Kericuhan Arema di Kanjuruhan Disebut-sebut Tragedi Kemanusiaan Memilukan

Kericuhan Arema di Kanjuruhan disebut-sebut sebagai tragedi kemanusiaan memilukan.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 03 Okt 2022, 20:00 WIB
Petugas berjalan melewati mobil polisi yang rusak dalam tragedi kerusuhan pada pertandingan sepak bola antara Arema Vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, Minggu (2/10/2022). Sejumlah kendaraan terlihat terguling di dalam di Stadion Kanjuruhan. (AP Photo/Trisnadi)

Liputan6.com, Malang Menanggapi tewasnya lebih dari 100 orang dalam tragedi Kanjuruhan usai laga Arema FC dengan Persebaya, Amnesty International Indonesia menyebut, peristiwa tersebut sebagai tragedi kemanusiaan memilukan. Bahkan termasuk tragedi yang menyeramkan.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, hak hidup ratusan orang melayang begitu saja selepas pertandingan bola. Korban meninggal dan dirawat karena luka-luka tersebar di berbagai fasilitas kesehatan, baik rumah sakit maupun puskesmas.

"Ini betul-betul tragedi kemanusiaan yang menyeramkan sekaligus memilukan. Perempuan dan laki-laki dewasa, remaja dan anak di bawah umur, menjadi korban jiwa dalam tragedi ini," kata Usman melalui pernyataan tertulis yang diterima Health Liputan6.com pada Minggu, 2 Oktober 2022.

"Kami sampaikan duka cita mendalam kepada keluarga korban, begitu juga kepada korban luka yang saat ini sedang dirawat. Kami berharap pemulihan kondisi yang segera."

Berdasarkan data sementara per 2 Oktober 2022 pukul 17.30 WIB, hasil sinkronisasi dengan dinas kesehatan Kabupaten Malang yang mengoperasikan Krisis Center tercatat, 125 orang dinyatakan meninggal dunia. Sebelumnya, sempat ditemukan dobel pencatatan beberapa orang yang tadinya 129 meninggal.

Menurut Usman, perlu dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta untuk mengusut tuntas tragedi Kanjuruhan. Apalagi upaya mengatasi supporter oleh aparat, terutama penggunaan gas air mata dinilai tidak dibenarkan.

“Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan negara untuk mengatasi atau mengendalikan massa seperti itu tidak bisa dibenarkan sama sekali. Ini harus diusut tuntas. Bila perlu, bentuk segera Tim Gabungan Pencari Fakta," sambungnya.


Ratusan Penonton Kekurangan Oksigen

Mobil pihak keamanan terbalik saat terjadi kericuhan setelah laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya pada laga lanjutan Liga 1 2022/2023 yang berlangsung di Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (01/10/2022). (Bola.com/Dendy Gandakusumah)

Tragedi Arema di Kanjuruhan, lanjut Usman Hamid mengingatkan pada tragedi sepak bola serupa di Peru tahun 1964. Pada waktu itu, lebih dari 300 orang tewas akibat tembakan gas air mata yang diarahkan polisi ke kerumunan massa.

Akibatnya, membuat ratusan penonton berdesak-desakan dan mengalami kekurangan oksigen.

“Sungguh memilukan 58 tahun kemudian, insiden seperti itu berulang di Indonesia. Peristiwa di Peru dan di Malang tidak seharusnya terjadi jika aparat keamanan memahami betul aturan penggunaan gas air mata," terangnya.

"Tentu kami menyadari, bahwa aparat keamanan sering menghadapi situasi yang kompleks dalam menjalankan tugas mereka, tapi mereka harus memastikan penghormatan penuh atas hak untuk hidup dan keamanan semua orang, termasuk orang yang dicurigai melakukan kerusuhan.”

Ditegaskan Usman, Pemerintah harus menyelidiki tuntas tragedi di Kanjuruhan pada Sabtu (1/10/2022). Evaluasi soal dugaan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat perlu dilakukan.

“Akuntabilitas negara benar-benar diuji dalam kasus ini. Oleh karena itu, kami mendesak negara untuk menyelidiki secara menyeluruh, transparan dan independen atas dugaan penggunaan kekuatan berlebihan yang dilakukan oleh aparat keamanan serta mengevaluasi prosedur keamanan dalam acara yang melibatkan ribuan orang," tegasnya.


Asal Mula Kericuhan Supporter

Seorang Aremania terjatuh di lapangan Stadion Kanjuruhan dan pihak kepolisian berusaha mengamankan. (Iwan Setiawan/Bola.com)

Berdasarkan laporan sementara yang dihimpun Amnesty International Indonesia, hari Sabtu, 1 Oktober 2022 sekitar pukul 22.00 WIB, setelah pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya, supporter Arema FC melempari para pemain dan ofisial  Persebaya yang tengah berusaha masuk ke dalam kamar ganti dari lapangan dengan botol air mineral dan lain lain, dari atas tribun.

Begitu pula saat pemain dan ofisial Arema berjalan masuk menuju kamar ganti pemain, supporter Arema turun ke lapangan dan diduga menyerang pemain dan ofisial Arema. Supporter Arema yang turun ke lapangan semakin banyak dan diduga menyerang aparat keamanan.

Kemudian memicu aparat keamanan menembakkan gas air mata ke arah tribun supporter Arema, dan membuat supporter di tribun itu berdesakan. Mereka membubarkan diri keluar stadion, lalu terjadi penumpukan massa.

Insiden penembakan gas air mata juga terjadi saat supporter Arema berusaha menghadang rombongan pemain dan ofisial Persebaya yang hendak meninggalkan Stadion Kanjuruhan, tempat pertandingan berlangsung. Aparat keamanan membubarkan supporter dengan menembakkan gas air mata.


Larangan Gas Air Mata dan Senjata Api

Situasi yang tidak kondusif memaksa petugas keamanan untuk bertindak. Alhasil, kericuhan dan kepanikan terjadi, terutama di area tribune Stadion Kanjuruhan. (AP/Yudha Prabowo)

FIFA Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19 menyebutkan, bahwa penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion. Bahkan dalam aturan itu juga disebutkan, kedua benda tersebut dilarang dibawa masuk dalam stadion.

Paparan gas air mata menyebabkan sensasi terbakar dan memicu mata berair, batuk, rasa sesak di dada dan gangguan pernapasan serta iritasi kulit. Dalam banyak kasus, efek gas air mata mulai terasa dalam 10 hingga 20 menit.

Walau begitu, efek gas air mata memiliki dampak yang berbeda ke tiap orang. Anak-anak, perempuan hamil dan lansia lebih rentan terhadap efeknya. Tingkat keracunan dapat berbeda pula bergantung dari spesifikasi produk, kuantitas yang digunakan, dan lingkungan di mana gas air mata ditembakkan.

Kontak dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan beberapa risiko kesehatan. Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat negara berdampak langsung pada hak untuk hidup, yang dilindungi oleh Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang wajib dipatuhi Indonesia sebagai negara pihak.

Oleh karena itu, penggunaan kekuatan harus sesuai dengan perlindungan hak asasi manusia yang ketat sebagaimana diatur secara lebih rinci dalam Kode Etik PBB untuk Pejabat Penegak Hukum (1979) dan Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Pejabat Penegak Hukum (1990).

Penggunaan kekuatan oleh aparat penegak hukum di Indonesia diatur lebih lanjut oleh UU Nomor 39/1999 Tentang HAM hingga Peraturan Kapolri tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Polisi (No. 1/2009).

Infografis Ada Kerangkeng Manusia di Kediaman Bupati Langkat. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya