ICJR: Pelanggaran Pidana Polisi di Tragedi Kanjuruhan Harus Diusut

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai, dalam tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, polisi yang bertanggung jawab mengamankan tak sekedar melanggar etik. Mereka juga melanggar pidana.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 05 Okt 2022, 00:12 WIB
Polisi dan tentara berdiri di tengah asap gas air mata saat kerusuhan pada pertandingan sepak bola antara Arema Vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 1 Oktober 2022. Ratusan orang dilaporkan meninggal dunia dalam tragedi kerusuhan tersebut. (AP Photo/Yudha Prabowo)

Liputan6.com, Jakarta Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai, dalam tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, polisi yang bertanggung jawab mengamankan tak sekedar melanggar etik. Mereka juga melanggar pidana.  

Sebab, kontrol konflik massa yang dilakukan Polri sebagai penanggung jawab pengamanan di dalam Stadion Kanjuruhan ketika peristiwa terjadi buruk. Hal ini menyebabkan orang-orang menuju pintu keluar pada waktu yang sama dan menimbulkan kepadatan.

Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus AT Napitupulu, mengatakan ini berdasarkan kronologi yang diperolehnya dari pemberitaan media maupun citizen journalism yang diterimanya.

"Dalam beberapa video yang beredar, (juga) terlihat adanya penggunaan gas air mata, walaupun standar pengamanan di lapangan sepak bola milik FIFA yang melarangnya. Gas air mata tersebut juga diarahkan kepada tribun penonton bahkan bukan pihak yang menimbulkan kerusuhan sama sekali," kata Erasmus dalam siaran pers diterima, Jakarta, Selasa (4/10/2022).

Akibatnya, kematian pun terjadi karena banyak orang terinjak-injak dan mengalami sesak nafas pada saat keluar stadion karena menghindari gas air mata yang terus diberikan aparat. Bahkan, sempat beredar video yang menunjukkan suporter memohon pihak pengamanan untuk tidak melemparkan gas air mata kepada penonton.

"Dari kronologi tersebut, dapat dilihat kausalitas dari kematian para penonton tersebut, dan ini bukanlah permasalahan kode etik, melainkan sudah menjadi perbuatan pidana," ujar Erasmus.

 

Selain pita hitam, pita merah putih juga terikat di lengan para official dan panitia penyelenggara pertandingan. (Bola.com/Bagaskara Lazuardi)

Usut Pidananya

Erasmus menambahkan, meskipun penggunaan kekuatan telah diatur di dalam regulasi internal Polri melalui Perkap Nomor 1 Tahun 2009, namun penggunaan kekuatan yang berlebihan tidak pernah diperiksa dan dipertanggungjawabkan oleh kepolisian secara tegas.

Artinya, lanjut dia, peristiwa ini harus menjadi titik balik Kepolisian untuk dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, karena tidak seluruh kesalahan yang dilakukan personil adalah pelanggaran kode etik.

"Berdasarkan hal-hal di atas, ICJR mendorong Kepolisian untuk secara tegas mengusut anggotanya yang telah melakukan pelanggaran pidana dan mempertanggungjawabkannya sesuai dengan jalurnya dan bukan hanya melalui jalur pemeriksaan etik," dia memungkasi.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid, mengatakan kematian seratusan orang di Stadion Kanjuruhan akibat kerusuhan dan gas air mata yang ditembakkan petugas memiliki unsur pelanggaran HAM.

Ia meminta pemerintah dan tim investigasi independen yang dikepalai oleh Mahfud MD segera menindak pihak-pihak yang bertanggung jawab.

 


Minta Kapolda Dicopot

Usman mengatakan, dalam tragedi ini, Kapolda Jawa Timur (Jatim) Irjen Pol Nico Afinta patut dimintai tanggung jawab, bahkan dicopot.

Pencopotan itu disertai alasan karena Nico memegang unsur keamanan tertinggi di wilayah Jatim sehingga ia bertanggungjawab penuh atas keselamatan masyarakat terutama di stadion Kanjuruhan.

"Kapolda Jawa Timur Layak dimintai tanggung jawab termasuk dicopot, jika memang gagal atau tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan untuk mencegah kejadian tersebut, atau tidak segera menindak anggotanya yang menyebabkan banyak kematian warga," kata Usman Hamid dalam keterangan tertulis, Selasa (4/10/2022).

Ia juga menyentil Kapolri Listyo Sigit Prabowo untuk memantau dan memeriksa kinerja anak buahnya di lapangan. "Bahkan Kapolri harus dimintai tanggung jawab atas banyaknya masalah kepolisian, terutama rendahnya kinerja Polri," ujar Usman.

Usman menjelaskan, kematian ratusan orang di stadion Kanjuruhan seharusnya tak perlu terjadi jika aparat mengetahui pengamanan sesuai prosedur. Ia pun meminta Kapolda Jawa Timur dan Ketua PSSI harus mundur sebagai dampak keteledoran mereka.

"Semua pihak yang bertanggungjawab atas kejadian itu, termasuk Ketua PSSI, seharusnya mundur. Sebab ini sudah berskala tragedi nasional bahkan tragedi dunia," pungkasnya.

 


Minta Maaf

Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta menyampaikan permohonan maaf atas pengamanan yang dilakukan saat penanganan pengendalian massa di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, hingga terjadi tragedi meninggalnya 125 jiwa.

"Saya sebagai Kapolda Jatim ikut prihatin, menyesal, sekaligus minta maaf di dalam proses pengamanan yang sedang berjalan ada kekurangan," tutur Nico di Malang, Jawa Timur, Selasa (4/10/2022).

Nico memastikan adanya evaluasi atas tragedi Kanjuruhan Malang sehingga tidak lagi terjadi di kemudian hari.

"Ke depan kami akan mengevaluasi bersama-sama dengan panitia pelaksana kemudian PSSI. Sehingga harapannya pertandingan sepak bola ke depannya aman, nyaman, dan bisa menggerakkan ekonomi," kata Nico.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya