Komika Abdur Arsyad Luapkan Kesedihan dan Kekesalan Soal Tragedi Kanjuruhan: Saya Tidak Tahan Lagi, Saya Marah Sekali

Komika Abdur Arsyad merasa bahwa menyalahkan suporter sebagai titik kesalahan dalam tragedi itu adalah tidak tepat.

oleh Surya Hadiansyah diperbarui 05 Okt 2022, 18:00 WIB
Komika Abdur Arsyad (ist)

Liputan6.com, Jakarta Abdur Arsyad turut memberikan tanggapannya mengenai tragedi Kanjuruhan yang merenggut ratusan nyawa dalam laga Arema melawan Persebaya pada Sabtu, 1 Oktober 2022 lalu.

Komika Stand Up Comedy ini mengaku sangat sedih, kesal sekaligus marah atas apa yang terjadi saat ini.

Abdur Arsyad mengatakan bahwa banyak dari anggota keluarganya yang malam itu hadir di stadion Kanjuruhan. Abdur begitu menahan diri untuk tidak ikut berkomentar mengenai masalah yang sedang terjadi ini.

Namun sepertinya ia sudah tidak tahan lagi. Terlebih ketika banyak masyarakat yang bukannya saling menguatkan, justru malah menyalahkan banyak pihak khususnya para suporter Arema yang datang malam itu.


Menahan Diri

Media visit pemain film Target (Daniel Kampua/bintang.com)

"Saya menahan diri untuk tidak berkomentar sangat menahan diri. Tapi saya tidak tahan lagi, saya tahan itu karena saya takut, jangan sampai yang keluar dari saya hanya makian, karena saya marah sekali," kata Abdur Arsyad dengan begitu meledak-ledak dalam unggahan di Instagram-nya pada Senin (3/10/2022).

"Kita harusnya bukan saatnya kita untuk menyalahkan, kita seharusnya saling menguatkan. Sayangnya kalimat-kalimat ini keluar dari orang-orang yang suka menyalahkan suporter, mereka yang mengatakan itu mulut yang sama yang suka menyalahkan suporter," sambungnya lagi.

 


Bandingkan dengan KRL

Aparat keamanan melepas tembakan gas air mata untuk menghalau massa dalam kerusuhan di Stadion Kanjuruhan Malang pada Sabtu, 1 Oktober 2022 (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Abdur Arsyad merasa bahwa menyalahkan suporter sebagai titik kesalahan dalam tragedi itu adalah tidak tepat. Pasalnya, menurutnya suporter hanyalah satu bagian dari sistem pengelolaan yang buruk. Ia kemudian membandingkan dengan masalah pengguna KRL sepuluh tahun ke belakang.

"Bagaimana mungkin kita menyalahkan individu-individu kecil yang mana mereka ini kita semua tahu bahwa mereka diatur oleh sistem yang jelek. Sistemnya jelek. 2011 ke bawah, kita bisa menyalahkan orang yang mungkin naik ke atap KRL, kemudian kena listrik, jatuh dan meninggal dunia. Kita bisa menyalahkan itu, tapi apakah itu membuat orang berhenti naik ke atap KRL? Kan tidak, ada saja yang naik kan?" kata Abdur Arsyad.

"Lalu kenapa sekarang tidak ada yang naik? Karena sistemnya diubah, sistemnya dibuat bagus. Dan ternyata individu-individu yang sama ini bisa diatur kalau sistemnya bagus," tambahnya.

 


Sistem yang Jelek

Suporter memasuki lapangan saat terjadi kerusuhan pada pertandingan sepak bola antara Arema Vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022. Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta dalam jumpa pers di Kabupaten Malang, Jawa Timur, Minggu, mengatakan dari 127 orang yang meninggal dunia tersebut, dua di antaranya merupakan anggota Polri. (AP Photo/Yudha Prabowo)

Sayangnya, hal itu tidak terjadi dalam sepak bola. Abdur Arsyad menyebut bahwa titik permasalahan yang terjadi itu adalah sistem yang mengelola dunia sepak bola Indonesia.

"Manusia itu kalau sudah suka sesuatu kemudian fanatik dan membawa massa yang banyak, semakin banyak massanya, maka semakin besar juga potensi perputaran uang ada, dan ketika potensi putaran uang itu banyak, sayangnya yang mengatur itu bukan orang-orang pintar. Dan itu dari dulu begitu, itu titik masalahnya. Karena kita selama ini diatur sama orang-orang bodoh, to**l, mereka itu to**l, tidak paham mereka itu. Kita bicara sekeras apapun mereka itu tidak paham perasaan ini," beber Abdur Arsyad.

 


Tak Lagi Dilihat sebagai Manusia

Tetapi pihak keamanan melakukan kebijakan yang kontroversial. Mereka justru menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa yang terus merengsek ke dalam lapangan. Langkah tersebut justru membuat kondisi di lapangan makin runyam. (AP/Yudha Prabowo)

Tak hanya itu saja, Abdur Arsyad merasa bahwa selama ini pengelola mengabaikan keselamatan dan nyawa seseorang hanya demi keuntungan semata.

"Karena kita itu tidak dilihat lagi sebagai manusia, tidak dilihat sebagai Abdur, Arie, Mamat, atau Pandji Pragiwaksono, nama-nama kita hilang di mata mereka, kita ini adalah sumber uang," jelasnya.

"Nama kita itu sudah diganti 50 ribu rupiah per tiket itu. Kita itu dihitung sebagai perolehan tiket, bukan lagi nyawa A nyawa B, bukan. Dan itu titik masalahnya. Selama orang-orang ini masih mengatur kita di situ, maka kita hanya akan dibawa dari kedukaan satu ke kedukaan lain," tutupnya.

Infografis Ragam Tanggapan Tragedi Arema di Stadion Kanjuruhan. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya