Sri Lanka Potong Pajak Impor Semua Produk Menstruasi di Tengah Krisis Ekonomi

Harga produk menstruasi impor di Sri Lanka diperkirakan akan turun 20 persen karena pembebasan bea cukai.

oleh Asnida Riani diperbarui 05 Okt 2022, 19:01 WIB
Ilustrasi pembalut. (dok. pexels/Karolina Grabowska)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Sri Lanka mengumumkan pemotongan pajak untuk produk-produk menstruasi dalam upaya membantu perempuan dan gadis-gadis muda yang tidak mampu membelinya. Menurut laporan AFP, negara itu mengalami kekurangan yang parah dalam barang-barang penting dan tingkat inflasi yang tinggi, yakni naik hingga 70 persen.

Melansir Says, Rabu (5/10/2022), hal ini menyebabkan banyak orang memprotes krisis ekonomi secara nasional, yang mengakibatkan pengunduran diri mantan presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa Juli lalu. Karena krisis ekonomi tahun lalu, banyak perempuan dan gadis muda Sri Lanka tidak mampu membeli produk menstruasi.

Ini kemudian menyebabkan banyak yang hanya tinggal di rumah selama periode bulanan mereka. Kendati, tercatat bahwa ini telah jadi masalah umum di Sri Lanka bahkan sebelum krisis melanda.

Sekitar 2,6 juta perempuan di Sri Lanka mengalami "kemiskinan menstruasi." Ini adalah masalah yang tersebar luas bagi perempuan dan dapat menyebabkan kerusakan fisik, mental, juga emosional.

Hal ini dapat menyebabkan rasa malu dan melanggengkan stigma seputar proses alami tubuh, seperti menstruasi. Selain itu, hal ini juga dapat menyebabkan masalah kesehatan lain jika pengelolaan limbah atau fasilitas kebersihan tidak tersedia.

Demi memerangi masalah kemiskinan menstruasi di Sri Lanka, pemerintah negara itu mengumumkan bahwa pajak bea masuk untuk semua bahan produk sanitasi akan dibebaskan sesegera mungkin. Kantor Presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe mengeluarkan pernyataan pada Minggu, 2 Oktober 2022.


Dibuat Lebih Terjangkau

ilustrasi pembalut | unsplash.com/@thefemalecompany

Pihaknya menetapkan bahwa pengabaian pajak, termasuk bea cukai, retribusi bandara, dan pajak lokal lain atas bahan baku yang digunakan untuk memproduksi produk sanitasi. Kantor tersebut juga mengumumkan bahwa pembalut dan tampon impor akan mengalami penurunan harga sebesar 20 persen sebagai akibat dari pembebasan pajak barang impor.

"(Pemerintah berharap) membuat produk sanitasi lebih terjangkau untuk memastikan kebersihan di kalangan perempuan dan gadis sekolah," kata mereka.

Di sisi lain, pemandangan kontras justru terjadi di negara tetangganya, India. Seorang siswi bernama Riya Kumari dinyinyiri pejabat senior layanan sipil utama India (IAS), Harjot Kaur Bamhrah, ketika berbagi panggung dalam lokakarya yang diselenggarakan pemerintah India dengan UNICEF di ibu kota negara bagian Bihar, baru-baru ini.

Menurut laporan harian berbahasa Hindi, Dainik Bhaskar, Kumari bertanya apakah pemerintah negara itu dapat membantu menyediakan pembalut dengan tarif bersubsidi 20--30 rupe (sekitar Rp3,7 ribu--Rp5,6 ribu) seperti halnya kebutuhan dasar lain.

Pertanyaan gadis itu mendorong hadirin, khususnya siswa berusia 15 dan 16 tahun, bertepuk tangan. Tapi, reaksi kontras justru diperlihatkan petugas IAS yang pertama-tama mencaci-maki penonton karena bertepuk tangan.

Setelahnya, Bamhrah memusatkan perhatiannya pada gadis di atas panggung dengan menanyakan apakah "tuntutan-tuntutan" ini akan berakhir.  "Besok kamu akan meminta pemerintah menyediakan jeans. Mengapa tidak beberapa sepatu yang indah setelah itu? Dan seterusnya," katanya.

Ia menyambung, "Akhirnya, kamu akan meminta pemerintah membantumu dengan metode KB dan kondom. Kalian semua hanya ingin semuanya gratis dari pemerintah."


Permintaan Berlebihan?

Ilustrasi pembalut organik. (Sumber foto: Pexels.com)

Siswi yang disebut tinggal di daerah kumuh itu kemudian memberitahu Bamhrah bahwa pemerintah ada karena rakyat dan suara mereka. Karena itu, pemenuhan kebutuhan dasar rakyat harus jadi tanggung jawab pemerintah saat itu. Kesal dengan kehadiran gadis itu, Bamhrah yang merupakan birokrat senior di Kementerian Kesejahteraan Perempuan dan Anak India, mengejeknya dengan mengatakan bahwa "menuntut" hal-hal seperti itu dari pemerintah adalah "tindakan bodoh."

Juga, bahwa jika orang memilih sebagai imbalan atas layanan, mereka tidak boleh memilih sama sekali. "Jangan memilih. Pergi ke Pakistan. Apakah kamu memilih uang dan layanan? Mengapa kamu perlu mengambil sesuatu dari pemerintah? Cara berpikir ini salah. Lakukan sendiri," jawab Bamhrah dengan marah.

Untuk ini, gadis itu menegaskan, "Saya orang India. Mengapa saya harus (pergi ke Pakistan)?"

Says menjelaskan, menyuruh orang "pergi ke Pakistan" digunakan sebagai penghinaan oleh pemerintah India dan petugasnya untuk membungkam warga India karena berani bertanya, bahkan menanyakan fasilitas dasar. Saat warga berharap seorang perempuan dalam posisi berkuasa bersimpati pada masalah dasar kebersihan menstruasi yang tidak bisa diakses jutaan gadis di India, petugas tersebut justru memberi tahu siswi bahwa bahkan meminta toilet terpisah saja terlalu berlebihan.

Ketika siswa perempuan lain menyoroti fakta bahwa toilet sekolah mereka rusak dan siswa laki-laki sering masuk ke toilet yang diperuntukkan bagi perempuan, Bamhrah bertanya apakah mereka memiliki toilet terpisah untuk laki-laki dan perempuan di rumah.

"Jika Anda terus meminta banyak hal di tempat yang berbeda, bagaimana cara kerjanya?"


Mengelak

Ilustrasi pembalut. (dok. Natracare/Unsplash.com)

Ketika pernyataannya dikonfirmasi media, Bamhrah mengklaim bahwa ia tidak mengatakan apa yang ia katakan, meski ada video yang beredar. Ia bahkan menyebut bahwa laporan peristiwa itu dilakukan untuk "memfitnah" reputasinya.

"Itu adalah pelaporan yang salah, jahat, dan salah tentang suatu peristiwa," katanya, menambahkan bahwa ia "dikenal sebagai salah satu pembela hak dan pemberdayaan perempuan yang paling gencar" di negara itu, lapor The Hindu.

Namun, dengan Komisi Nasional untuk Perempuan India (NCW) dan beberapa orang terkemuka mengutuk pernyataannya dan menjulukinya "tidak layak" jadi pegawai negeri, Bamhrah sejak itu mencoba 'meluruskan' pernyataannya. Ia mengaku menyesal "jika sentimen beberapa gadis atau peserta terluka dengan beberapa kata-kata saya." Ia mengklaim "niatnya bukan untuk mempermalukan," tapi "mendorong mereka maju" di masa depan.

Sementara itu, Riya yang berusia 20 tahun itu membela pertanyaannya. Dalam wawancara dengan media, Riya mengatakan pertanyaannya tentang subsidi pembalut tidak salah.

Infografis 1 dari 4 Perempuan Mengalami Kekerasan Fisik atau Seksual. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya