meninggal dunia 125 orang," tutur Nyoman kepada wartawan, Minggu (2/10/2022).

Insiden ini tidak hanya menyita perhatian dalam negeri. Tragedi Kanjuruhan juga sorotan dunia. Berbagai pihak mulai dari presiden FIFA, AFC, hingga klub-klub ternama Eropa ikut menyampaikan rasa berdukanya atas insiden tersebut. Sementara Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dengan tegas meminta agar kasus ini diusut tuntas dan dilakukan evaluasi terhadap prosedur pengamamanan pertandingan sepak bola. Presiden Jokowi juga telah memberhentikan sementara Liga 1 hingga kasus ini menemui titik terang. 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya