Temuan BPK: Insentif Pajak Program PC-PEN Rp 15,31 Triliun Bermasalah

BPK menemukan potensi permasalahan di program insentif pajak dalam rangka Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) 2021. Bahkan, angkanya tembus hingga Rp 15,31 triliun.

oleh Arief Rahman H diperbarui 05 Okt 2022, 20:40 WIB
Ilustrasi Pajak. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan potensi permasalahan di program insentif pajak dalam rangka Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) 2021. Bahkan, angkanya tembus hingga Rp 15,31 triliun. (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan potensi permasalahan di program insentif pajak dalam rangka Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) 2021. Bahkan, angkanya tembus hingga Rp 15,31 triliun.

Mengutip Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2022, BPK menyebut pengelolaan insentif dan fasilitas perpajakan tahun 2021 sebesar Rp15,31 triliun belum sepenuhnya memadai.

Akibatnya, terdapat potensi penerimaan pajak yang belum direalisasikan atas pemberian fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Non-PC-PEN kepada pihak yang tidak berhak sebesar Rp1,31 triliun.

Kemudian BPK menemukan nilai realisasi fasilitas PPN Non-PC-PEN insentif sebesar Rp390,47 miliar tidak valid, nilai realisasi pemanfaatan fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar Rp3,55 triliun tidak andal. Lalu, potensi pemberian fasilitas PPN DTP kepada pihak yang tidak berhak sebesar Rp154,82 miliar.

"Potensi penerimaan pajak dari penyelesaian mekanisme verifikasi tagihan pajak DTP Tahun 2020 sebesar Rp2,06 triliun. Belanja Subsidi Pajak DTP dan Penerimaan Pajak DTP belum dapat dicatat sebesar Rp4,66 triliun, dan nilai realisasi insentif dan fasilitas pajak PC-PEN sebesar Rp2,57 triliun terindikasi tidak valid," tulis laporan tersebut, dikutip Rabu (5/10/2022).

Atas permasalahan itu, BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan selaku Wakil Pemerintah menginstruksikan Direktur Jenderal Pajak untuk memutakhirkan sistem pengajuan insentif WP dengan menambahkan persyaratan kelayakan penerima insentif dan fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan pada laman resmi DJP Online.

Kemudian, menguji kembali kebenaran pengajuan insentif dan fasilitas perpajakan yang telah diajukan WP dan disetujui, selanjutnya menagih kekurangan pembayaran pajak beserta sanksinya untuk pemberian insentif dan fasilitas yang tidak sesuai.

 


Belum Punya Data Lengkap

Aktivitas pekerja saat jam pulang kantor di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis (29/9/2022). Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengungkapkan bakal mendukung pemerintah pusat jika hendak mencabut satus pandemi Covid-19 menjadi endemi dan akan menyesuaikan program-program penunjang kebijakan tersebut. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Selain itu, BPK juga menemukan kalau penentuan kriteria Program Penanganan Pandemi Corona Virus Deseases 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) Tahun 2021 dan pelaporan pada LKPP Tahun 2021 (audited) belum sepenuhnya memadai.

Akibatnya, pemerintah belum sepenuhnya memiliki data yang lengkap, valid, dan tepat waktu mengenai keseluruhan biaya yang dialokasikan dan direalisasikan untuk penanganan dampak pandemi COVID-19.

Disamping itu menyebabtkan nilai realisasi pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2020 tidak dapat segera diketahui dan dievaluasi.

"BPK merekomendasikan kepada Menteri Keuangan selaku Wakil Pemerintah antara lain agar: (1) Menetapkan kriteria yang jelas atas kegiatan/program yang menjadi bagian dari Program PC-PEN; (2) Memperbaiki mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban Program PC-PEN dalam rangka pelaporan keuangan pemerintah pusat tahun 2022," tulis dokumen tersebut.

Terakhir, Menkeu perlu melakukan verifikasi atas pelaporan pemanfaatan fasilitas PPh sesuai dengan PP Nomor 29 Tahun 2020 yang dilakukan oleh Wajib Pajak (WP).

 


BPK Temukan 15.674 Permasalahan Senilai Rp 18,37 Triliun

Gedung BPK RI. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah temuan permasalahan dalam laporan keuangan pemerintah di semester I 2022. Totalnya ada 9.158 temuan yang memuat 15.674 permasalahan sebesar Rp 18,37 triliun.

Mengutip Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2022 permasalahan itu meliputi 7.020 atau setara 44,8 persen permasalahan kelemahan sistem pengendalian intern (SPI). Kemudian sebanyak 8.116 atau 51,8 persen permasalahan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketidakpatuhan ini jika dinilai mencapai Rp17,33 triliun. Kemudian ada 538 atau 3,4 persen permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan sebesar Rp1,04 triliun.

Dari permasalahan ketidakpatuhan sebanyak 8.116 permasalahan, di antaranya sebanyak 5.465 (67,3 persen) sebesar Rp17,33 triliun merupakan permasalahan ketidakpatuhan yang dapat mengakibatkan sejumlah hal.

 


Kerugian

Petugas menata tumpukan uang di Cash Pooling Bank Mandiri, Jakarta, Rabu (20/1/2021). Realisasi M2 relatif stabil dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 12,5 persen. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Kerugian sebanyak 3.471 atau 63,5 persen permasalahan sebesar Rp 5,96 triliun. Potensi kerugian sebanyak 763 atau 14,0 persen permasalahan sebesar Rp880,10 miliar.

Kemudian, Kekurangan penerimaan sebanyak 1.231 atau 22,5 persen permasalahan sebesar Rp10,49 triliun. Selain itu, terdapat 2.651 atau 32,7 persen permasalahan ketidakpatuhan yang mengakibatkan penyimpangan administrasi.

"Dari 538 permasalahan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan sebesar Rp1,04 triliun, terdapat 53 (9,9 persen) permasalahan ketidakhematan sebesar Rp787,90 miliar, 7 (1,3 persen) permasalahan ketidakefisienan, dan 478 (88,8 persen) sebesar Rp257,90 miliar permasalahan ketidakefektifan," tulis dokumen tersebut, dikutip Rabu (5/10/2022).

Infografis Ekonomi RI Jauh Lebih Baik dari Negara Lain (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya