Perempuan Disabilitas 3 Kali Lebih Rentan Alami KDRT Ketimbang Non-Difabel

Kaum perempuan dan anak-anak memang rentan mengalami KDRT, begitu pula perempuan disabilitas.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 07 Okt 2022, 10:00 WIB
Ilustrasi Disabilitas. Foto: Ade Nasihudin/Liputan6.com.

Liputan6.com, Jakarta Baru-baru ini, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami pedangdut Lesti Kejora jadi perbincangan masyarakat. Lesti melapor bahwa dirinya mendapat kekerasan fisik dari sang suami, Rizky Billar.

Kaum perempuan dan anak-anak memang rentan mengalami KDRT, begitu pula perempuan disabilitas.

“Kelompok disabilitas termasuk yang rentan mengalami KDRT. Banyak hambatan yang dijumpai oleh korban penyandang disabilitas ketika ingin atau akan melapor tindakan KDRT,” mengutip unggahan Instagram komunitas disabilitas Koneksi Indonesia Inklusif (Konekin), Kamis (6/10/2022).

Bahkan, penyandang disabilitas lebih rentan mengalami diskriminasi, termasuk dalam kehidupan rumah tangga ketimbang non disabilitas.

Data Office for National Statistics menyatakan bahwa perempuan disabilitas hampir tiga kali lebih rentan mengalami KDRT ketimbang non disabilitas. Di masa pandemi COVID-19, potensi ini naik beberapa kali lipat.

Di sisi lain, menurut National Coalition Against Domestic Violence, 70 persen responden penyandang disabilitas pernah mengalami beberapa bentuk pelecehan. Baik oleh pasangan intim, anggota keluarga, pengasuh, kenalan, atau orang asing. Hasil ini didapat dari survei yang dilakukan oleh Spectrum Institute Disability and Abuse Project.

Terkait KDRT, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyampaikan, perempuan dan anak memang rentan menjadi korban kekerasan di ranah domestik.

KDRT semakin mungkin terjadi di Indonesia karena dalam komunitas masyarakat Indonesia, sistem patriarki masih berpengaruh besar.

“Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah tindak kekerasan yang serius. Selama ini kita terus berjuang untuk tidak melanjutkan budaya kekerasan di semua lingkup masyarakat hingga lingkup terkecil yaitu keluarga,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA Ratna Susianawati mengutip keterangan pers, Kamis (6/10/2022).

“Dalam kelompok masyarakat, perempuan dan anak adalah kelompok rentan sehingga kita semua wajib melindungi dan menghindarkan mereka menjadi korban kekerasan,” tambahnya.


Akibat Enggan Melapor

Sebetulnya kasus KDRT banyak terjadi di lingkungan masyarakat, lanjut Ratna, hanya saja para korban KDRT biasanya tidak mau melaporkan kasus yang dialaminya dengan banyak alasan. Misalnya takut dengan pelaku KDRT yang notabene adalah keluarga korban. Di sisi lain, korban menganggap KDRT merupakan masalah rumah tangga sehingga merupakan aib apabila permasalahan rumah tangganya diketahui oleh lingkungan sekitar.

Ratna menuturkan bahwa KDRT menimbulkan dampak sangat besar, baik bagi si korban maupun keluarganya. Kondisi ini bisa diperparah dengan lingkungan sekitar yang kurang tanggap terhadap kejadian KDRT di sekitarnya. Sebagian masyarakat cenderung menganggap KDRT sebagai masalah domestik sehingga apabila ada kejadian KDRT, mereka enggan ikut campur.

Padahal, KDRT bisa berdampak fatal bagi korban. Selain menimbulkan luka fisik dan psikis berkepanjangan, peristiwa kekerasan akan terekam dalam memori otak anak-anak yang menyaksikannya.

“Jangan heran jika anak-anak yang menyaksikan dan bahkan menjadi korban KDRT akan melakukan hal serupa dengan teman sebaya mereka dan ke anak-anak mereka kelak.”


Dampak pada Anak

Anak yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang mengalami KDRT cenderung akan meniru ketika mereka dewasa. Anak perempuan yang melihat ibunya dipukul ayahnya dan ibunya diam saja, tidak melapor atau melawan, maka anaknya cenderung memiliki reaksi yang sama ketika mengalami KDRT saat berumah tangga.

Indonesia memiliki Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sebagai pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau subordinasi, khususnya perempuan. UU PKDRT dianggap sebagai salah satu peraturan yang melakukan terobosan hukum karena terdapat beberapa pembaharuan hukum pidana yang belum pernah diatur oleh Undang – Undang sebelumnya.

Terobosan hukum yang terdapat dalam UU PKDRT mencakup bentuk–bentuk tindak pidana dan dalam proses beracara. Antara lain dengan adanya terobosan hukum untuk pembuktian bahwa korban menjadi saksi utama dengan didukung satu alat bukti petunjuk.

Diharapkan dengan adanya terobosan hukum ini, kendala-kendala dalam pembuktian karena tempat terjadinya KDRT umumnya di ranah domestik dapat dihilangkan. UU PKDRT ini juga mengatur kewajiban masyarakat dalam upaya mencegah KDRT agar tidak terjadi kembali (Pasal 15 UU PKDRT).

“Kasus KDRT yang dulu dianggap mitos dan persoalan pribadi, kini menjadi urusan publik yang nyata bahkan menjadi ranah negara karena telah diatur dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang PKDRT.”


Tak Dapat Dinormalisasi

KDRT juga bukanlah sebuah hal yang dapat dinormalisasi, akhir cerita KDRT juga seringkali tidak seindah dongeng. Dengan ditutupinya KDRT tidak jarang justru membuat pelaku semakin menjadi-jadi.

“Untuk itu kami mendorong masyarakat , khususnya perempuan dan anak yang menjadi korban untuk tidak takut melapor, begitu juga masyarakat yang melihat tindak KDRT di sekeliling mereka.”

KemenPPPA memiliki Layanan SAPA 129 (021-129) dan hotline 081-111-129-129 sebagai layanan pengaduan kekerasan terhadap perempuan yang dapat diakses oleh semua kalangan di seluruh Indonesia. Laporan akan ditindaklanjuti dengan penanganan yang dilakukan melalui koordinasi dengan Dinas PPPA/UPTD PPPA di daerah seluruh Indonesia.

Ada 6 layanan dasar yang dapat diberikan, yaitu : pengaduan masyarakat, penjangkauan korban, pengelolaan kasus, penampungan sementara, mediasi, dan pendampingan korban.

“Manfaatkan layanan ini dengan baik,” tegas Ratna.

Infografis Kekerasan dalam Pacaran (liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya