Menko Airlangga Minta K/L dan Pemda Bereskan Tumpang Tindih Wilayah

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengaku memiliki 4 peta indikatif tumpang tindih.

oleh Arief Rahman H diperbarui 04 Okt 2022, 13:00 WIB
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengaku memiliki 4 peta indikatif tumpang tindih. Maka, ia meminta kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah bisa menindaklanjutinya.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengaku memiliki 4 peta indikatif tumpang tindih. Maka, ia meminta kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah bisa menindaklanjutinya.

Untuk diketahui, ini berkaitan dengan kebijakan satu peta (KSP). Dimana salah satu fungsinya adalah merapikan peta dari berbagai aspek mulai sosial, ekonomi, dan geospasial.

"Saat ini Kemenko Perekonomian telah menetapkan 4 peta indikatif tumpang tindih (Pitti)," kata dia dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional Kebijakan Satu Peta, Jakarta, Selasa (4/10/2022).

Diantaranya, pitti terkait batas daerah, tata ruang dan kawasan hutan di 34 provinsi. Kemudian pitti ketidaksesuaian tentang perizinan pertambangan di kawasan hutan.

Lalu, pitti HGU dan tutupan kelapa sawit dalam kawasan hutan. Serta pitti ketidaksesuaian perizinan perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan di provinsi Kalimantan Tengah.

Dia berharap, dalam rangka penyelesaian Pitti yang, akan ada rencana aksi yang akan dilakukan oleh sejumlah kementerian. Diantaranya Kementerian Lembaga dan lemerintah daerah yaitu penyelesaian dan penegasan batas daerah, oleh Kemendagri.

Kemudian, penyelsaian rencana tata ruang provinsi kawasan hutan yang dilaksanakan oleh Kemen KLHK, Kementerian ATR/BPN, Kemendagri, Pemprov pemerintah kabupaten kota.

Serta ketidaksesuaian antara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota, dimana ini melibatkan Kementerian ATR/BPN, Kemendagri, Pemprov dan kabupaten/kota.

"Rencana aksi ini tentu diharapkan ditindak lanjuti dengan percepatan batas daerah, percepatan pengukuhan batas-batas pengukuhan hutan serta revisi RTRW provinsi maupun kabupaten kota," ujarnya.

 


Penyelesaian Ketidaksesuaian

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Inspirato Sharing Session Liputan6.com dengan tema Menjaga Pertumbuhan Ekonomi di Tengah Tingginya Inflasi, Kamis (22/9/2022).

Lebih lanjut, Menko Airlangga menyebut kalau upaya ini bisa menjadi jalan keluar bagi ketidaksesuaian pemetaan. Ia juga berharap ini bisa jadi komitmen bersama setiap pemangku kepentingan.

"Kita harap ini menjadi komitmen kita bersama, kementerian lembaga agar pemutakhiran data geospasial ini menjadi bagian penyelesaian ketidaksesuaian dan kemanfaatan ruang dalam kebijakan satu peta," bebernya.

"Kedepan tentunya dukungan semakin dibutuhkan agar berbagai usulan ide atau terobosan untuk pemanfaatan informasi geospasial, penyelesaian tumpang tindih, oemanfaatanlahan dan utamanya tentu araha pak presiden dalam pengembangan kebijakan ketersediaan lagan untuk pangan. Ini beberapa daerah menjadi catatan di Kalteng, Sumsel, Kalsel, dan di berbagai wilayah di Papua," tambah Menko Airlangga.

 


43 Hektar Lahan Tumpang Tindih

Ilustrasi luas lahan yang siap digarap para petani.

Badan Informasi Geospasial (BIG) mengindikasikan ada sekitar 43 juta hektar lahan di Indonesia yang tumpang tindih. Ini berkaitan dengan pemanfaatan ruang, batas daerah, hingga kawasan hutan.

Kepala BIG Muhammad Aris Marfai mengungkapkan data tersebut. Dengan demikian diperlukan solusi guna mengatasi permasalahan tersebut. Salah satunya dengan melakukan sinkronisasi secara keseluruhan peta geospasial di seluruh daerah.

"Ada 43 juta hektare tumpang tindih. Ini mencakup beberapa kategori. Misalnya provinsi dengan kawasan hutan, tata ruang kabupaten kota dengan hutan atau batas provinsi dengan kabupaten kota,"kata dia dalam Konferensi Pers Kebijakan Satu Peta, di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (13/9/2022).

 


Rincian Lahan

Ilustrasi lahan pertanian.

Mengacu data yang ditampilkannya, total seluas 43 juta hektare ini setara dengan 22,8 persen dengan status ketidaksesuaian tatakan terhadap total luas nasional. Rinciannya, 2,2 persen tidak sesuai antara rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) dengan kawasan hutan.

Kemudian, 6,5 persen ketidaksesuaian RTRW Kota/kabupaten dengan kawasan hutan. 1,7 persen ketidaksesuaian antara RTRW Provinsi dan RTRWK dengan Kawasan Hutan.

Lalu, 11,6 persen ketidaksesuaian antata RTRWP dengan RTRWK. Dan 0,9 persen ketidaksesuaian antara RTRW terhadap pelepasan Kawasan Hutan.

Sebagai contoh kasus, kata Aris, adanya ketidaksesuaian penerbitan Hak Guna Usaha Sawit di dalam Kawasan Hutan dalam hal Keberlanjutan. Ini tersebar di 9 kabupaten dan kota di Provinsi Kalimantan Tengah. HGU diterbitkan mulai 2000 sebelum penunjukkan fungsi kawasan hutan menurut SK 529/Menhut-II/2012.

Contoh lainnya adanya ketidaksesuaian antara RTRWP dengan RTRWK di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Terdapat ketidaksesuaian antata peruntukan RTRWP (kawasan hutan) dengan RTRWK (kawasan perkebunan). Kondisinya, RTRWK ditetapkan lebih dulu dari RTRWP.

Infografis Swasta Kuasai Lahan di Ibu Kota Baru. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya