Liputan6.com, Jakarta Anak Nadya Hutagalung dan Desmond Koh, Nyla Koh tengah menjadi sorotan publik lantaran keputusannya untuk menjadi gender netral atau disebut pula non-biner.
Gender netral secara sederhana diartikan sebagai keputusan pribadi untuk tidak menjadi laki-laki maupun perempuan. Nyla yang tumbuh sebagai gadis dengan rambut hitam panjang kini tampil beda dengan rambut baru yang dipotong pendek. Tak hanya itu, ia juga mewarnai rambutnya dengan warna merah muda keunguan.
Advertisement
Bahkan Nadya Hutagalung pun dibuat pangling dengan penampilan Nyla tersebut. Kini di usia 14, Nyla lebih suka dipanggil Alex.
Saat membagikan potret Nyla di akun Instagram miliknya, Nadya selalu menyapa sang putri dengan panggilan Alex. Ternyata Nyla sendiri yang ingin dipanggil Alex karena menurutnya nama itu lebih netral.
Nadya menerangkan hal itu muncul saat seorang warganet menanyakan alasan selalu memanggil Alex meski tetap mencantumkan nama Nyla di kolom keterangan. Nyla Koh ternyata ingin nama yang gendernya netral. Mengingat, nama Alex acap kali ditemukan pada pria maupun wanita khususnya di Amerika.
Mengutip laman resmi FISIP UI, gender netral adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan seseorang yang tidak mengidentifikasi dirinya secara eksklusif sebagai laki-laki atau perempuan.
Gender netral adalah konsep yang terpisah dengan orientasi seksual seseorang maupun jenis kelamin yang ditetapkan sejak lahir.
“Bicara soal gender di Indonesia, secara umum masyarakat berpikir bahwa gender itu laki dan perempuan. Realitas sosial di masyarakat kita bahwa gender itu ternyata tidak sesederhana laki dan perempuan, karena cukup banyak orang-orang yang mengidentifikasi dirinya bukan laki dan juga bukan perempuan,” kata Irwan Martua Hidayana yang merupakan Ketua Departemen Antropologi FISIP UI dikutip dari laman resmi UI pada Kamis (6/10/2022).
“Yang perlu dipahami bahwa sebenarnya di berbagai macam tradisi dan kebudayaan di Indonesia dikenal juga bentuk-bentuk gender yang berbeda seperti transgender.”
Bukan Hal Baru di Indonesia
Fenomena identitas gender seperti ini sebetulnya bukan hal baru dan di Indonesia bisa ditemui di berbagai tempat misalnya Calabai, Calalai di Sulawesi Selatan, pentas ludruk di Jawa Timur, dan sebagainya. Jadi masyarakat dan lingkungan setempat sebetulnya telah hidup berdampingan sejak lama dengan damai seperti disampaikan Ani Widyani, M.A yang merupakan Dosen Departemen Ilmu Hubungan Internasional UI.
Senada dengan Ani, melansir laman resmi Universitas Airlangga Surabaya, beberapa orang berasumsi bahwa pergeseran ke arah identitas non-biner adalah perubahan budaya baru. Sebenarnya, beberapa budaya non-Barat— baik secara historis hingga saat ini memiliki pemahaman mengenai gender non-biner.
Di Indonesia, satu kelompok etnis menunjukkan gagasan bahwa identitas gender diekspresikan dengan lebih dari dua cara dan ini sudah berusia ratusan tahun.
Orang Bugis adalah kelompok etnis terbesar di Sulawesi Selatan. Dalam konsepsi mereka tentang lima jenis identitas gender yang berbeda.
Selain maskulinitas dan feminisme cisgender yang diketahui orang Barat, interpretasi jenis kelamin Bugis meliputi calabai (wanita feminin), calalai (wanita maskulin) dan bissu, yang oleh antropolog Sharyn Graham digambarkan sebagai “meta-gender” yang dianggap kombinasi dari semua jenis kelamin.
Advertisement
Bissu dalam Budaya Bugis
Bissu sengaja berpakaian dengan cara yang memadukan karakteristik pria dan wanita tradisional. Contohnya, bissu memakai pisau tradisional maskulin sementara juga mengenakan bunga di rambut mereka. Ini telah ada dalam budaya Bugis sejak sebelum Islam tiba di Indonesia pada abad ke-13.
Bahkan saat ini, bissu memainkan peran penting dalam komunitas lokal dengan memberikan “berkah” saat perkawinan, sebelum panen, dan bahkan sebelum orang Bugis melakukan ziarah ke Mekah.
Bagi orang Bugis, bissu bukan hanya campuran maskulin dan feminin, tapi juga campuran antara kefanaan dan keilahian (divine), yang bisa dimiliki oleh roh melalui ritual yang rumit.
Hindari Diskriminasi
Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UI, Endah Triastuti, Ph.D mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sekarang tidak siap menerima gender netral.
Berbeda dengan dua puluh atau tiga puluh tahun lalu, masyarakat Indonesia justru siap menerima gender netral atau gender yang lebih dari dua.
“Karena kalau kita lihat di beberapa kelompok budaya memang ada yang seperti itu, contohnya di Sulawesi Utara, NTB, Padang, Jawa Timur dan Gorontalo. Sejak tahun 1980-an ketika WHO mengatakan virus HIV/AIDS sebagai penyakit penyimpangan seksual, mulai saat itu masyarakat Indonesia tidak siap menerima hal yang seperti itu.”
Irwan menambahkan, soal pemahaman dan pengetahuan tentang apa itu gender, perlu adanya lebih banyak informasi karena memang ada orang-orang disekitar yang tidak ingin diidentifikasi sebagai laki-laki maupun perempuan.
Namun, dalam kehidupan bersosial tidak bisa memaksakan nilai-nilai yang dianut kepada orang lain. Maka, lebih baik saling menghormati.
“Namun saya pikir sebagai individual mempunyai personal value tetapi di sisi lain kita mempunyai lingkungan sosial yang harus berinteraksi. Dalam konteks itu kita tidak bisa memaksakan personal value kita kepada orang lain. Jadi kita harus respek dan apresiasi.”
“Jangan sampai melakukan diskriminasi seperti ejekan atau bahkan diskriminasi secara fisik kepada seseorang yang non binary,” ujar Irwan.
Advertisement