Walau COVID-19 Benar-Benar Berakhir, Ahli Titip Sistem Penanganan Pandeminya Tak Hilang

Sistem penanganan COVID-19 tidak boleh berubah meski pandemi berubah menjadi endemi

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 06 Okt 2022, 06:00 WIB
Sejumlah orang berjalan di trotoar pada saat jam pulang kantor di Kawasan Sudirman, Jakarta, Senin (8/6/2020). Aktivitas perkantoran dimulai kembali pada pekan kedua penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi pandemi COVID-19. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Beberapa pihak menyatakan bahwa pandemi COVID-19 akan segera usai dan endemi sudah di depan mata. Di balik berbagai kegembiraan soal wacana endemi ini, masih ada kekhawatiran di kalangan ahli.

Salah satu yang merasa demikian adalah Ketua Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI), Prof. dr. Asri C. Adisasmita.

“Yang selalu saya khawatirkan adalah bagaimana kalau nanti COVID-19 memang selesai dan dinyatakan endemi, sudah tidak berbahaya lagi terus kemudian kita bakal terlena karena menganggap COVID benar-benar lewat,” ujar Asri dalam konferensi pers daring bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Rabu (5/10/2022).

Seperti masyarakat dan pihak lainnya, Asri juga berharap COVID-19 akan benar-benar berakhir. Hanya saja, ada hal yang harus dipertahankan.

“Yang harus kita maintain adalah sistem yang kita punya itu jangan sampai hilang, karena saya lihat sistem yang ada di Indonesia cukup bagus. Dengan jumlah penduduk yang sekian besar dan pendidikan yang kalah dengan negara maju, tapi penanganan COVID-nya bisa diacungi jempol.”

Asri menilai bahwa sistem penanganan COVID-19 di Indonesia cukup berhasil. Sehingga, apa yang sudah dibangun jangan sampai hilang. Pasalnya, bisa saja ada virus atau kuman lain yang muncul dan membahayakan seperti COVID-19.

“Semoga sih enggak ada ya, tapi ini sesuatu yang sangat mungkin terjadi sehingga investasi kita dalam surveilans, laboratorium, testing, tracking, tracing itu tetap dipertahankan.”

 


Kemampuan Mengembangkan Vaksin

Badan Intelijen Negara (BIN) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengambil langkah mitigasi dengan menggencarkan kegiatan vaksinasi dosis booster. (Istimewa)

Selain hal-hal yang sudah disebutkan di atas, hal lain yang perlu dipertahankan dan dikembangkan adalah kemampuan mengembangkan vaksin.

“Jadi hal-hal seperti ini juga jangan kemudian terus ‘tidur’ ketika kita merasa sudah tidak ada apa-apa, ini harus tetap kita maintain.”

Dalam acara yang sama, Guru Besar Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Amin Soebandrio juga menanggapi soal kemungkinan timbulnya pandemi baru.

“Kalau ditanya soal kemungkinan munculnya varian baru tentu masih dimungkinkan, karena mutasi itu berjalan terus. Tapi kesempatan untuk menjadi virus-virus baru yang lebih fit itu semakin kecil memang.”

Ia mengibaratkan, genom virus seperti lapangan sepak bola yang besar kemudian dibagi dalam kotak-kotak 100 kali 100. Mutasi terjadi secara acak dalam kotak-kotak yang ada. Semakin banyak mutasinya, semakin kecil kesempatan virus untuk menemukan lokasi untuk bermutasi.

“Dari berbagai laporan kita mendapatkan, dari sekian banyak mutasi itu sekitar 30-40 persen justru menyebabkan virusnya tambah lemah, bukannya tambah kuat.”


Mutasi Tak Selalu Bikin Virus Jadi Lebih Kuat

Ilustrasi COVID-19. Foto: (Ade Nasihudin/Liputan6.com).

Amin menambahkan, dari seluruh mutasi yang ada, sekitar 30 persennya bahkan menyebabkan virusnya mati. Sekitar 20 persennya lagi, mutasi tidak menyebabkan apa-apa.

“Hanya 4 sampai 5 persen saja dari mutasi-mutasi itu yang membuat virus menjadi lebih kuat terhadap tekanan lingkungan. Tekanan ini bisa berupa antibodi, obat, dan sebagainya,” kata Amin.

Jika kesempatan atau lokasi mutasi semakin sempit, maka kemungkinan virus semakin kuat pun semakin kecil. Artinya, di bawah 4 atau 5 persen.

“Kita harapkan si virus akan mengikuti pola itu, artinya tidak ada mekanisme lain seperti rekombinasi. Karena ada satu teori lagi yang mengatakan, jika lapangan mutasi itu sudah penuh maka dia akan mengambil gen dari virus lain yang belum bermutasi.”

Virus SARS-Cov2 penyebab COVID-19 berasal dari hewan, maka dari itu Amin berharap jika virus tersebut sudah tidak nyaman lagi di manusia maka virusnya akan kembali lagi ke habitat semulanya.


Semua Harus Siap

Ilustrasi kasus COVID-19 di Indonesia. Foto: (Ade Nasihudin/Liputan6.com).

Amin juga menyampaikan, dalam menghadapi endemi, pihak yang harus siap bukan hanya pemerintah tapi juga masyarakat.

“Yang harus mempersiapkan diri terhadap perubahan dari pandemi ke endemi itu tidak hanya pemerintah tapi juga masyarakat, fasilitas dan tenaga kesehatan,” ujar Amin.

Meski pandemi COVID-19 berakhir, tapi masih ada kemungkinan ancaman dari patogen virus lain yang serupa.

“Mungkin pandemi COVID-19-nya akan berakhir, tapi ada kemungkinan patogen atau virus lain yang serupa. Artinya turunannya entah dari omicron atau hasil mutasi dan sebagainya yang kemudian menyebabkan muncul kembali  (pandemi).”

Kasus COVID-19 bisa saja tidak bertambah, tapi ada patogen-patogen lain yang bisa juga terjadi seperti dengue. Dari beberapa pengamatan, ada kejadian kasus berat yang mendadak. Kasus ini secara serologi terdeteksi positif COVID-19, tapi gejalanya bukan COVID-19 atau ada gejala-gejala lain yang memberatkan.

“Sampai saat ini itu yang kita sebut sebagai post-COVID dan sebagainya, tapi kemungkinan ini juga karena ada co infection atau infeksi berdampingan dengan mikroba lain yang menyebabkan kerusakan jaringan, kerusakan organ yang lebih parah.”

Hal-hal ini masih membutuhkan pengamatan, sehingga semua pihak tidak boleh berhenti melindungi diri.

“Kita semua harus tetap waspada kalau menghadapi kasus yang tidak biasa, harus segera dilaporkan, jadi kewaspadaannya harus tinggi.”

Infografis 5 Posisi Proning, Bantu Pernapasan Pasien Isolasi Mandiri Covid-19. (Liputan6.com/Niman)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya