Liputan6.com, Jakarta - Tragedi Kanjuruhan memakan korban jiwa. Sedikitnya ada 125 orang yang meninggal dunia. Insiden kemanusiaan ini tak luput dari perhatian seorang Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Budayawan sekaligus tokoh intelektual muslim itu merasa prihatin dengan tragedi Kanjuruhan, Malang.
Mengutip YouTube CakNun.com, cendekiawan muslim ini menguraikan analisis terminologis terkait tragedi Kanjuruhan. Sedikitnya ada empat poin yang disampaikan oleh Cak Nun.
Pertama, tragedi Kanjuruhan terjadi karena adanya ketidaksiapan untuk mengatasi kemungkinan-kemungkinan dalam dunia sepak bola. Maka dari itu, ia menilai harus ada tatanan yang mengaturnya.
Baca Juga
Advertisement
“Kalau kita orang Jawa ada deso mowo coro, negoro mowo toto,” katanya dikutip Selasa (4/10/2022).
“Nah sekarang ini ujian untuk negoro mowo toto. Kalau deso sudah mowo coro, kita ini sebagai rakyat sudah punya cara untuk hidup, cara untuk memelihara persatuan, cara untuk mandiri, kita sudah punya. (Tapi) negara sedang diuji bisa menata atau enggak,” sambung Cak Nun.
Ia menjelaskan, noto dalam negoro mowo toto ada yang kuratif dan preventif. Jika terjadi insiden seperti di Kanjuruhan, mestinya ada kesiapan rencana A, B, atau C.
“Dalam hal ini negara diwakili kepolisian. Jadi, kita menunggu prosesnya. Sampai saya juga ngintip ke Mabes Polri bagaimana saya mencoba mendengarkan apa yang mereka lakukan,” ujarnya.
Cak Nun juga mendorong agar kepolisian bersifat objektif dan bijaksana selama mengusut tragedi Kanjuruhan, Malang.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Jangan Sampai ‘Maling Teriak Maling’
Dia mencontohkan, prosedur mengenai penggunaan gas air mata. Karena ada kemungkinan kesalahan penggunaan gas air mata di stadion. Sebab, siap penggunaan gas air mata ada aturannya. Ada kondisi-kondisi tertentu yang membuat petugas diperbolehkan menggunakan gas air mata.
"Gas air mata bisa ditembakkan di mana, disemprotkan di mana, jangan sampai suporter sepak bola disamakan dengan teroris," kata Cak Nun.
Kedua, Cak Nun mewanti-wanti dari tragedi Kanjuruhan jangan sampai ada masyarakat yang menganggap “maling teriak maling” kepada polisi. Apalagi saat ini ada yang menyebut jika gas air mata yang ditembakkan di Kanjuruhan adalah peracunan massal.
Ditambah lagi dengan adanya simpang siur jumlah korban. “Sampai hari ini (jumlah korban) belum jelas. Ada yang 200 sekian, 100 sekian,” katanya.
“Nah, itu jangan sampai pihak kepolisian terutama kapolda, kapolres atau kapolri jangan sampai memberi pernyataan yang tidak objektif dan bijaksana sehingga bisa di balik menjadi boomerang bagi Polri,” sambungnya mengingatkan.
Ketiga, Cak Nun menyinggung soal Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dipimpin Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Cak Nun berharap Mahfud MD bisa meyakinkan kepada masyarakat bahwa TGIPF adalah tim independen, bukan tim Polri.
“Sebab kalau Polri masih rawan tujuan, Polri kemungkinan salah juga, moso dia mimpin penyelidikan, itu kan tidak baik untuk prosedur hukum nasional,” imbuhnya.
Advertisement
Budaya Mawas Diri
Keempat, budayawan kelahiran Jombang ini meminta agar korban yang meninggal karena tragedi Kanjuruhan dapat diselidiki oleh kedokteran. Misalnya, ini meninggal karena apa dengan jumlah sekian. Apakah karena terinjak-injak atau karena gas air mata.
“Itu (gas air mata) mestinya untuk perang, untuk terorisme, bukan (untuk) suporter sepak bola. Maka harus ada pembenahan,” kata Cak Nun.
“Jadi, secara (garis) besar Polri sekarang harus merintis budaya mawas diri. Jadi bayangin kita mati banyak anak-anak kita, itu kan kalau kita gak mawas diri bisa terulang lagi,” lanjutnya.
Menurut Cak Nun, insiden kemanusiaan di Kanjuruhan bisa disebut sebagai tragedi kenegaraan. Sebab, ini urusan negara yang tidak tertata.
“Kita lihat Indonesia akan mengantisipasi kasus ini dengan prinsip kesadaran mawas diri atau tidak. Ini bukan urusan kemarin hari Minggu, tapi juga urusan hari besok. Kalau kita gak mawas diri kita gak menemukan inti sumber permasalahannya,” tandasnya.