Menko Airlangga: Hadapi Resesi Global 2023, Pemerintah Terus Optimis

Saat ini dunia sedang dilanda krisis multidimensi, dimana tantangan ekonomi semakin nyata dibalik percepatan pemulihan ekonomi dampak pandemi covid-19.

oleh Tira Santia diperbarui 05 Okt 2022, 15:50 WIB
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam sambutannya di acara Parliamentary Forum in the Context of the G20 Parliamentary Speaker’s Summit (P20), Rabu (5/10/2022).

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengatakan saat ini dunia sedang dilanda krisis multidimensi, dimana tantangan ekonomi semakin nyata dibalik percepatan pemulihan ekonomi dampak pandemi covid-19.

“Kami disini karena dunia berubah dengan cepat. Kami menyebutnya sebagai tantangan Badai Sempurna yang merupakan krisis multidimensi dan tanpa ragu-ragu, tantangan ekonomi, menunda upaya kami untuk mempercepat bagian pemulihan covid-19,” kata Airlangga dalam sambutannya di acara Parliamentary Forum in the Context of the G20 Parliamentary Speaker’s Summit (P20), Rabu (5/10/2022).

Kata Menko Airlangga, di seluruh dunia saat ini tengah berjuang menghadapi berbagai krisis, salah satunya energi yang membuat bisnis turun, dan produktivitas usaha melambat.

Ditambah, adanya lonjakan harga pangan yang menyebabkan kelangkaan pangan, padahal pangan sangat penting untuk menghidupi jutaan orang yang mengalami kelaparan.

“Tantangan itu hanya bisa kita atasi jika kita bersatu. Rasa kemanusiaan dan solidaritas yang kuat saat Kami Berkumpul di sini hari ini dunia melihat kami dengan harapan untuk membawa pejuang bagi rakyat,” ujarnya.

Kendati demikian, Menko Airlangga menyebut kinerja ekonomi Indonesia sampai saat ini relatif memuaskan, Indonesia mampu tumbuh di atas 5 persen pada semester lalu. Bahkan pada kuartal II-2022 perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,44 persen.

“Bapak Presiden Joko Widodo telah mengingatkan, bahwa akan menghadapi tantangan resesi global tahun depan. Tapi Pemerintah terus optimis bahwa kita dapat mencapai pertumbuhan 5,2 atau 5,3 persen pada akhir tahun, serta kita memiliki pandangan optimis untuk tahun depan,” ujarnya.

 


Kinerja Perdagangan Indonesia

Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (Dok: ekon.go.id)

Optimisme itu muncul dilihat dari kinerja perdagangan Indonesia yang terus mempertahankan rekor tinggi selama 28 bulan berturut-turut.

Capaian ini diperoleh lantaran angka ekspor per Agustus 2022 yang sebesar USD 27,91 miliar masih lebih tinggi dibanding nilai impor pada bulan yang sama, sebesar USD 22,15 miliar.

“Indonesia terus mendorong pemulihan ekonomi untuk mendukung tiga bidang, Kesehatan, perlindungan sosial dan penguatan pemulihan ekonomi melalui dukungan untuk ekonomi kreatif pariwisata Usaha mikro dan kecil menengah dan juga memberikan banyak insentif pajak,” ujarnya.

Tak hanya berhenti disitu saja, Pemerintah juga memberlakukan undang-undang untuk menyelaraskan peraturan perpajakan yang bertujuan untuk memperbesar basis pajak, meningkatkan efektivitas pajak, insentif dan meningkatkan cakupan program pengampunan pajak.

Sejalan dengan inisiatif tersebut, Indonesia memahami pentingnya menjaga pertumbuhan ekonomi, dan keseimbangan lingkungan. Sesuai arahan Presiden, ditargetkan untuk mencapai emisi Net Zero pada tahun 2060 atau lebih cepat.

“Oleh karena itu, semua peserta P20, hal-hal yang harus kita garis bawahi bahwa G20 menjadi platform ekonomi utama untuk menyelesaikan krisis. Maka, diharapkan P20 dapat menyelesaikan solusi untuk geopolitik juga,” pungkas Menko Airlangga.


Giliran PBB Bunyikan Alarm Resesi pada Ekonomi Global

Ilustrasi resesi, ekonomi. (Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay)

Sebelumnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan peringatan bahwa dunia berada di ambang resesi dan negara berkembang dapat menanggung bebannya.

Dikutip dari CNBC International, Rabu (5/10/2022) konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) mengatakan bahwa kebijakan moneter dan fiskal di negara maju, termasuk kenaikan suku bunga yang berkelanjutan dapat mendorong resesi dunia dan stagnasi global.

Dalam laporannya, UNCTAD juga memperingatkan bahwa perlambatan ekonomi global di masa mendatang berpotensi menimbulkan kerusakan yang lebih buruk daripada krisis keuangan pada 2008 silam dan guncangan pandemi Covid-19 pada 2020.

"Semua wilayah akan terpengaruh, tetapi bel alarm paling sering berbunyi untuk negara-negara berkembang, banyak di antaranya mendekati default utang," kata laporan itu.

UNCTAD menyebut, ekonomi Asia dan global menuju resesi jika bank sentral terus menaikkan suku bunga tanpa mengambil langkah lain dan melihat ekonomi sisi penawaran, menambahkan bahwa soft landing yang ditargetkan kemungkikan tidak terjadi.

"Hari ini kita perlu memperingatkan bahwa kita mungkin berada di tepi resesi global yang disebabkan oleh kebijakan," kata Sekretaris Jenderal UNCTAD Rebeca Grynspan dalam sebuah pernyataan.

"Kita masih punya waktu untuk mundur dari tepi resesi. Tidak ada yang tak terelakkan. Kita harus mengubah arah," ujarnya.

"Kita juga menyerukan campuran kebijakan yang lebih pragmatis yang menerapkan pengendalian harga strategis, pajak penghasilan tinggi, langkah-langkah dan peraturan yang lebih ketat tentang spekulasi komoditas. Saya ulangi, campuran kebijakan yang lebih pragmatis ... kita juga perlu melakukan upaya yang lebih besar untuk mengakhiri spekulasi harga komoditas," beber Grynspan.


Dampak pada Asia

Ilustrasi Grafik Resesi Ekonomi Credit: pexels.com/energepic.com

Laporan UNCTAD menyebut, kenaikan suku bunga tahun ini di AS akan memangkas pendapatan masa depan sekitar USD 360 miliar di negara-negara berkembang, terkecuali China, sementara aliran modal bersih ke negara berkembang telah menjadi negatif.

"Kenaikan suku bunga oleh negara-negara maju adalah yang paling rentan. Sekitar 90 negara berkembang telah melihat mata uang mereka melemah terhadap dolar tahun ini," ungkap UNCTAD.

Sementara itu, kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara diramal akan mencatat tingkat pertumbuhan di bawah lima tahun sebelum pandemi.

UNCTAD memprediksi ekonomi Asia Timur tumbuh sebesar 3,3 persen tahun ini, dibandingkan dengan 6,5 persen tahun lalu.

Biaya Impor yang mahal dan melemahnya permintaan global untuk ekspor serta perlambatan DI China juga akan menambah tekanan lebih lanjut pada bagian kawasan itu.

" Berfokus hanya pada pendekatan kebijakan moneter, tanpa mengatasi masalah sisi penawaran di pasar perdagangan, energi, dan pangan serta terhadap krisis biaya hidup memang dapat memperburuk situasi," tambah UNCTAD. 

Infografis Sinyal Resesi dan Antisipasi Indonesia. (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya