Dinas ESDM Sebut Potensi Energi Baru Terbarukan di Jabar Capai 170 GW, tapi Implementasinya Baru 2 Persen

Potensi Energi Baru Terbarukan di Jawa Barat diklaim tinggi, tapi implementasinya masih rendah.

oleh Dikdik Ripaldi diperbarui 05 Okt 2022, 00:00 WIB
Ilustrasi (iStock)

Liputan6.com, Bandung - Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Barat (Jabar) menyebut potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) di Jabar mencapai 170,4 Gigawatt (GW). Namun, implementasi potensi energi itu terbilang masih rendah, hanya mencapai sekitar 2 persen.

Hal tersebut disampaikan Kepala Bidang Energi Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat, Permadi Mohamad Nurhikmah, saat menjadi pembicara pada Jabar Punya Informasi (JAPRI) di Aula Timur Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (3/9/2022).

"Diestimasikan potensi energi baru terbarukan di Jawa Barat itu 170,4 Gigawatt equivalen, dari angin, matahari, air, biomassa, dan sebagainya. Kalau kita lihat implementasinya baru memanfaatkan sekitar 3,4 Gigawatt equivalen, artinya baru sekitar 2 persen," kata dia.

Permadi menjelaskan, pemanfaatan EBT sangat penting dimasifkan. Selain guna menekan kerusakan lingkungan juga diyakini bakal berdampak positif pada peningkatan daya tawar investasi.

"Pemanfaat energi baru terbarukan akan meningkatkan indeks kompetisi Jawa Barat terutama untuk market global," katanya. "Dalam risedensi G20 transisi energi juga jadi salah satu pilar yang disusung selain arsitektur kesehatan global dan transformasi ekonomi digital. Yang bisa kita lakukan untuk melaksanakan komitmen itu di antaranya transisi energi, terutama beralih dari penggunaan energi fosil menjadi energi baru terbarukan," imbuh Permadi.

 


Sejumlah Hambatan

Sebelumnya, Kepala Dinas ESDM Jabar Ai Saadiyah Dwidaningsih mengakui adanya sejumlah hambatan dalam implementasi EBT di Jabar, di antaranya aspek regulasi. Kewenangan sektor energi relatif tersentralisasi di pemerintah pusat. Hal itu diklaim menyebabkan terbatasnya ruang fiskal dan gerak daerah dalam pengembangan EBT.

Selain itu, dari aspek teknis. Menurut Ai, kemampuan sistem jaringan untuk menyerap listrik dari EBT masih terbatas. Sifatnya juga masih belum bisa dipastikan tersedia terus-menerus.

”Sedangkan dari aspek finansial, subsidi terhadap energi fosil masih cukup besar. Ketertarikan sektor keuangan dalam berinvestasi di bidang EBT masih rendah karena risiko yang dinilai tinggi. Padahal, harga pembangkitan EBT untuk beberapa sumber, seperti PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya), semakin terjangkau,” katanya lewat keterangan pers beberapa waktu lalu.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya