Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkap rencana perpanjangan kebijakan pungutan ekspor sawit Rp 0 alias gratis. Dia mengatakan rencananya akan diperpanjang hingga akhir tahun 2022 ini.
Untuk diketahui, sebelumnya, kebijakan penghapusan pungutan ekspor sawit ini berlaku hingga 31 Oktober 2022 mendatang. Meski, Airlangga tidak merinci alasan perpanjangan kebijakan itu.
Advertisement
"Rencana akan ada perpanjangan. Sampai akhir tahun," kata dia saat ditemui di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (4/10/2022).
Di sisi lain, Menko Airlangga meyebut kalau akan meninjau penerapan Domestic Market Obligation (DMO) minyak kelapa sawit. Ini mengacu karena turunnya harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani.
"Akan selalu direview karena harga sawit , jadi harga sawit rendah, dan harga sawit lebih rendah dari harga solar. Jadi tentu dana dari BPDP Sawit (BPDPKS) tidak terpakai," terangnya.
Sebelumnya, pemerintah melalui Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tetap berkomitmen mendukung sektor perkebunan kelapa sawit sebagai salah satu komoditas strategis nasional.
Dalam rapat Komite Pengarah (Komrah) BPDPKS pada Minggu (28/08), diperoleh keputusan yang telah menyetujui lima hal yakni Perpanjangan Tarif Pungutan Ekspor (PE) sebesar USD 0 untuk semua produk sampai dengan 31 Oktober 2022, Penambahan Alokasi Biodiesel Tahun 2022, Pembangunan Pabrik Minyak Makan Merah (3M), Dukungan Percepatan Peningkatan Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dan Percepatan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
“Perpanjangan Tarif PE sebesar USD 0 dimaksudkan untuk menjaga momentum saat ini, di mana harga Crude Palm Oil (CPO) mulai stabil, harga minyak goreng mulai turun, dan harga tandan buah segar (TBS) yang mulai meningkat, sehingga membuat petani atau pekebun mulai merasakan manfaatnya,” ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (29/8/2022).
Aktivitas Ekonomi
Di samping itu, peningkatan kembali aktivitas ekonomi masyarakat diproyeksikan akan menyebabkan kenaikan permintaan minyak solar di Triwulan IV - 2022.
Oleh karena itu, kecukupan biodiesel sebagai campuran B30 hingga akhir Desember 2022 perlu dijaga dengan meningkatkan alokasi volume biodiesel pada tahun ini, yang semula sebesar 10.151.018 kiloliter (kL) menjadi 11.025.604 kL.
“Untuk meningkatkan keberterimaan kelapa sawit Indonesia di pasar dunia, Komrah sepakat untuk mempercepat peningkatan sertifikasi ISPO. Di antaranya dengan menempatkan Sekretariat ISPO di bawah BPDPKS, serta mendukung kegiatan-kegiatan yang bertujuan mempercepat peningkatan sertifikasi ISPO,” jelas Menko Airlangga.
Rapat Komrah juga meminta agar segera dilakukan rapat koordinasi dengan Aparat Penegak Hukum (APH) sebagai upaya percepatan pelaksanaan Program PSR.
Selanjutnya, juga diberi mandat kepada Kementerian Pertanian dan BPDPKS agar segera melakukan studi terkait dana pendampingan PSR yang saat ini hanya sampai P0 menjadi TM1.
Advertisement
DMO-DPO Sawit Dinilai Tak Tepat
Langkah pemerintah melarang ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil atau CPO) demi mengatasi kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng dinilai sebagai kebijakan yang kurang tepat.
Pemerintah juga dinilai inkonsisten dalam menetapkan berbagai kebijakan, termasuk kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI), Tungkot Sipayung menyebutkan, gonta-ganti kebijakan DMO dan DPO yang dilakukan pemerintah, berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi dan sulit dijalankan.
Ini dia ungkapkan dalam acara “Diskusi Virtual: Minyak Goreng Sudah Terkendali, Masihkan DMO Sawit Dibutuhkan?” yang digelar Jumat (16/9/2022).
"DMO dan DPO ini adalah kebijakan destruktif yang menyebabkan turunnya ekspor. Penurunan ekspor itu menyebabkan turunnya pungutan pajak dan penerimaan negara, yang kemudian menyebabkan turunnya pertumbuhan ekonomi. Ini tentu saja merugikan negara," jelas dia.
Bongkar pasang kebijakan DMO dan DPO dinilai bisa menghambat dan mengurangi daya saing industri sawit karena berpijak di luar kebijakan yang sudah dibangun fondasinya sejak lama.
"DMO dan DPO itu tidak hanya merugikan pelaku usaha tetapi juga pemerintah karena penerimaan negara turun. Ini makin memperjelas pentingnya penghapusan kebijakan DMO dan DPO yang destruktif,” tutur Tungkot.
Tak Ada Perhitungan Detail
Hal senada juga diungkapkan Akademisi dari Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha. Ia menyebutkan, DMO merupakan sebuah kebijakan yang bertujuan agar ekspor CPO tercukupi.
Namun, pemerintah tidak memiliki perhitungan yang detail sehingga DMO ini perhitungannya tidak jelas.
“Kenaikan harga minyak goreng disebabkan harga CPO yang kuantitasnya meningkat sehingga dibutuhkan kebijakan DMO. Itu merupakan suatu kebijakan yang dibuat berdasarkan dugaan mengenai suatu masalah. Tetapi, apakah hipotesisnya itu benar? Karena apabila tidak sesuai ekspektasi, akan merugikan perekonomian bagi masyarakat,” tutur Ketua LPEM UI itu
Advertisement