Liputan6.com, Bandung - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengungkapkan berbagai tantanganyang harus dihadapi sektor minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia.Mulai dari bersaing dengan energi baru terbarukan hingga belum menarik bagi investor asing.
Sekretaris SKK Migas Taslim Z Yunus menjelaskan, produksi migas di Indonesia saat ini berada di angka 615 ribu barel per hari. Sedangkan kebutuhan yang ada mencapai 1,4 juta barel per hari. Artinya, saat ini produksi lokal belum bisa memenuhi kebutuhan.
Advertisement
SKK Migas pun mendorong seluruh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) terus melakukan upaya untuk menambah produksi.Namun ternyata langkah tersebut banyak mendapatkan tantangan. Salah satunya adalah harus bersaing dengan energi baru terbarukan (EBT).
Taslim bercerita, saat ini beberpaa negara sudah menyetop mendanai energi fosil. Oleh karena itu pemerintah harus mencari berbagai cara agar sektor migas di Indonesia menarik.
"Bagaimana kita semua bisa membuat daya tarik sehingga investor bisa tanam uang di energi fosil, terutama gas. Ini periode 2022 hingga 2060 itu periode zero emission, tapi gas bisa menjadi alternatif," jelas dia dalam Forum Group Discussion SKK Migas di Bandung, Senin (3/10/2022).
Di samping itu, Taslim melanjutkan, Indonesia juga merupakan negara yang kurang menarik untuk investasi migas. Salah satu yang membuat hal ini bisa terjadi karena faktor perizinan yang sangat banyak dan sulit.
"Oleh sebab itu perlu juga upaya semua pihak agar Indonesia menjadi negara yang menarik untuk eksplorasi dan eksploitasi," kata dia.
Di Tengah Euforia EBT, Bos SKK Migas Sebut Energi Minyak dan Gas Bumi Masih Dibutuhkan
Sebelumnya, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Dwi Soetjipto mengungkap energi fosil seperti minyak dan gas bumi masih dibutuhkan di tengah upaya transisi energi baru terbarukan.
Menurutnya, ini diperlukan untuk menjaga keamanan energi secara keseluruhan. Dengan begitu proses transisi energi perlu ditangani secara hati-hati dengan mempertimbangkan kesinambungan, keamanan dan ketersediaan energi. Menurut Dwi Soetjipto, salah satu isu global yang mempengaruhi industri migas dunia adalah transisi energi.
Sebagaimana disebutkan dalam protokol Kyoto, Paris Agreement, atau kesepakatan global lainnya yang juga dirancang oleh banyak negara, termasuk Indonesia dengan komitmen untuk mengurangi emisi karbon.
Di sektor migas, beberapa perusahaan migas ternama sudah memasukkan pengurangan emisi karbon ke dalam strategi portofolio mereka. Kondisi ini memperketat persaingan untuk menarik investasi ke sektor migas.
“Namun di sisi lain, pemulihan ekonomi dunia pasca pandemi Covid-19, dan krisis Rusia-Ukraina, turut mendorong naiknya permintaan dan harga migas. Dan oleh karenanya, tekanan untuk meningkatkan produksi migas juga semakin tinggi,” kata dia mengutip keterangan resmi, Rabu (14/9/2022).
Ini disampaikam Dwi saat menjadi pembicara kunci pada pembukaan Oil & Gas Exhibition 2022, di Kuala Lumpur, Malaysia (13/9/2022).
Dwi Soetjipto ditunjuk menjadi pembicara kunci sebagai bentuk apresisasi kepada SKK Migas, yang dinilai sukses menyelenggarakan Forum Kapasitas Nasional.
Kesempatan tersebut juga dihadiri Head of Malaysian Petroleum Management Mohammad Firouz Asnan, President & Group CEO Petronas, Datuk Tengku Muhammad Taufik serta beberapa pejabat otoritas migas Malaysia lainnya.
Informasi, Oil & Gas Asia merupakan salah satu eksibisi migas terbesar di Asia, di mana pemangku kepentingan industri migas bertemu dengan para pengambil keputusan dari pemerintahan maupun perusahaan minyak nasional dan internasional.
Event yang berlangsung 13-15 September 2022 ini menjadi wadah bertukar informasi mengenai teknologi dan trend terkini industri migas.
Advertisement
Sektor Migas di Asia Tenggara
Dwi menambahkan, sebagai kawasan yang sedang berkembang, pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara merupakan yang tercepat di dunia. Sehingga kawasan ini membutuhkan energi untuk menopang pertumbuhan tersebut.
“Kami mendukung penuh komitmen pemerintah terhadap energi terbarukan, namun kami juga sangat yakin bahwa sektor migas, khususnya gas, masih sangat relevan dalam memainkan peran yang lebih strategis dalam transisi energi. Tantangannya kini adalah bagaimana meningkatkan produksi, sekaligus mengurangi emisi karbon pada saat yang bersamaan,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Dwi, dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya dan mengupayakan target emisi, Indonesia tidak hanya sedang mengejar target produksi minyak sebesar 1 juta bpd dan gas sebesar 12 miliar kubik pada 2030.
Tetapi juga meningkatkan dampak berganda bagi perekonomian serta mendorong kesinambungan lingkungan.
Dwi optimistis bahwa gugusan kepulauan Indonesia masih menyimpan cadangan potensial. Dari 128 basin, produksi migas Indonesia baru berasal dari 20 basin.
Ia menyebut masih ada 68 persen yang belum dieksplorasi. Pengeboran eksplorasi baru-baru ini di Laut Andaman menunjukkan hasil positif dengan adanya potensi cadangan gas.
“Kami mengundang lebih banyak kegiatan eksplorasi di kawasan ini. Kami ingin melakukan pengeboran 700 struktur, di mana kami berharap menemukan potensi besar. Kami juga menjajaki kegiatan eksplorasi besar-besaran untuk menemukan potensi cadangan migas non-konvensional,” ujarnya
Pada kesempatan ini, lanjut Dwi, Indonesia ingin berbagi semangat kerjasama di kawasan Asia Tenggara. Tahun ini, Indonesia menjadi pemimpin G20, dan berharap bisa meraih berbagai kemungkinan kolaborasi dalam, mempromosikan transisi energi.