Liputan6.com, Jakarta - Berkat teknologi pangan, keju dan mayones yang aslinya adalah produk turunan susu bisa sepenuhnya menjadi produk berbasis nabati. Inovasi itu salah satunya dikembangkan oleh Green Rebel, startup pangan lokal yang berbasis di Jakarta.
Max Mandias, co-founder Burgreens dan Green Rebel, mengaku butuh sekitar enam bulan untuk mengembangkan produk mayones dan keju nabati yang memiliki bentuk dan rasa mirip dengan produk konvensional. Kenapa harus mirip?
Baca Juga
Advertisement
"Kita ini penggemar produk konvensional. Creaminess, thickness, dan aplikasinya seperti apa, sebisa mungkin mirip dengan yang konvensional," ujarnya dalam peluncuran Creamy Crew di Jakarta, Jumat, 28 September 2022.
Di samping, kemiripan produk berbasis nabati akan membuat pasar mereka semakin luas. Bersama tim R&D, pihaknya secara hati-hati memformulasi produk yang bisa diterima dengan baik bagi penganut vegan, vegetarian, maupun yang omnivora.
"Produk kita ini sudah melewati banyak sekali lidah. Orang-orang pemakan sushi atau mentai, diujicobakan ke segala macam orang, baru launching ini," ia menjelaskan.
Susu yang biasa ada dalam keju, disubstitusi dengan kacang mede. Pihaknya juga menggunakan kentang untuk menciptakan tekstur yang mirip keju cheddar blok. Konsumen bisa mengolahnya sebagai keju blok biasa, atau keju nabati parut, atau bahkan keju meleleh yang biasa ada di burger.
"Kalau mayones dan caesar dressing, kita pakai minyak kedelai sebagai lemaknya, coconut-based untuk krimernya, ada lime-nya, dan sea salt. Buat creaminess-nya dibantu dengan pati umbi-umbian. Kita pakai tapioka," imbuh Max.
Intoleransi Laktosa
Tanpa kehadiran susu dalam produk berlabel Creamy Crew tersebut, Max meyakini bisa diterima baik terutama oleh mereka yang memiliki intoleransi laktosa. Spesialis gizi klinik, dr. Larry Tumalun menjelaskan, masalah kesehatan itu terjadi karena tubuh tidak memiliki enzim untuk mengubah laktosa pada susu menjadi glukosa dan galaktosa agar bisa diserap oleh sel.
"Ketika tidak bisa dicerna, laktosa tetap utuh dan terfermentasi organisme di usus. Hasilnya adalah gas-gas hidrogen, CO2, dan metana. Itu yang sebabkan bloating, nyeri perut, diare, bahkan konstipasi," kata dr. Larry.
Intoleransi laktosa juga bisa menyebabkan masalah di luar saluran pencernaan. Fermentasi senyawa tadi bisa menyebabkan nyeri kepala, gejala psikosomatis, atau bahkan gangguan irama jantung. "Ini bahaya intoleransi laktosa kalau diabaikan," katanya.
Karena itu, rekomendasi yang umumnya diberikan kepada pasien adalah menghindari makanan-makanan yang mengandung pemicu. Tapi, saran itu nyatanya bisa menyebabkan masalah lain, seperti kekurangan kalsium dan vitamin D, karena susu dan keju kaya akan senyawa tersebut.
"Nah, anjuran terbaru adalah disuruh membatasi laktosa," ia menambahkan.
Advertisement
Disubstitusi Tumbuhan
Mengutip rekomendasi WHO pada 2018, Larry mengatakan bahwa makanan sehat yang dianjurkan adalah mayoritas adalah makanan berbasis tumbuhan. "Hanya satu yang hewani, tinggal fish," ujarnya.
Dengan anjuran tersebut, ia berpendapat makanan nabati sebenarnya mampu menyediakan kebutuhan nutrisi manusia. Jadi, tak salah bila seseorang memilih pola hidup vegetarian. Yang terpenting adalah bagaimana mengaturnya, baik jenis, jumlah, dan keaneragamannya, agar zat gizi yang hilang dari tidak mengonsumsi daging hewan, bisa terpenuhi.
"Jangan bandingkan komposisi dengan gram, tapi bandingkan dengan kebutuhan kalori. Walau sama-sama 100 kaori, makanan tumbuhan jauh lebih tinggi kalorinya, tetapi kandungan lemaknya kecil. Dalam 500 kalori, lemak di tumbuhan hanya empat gram, tetapi di daging sapi, misalnya, 36 gram per 500 kalori," dr. Larry menerangkan.
Salah satu yang disarankan adalah mengonsumsi kacang-kacangan. Walau dikenal sebagai sumber protein, kandungan lemak dalam kacang-kacangan disebut lebih tinggi. Kemudian, lengkapi makanan dengan sumber kaya vitamin dan mineral seperti sayuran dan buah. "Digabung secara bijaksana, jadi balance," ia melanjutkan.
Mindfullness
Sementara itu, Andien yang turut hadir dalam acara tersebut mengatakan saat ini ia menerapkan pola makan fleksitarian. Ia tak anti-bahan hewani, tetapi mayoritas isi piringnya berbasis nabati.
Perubahan pola makan itu berlangsung secara bertahap. Ia mencoba lebih mindfull alias menyadari sepenuhnya makanan yang dikonsumsinya. "Aku masih banyak belajar mengenal kebutuhan diri sendiri. Apa yang badan kita maju kadang juga beda dengan yang pikiran kita mau," ujarnya.
Kesadaran itu terutama terbangun saat ia mengandung anak keduanya pada 2020. Saat trimester 1, ia kerap muntah-muntah. Ia lalu mencoba menerapkan pola makan nabati. "Mungkin banget dilakukan. PR aku mencukupi kebutuhan nutrisi yang tidak bisa didapat dari hewani," kata Andien.
Pola makan tersebut terus dilanjutkan setelah melahirkan. Bahkan kepada anak-anaknya, ia mengajari bahwa makan itu harus penuh dengan kesadaran.
"Mindfull saat makan itu sangat penting untuk menciptakan keinginan mereka untuk makan, bukan disodori," sambung dia.
Dengan perbaikan pola makan, ia merasa kondisi tubuhnya lebih baik. Ia bisa beristirahat dengan cukup. "Enak banget tidurnya," imbuh dia.
Advertisement