Liputan6.com, Washington D.C - Presiden Joe Biden, pada Selasa (4/10) mengatakan, Amerika Serikat berencana "memberlakukan lebih banyak sanksi" kepada Iran pada minggu ini karena pemerintahan negara tersebut telah menyerang para warga yang berdemonstrasi menentang pemerintah Iran atas tewasnya seorang perempuan dalam tahanan polisi moral negara itu.
Biden dalam cuitannya di Twitter tidak menguraikan langkah apa yang akan diambil oleh AS terhadap pemerintah di Teheran, dikutip dari laman VOA Indonesia, Kamis (6/10/2022).
Advertisement
Dia mengatakan, “AS bersama dengan perempuan dan warga Iran yang menginspirasi dunia dengan keberanian mereka. Kami akan terus mendukung hak-hak warga Iran untuk memprotes secara bebas.”
Komentar Biden tersebut menandakan hari kedua berturut-turut di mana pihak Gedung Putih menyerang pemerintah Iran atas perlakuannya terhadap para demonstran terkait kematian Mahsa Amini, yang berusia 22 tahun.
Pada Senin (3/10), juru bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre mengatakan kepada reporter, “Kami khawatir dan terkejut dengan laporan yang menyebutkan bahwa para petugas keamanan (di Iran) menanggapi protes damai yang dilakukan para mahasiswa dengan tindak kekerasan dan penangkapan masal.”
Serangkaian aksi protes di Iran, yang kini sudah memasuki minggu ketiga, telah ditanggapi dengan tindakan keras oleh polisi dan pasukan keamanan.
Sebuah data yang dihimpun oleh Associated Press yang diambil berdasarkan pernyataan pemerintah menunjukkan setidaknya 14 orang telah tewas dan 1.500 lainnya ditahan dalam sejumlah aksi protes yang berlangsung.
Sementara itu, kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan setidaknya 130 orang tewas dan ribuan lainnya ditahan dalam protes-protes tersebut.
Ketua Parlemen Iran: Demonstrasi Bisa Perlemah Masyarakat
Ketua Parlemen Iran Mohammad Bagher Qalibaf mengingatkan demonstrasi-demonstrasi yang terjadi memprotes kematian Mahsa Amini dalam tahanan polisi dapat mendestabilisasi negara.
Qalibaf hari Minggu (2/10) menyerukan pada aparat keamanan untuk menangani dengan tegas aksi demonstrasi yang diklaimnya telah membahayakan keamanan publik.
Qalibaf mengatakan kepada parlemen bahwa tidak seperti demonstrasi saat ini, yang katanya bertujuan menggulingkan pemerintah, demonstrasi oleh guru dan pensiunan ditujukan untuk reformasi, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Selasa (4/10/2022).
Dua minggu terakhir ini ribuan warga Iran turun ke jalan memprotes kematian Mahsa Amini, seorang perempuan berusia 22 tahun yang meninggal dalam tahanan polisi setelah ditangkap polisi moral pada 13 September lalu karena tidak mengenakan jilbab secara benar.
Para pengunjuk rasa telah melampiaskan kemarahan mereka terhadap perlakuan pada kaum perempuan dan penindasan yang lebih luas di negara itu. Demonstrasi itu dengan cepat bergulir menjadi seruan untuk menggulingkan kelompok ulama garis keras telah telah memerintah di Iran sejak revolusi Islam tahun 1979.
Demonstrasi itu menarik dukungan dari berbagai kelompok etnis, termasuk gerakan oposisi Kurdi di barat laut Iran yang beroperasi di sepanjang perbatasan dengan Irak.
Mahsa Amini adalah seorang warga Kurdi-Iran, dan demonstrasi pertama terjadi di daerah Kurdi.
Televisi pemerintah Iran melaporkan sedikitnya 41 demonstran dan polisi meninggal sejak demonstrasi 17 September lalu. Sementara perhitungan Associated Press berdasarkan pernyataan pihak berwenang menunjukkan sedikitnya 14 orang tewas, dan lebih dari 1.500 demonstran ditangkap.
Qalibaf adalah mantan komandan berpengaruh di pasukan paramiliter Garda Revolusioner Iran. Bersama presiden dan kepala kehakiman, ia merupakan salah seorang dari tiga pejabat tinggi yang menangani seluruh masalah penting di Iran.
Advertisement
Polisi dan Mahasiswa Bentrok di Iran Terkait
Pasukan keamanan Iran mengalami bentrok dengan mahasiswa di sebuah universitas terkemuka di Teheran pada Minggu (2 Oktober). Hal ini diketahui lewat media sosial dan laporan pemerintah, yang menjadi tanda terbaru dari tindakan keras mematikan terhadap protes nasional yang dipicu oleh kematian seorang wanita muda dalam tahanan.
Dilansir Channel News Asia, Senin (3/9/2022), protes anti-pemerintah, yang dimulai pada pemakaman Mahsa Amini yang berusia 22 tahun pada 17 September di kota Kurdi Saqez, telah berkembang menjadi pertunjukan oposisi terbesar terhadap otoritas Iran dalam beberapa tahun. Terkait masalah tersebut, banyak yang menyerukan agar pemerintahan ulama Islam yang telah berjalan selama lebih dari empat dekade untuk segera berakhir.
Akun Twitter aktivis 1500tasvir, yang memiliki sekitar 160.000 pengikut, memposting beberapa video yang menunjukkan Universitas Sharif, yang secara tradisional merupakan sarang perbedaan pendapat, dikelilingi oleh puluhan polisi anti huru hara.
Salah satu video menunjukkan pasukan keamanan menembakkan gas air mata untuk mengusir mahasiswa dari kampus dan terdengar suara tembakan dari kejauhan.
Video lain menunjukkan pasukan keamanan mengejar puluhan mahasiswa yang terjebak di tempat parkir bawah tanah universitas. Akun itu mengatakan puluhan siswa telah ditangkap.
Media pemerintah Iran menggambarkan "laporan bentrokan" di universitas dan mengatakan menteri sains negara itu mengunjungi kampus untuk memeriksa situasinya.
Reuters tidak dapat memverifikasi secara independen peristiwa di universitas tersebut.
Demonstrasi oleh Mahasiswa
Mahasiswa telah memprotes di berbagai universitas pada hari Minggu dan demonstrasi diadakan di beberapa kota seperti Teheran, Yazd, Kermanshah, Sanandaj, Shiraz dan Mashhad. Dalam kesempatan tersebut, peserta unjuk rasa meneriakkan "kemerdekaan, kebebasan, kematian Khamenei", terlihat dalam sebuah postingan media sosial.
Protes belum mereda meskipun jumlah korban tewas meningkat dan tindakan keras oleh pasukan keamanan menggunakan gas air mata, pentungan, dan dalam beberapa kasus, menurut video di media sosial dan kelompok hak asasi, peluru tajam.
Hak Asasi Manusia Iran, sebuah kelompok yang berbasis di Norwegia, dalam sebuah pernyataan mengatakan bahwa "sejauh ini 133 orang telah tewas di seluruh Iran", termasuk lebih dari 40 orang yang dikatakan tewas dalam bentrokan pekan lalu di Zahedan, ibu kota provinsi tenggara Sistan-Baluchistan.
Advertisement