Alarm Resesi Global Mulai Berbunyi, Krisis Ekonomi 1997 Kembali Hantui Asia

Menyusul berbagai alarm resesi global, Asia kembali dihantui risiko krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 06 Okt 2022, 17:20 WIB
Ilustrasi Krisis Ekonomi. Menyusul berbagai alarm resesi global, Asia kembali dihantui risiko krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997. Freepik

Liputan6.com, Jakarta - Seperempat abad yang lalu, krisis keuangan besar melanda Asia dan mengguncang ekonominya. Kini, krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 kembali menghantui kawasan tersebut.

Mata uang dan pasar saham di ekonomi terbesar Asia telah jatuh ke posisi terendah dalam beberapa dekade terakhir. Kondisi ini didorong oleh kenaikan suku bunga yang agresif oleh Federal Reserve dan perlambatan ekonomi di China.

Dikutip dari CNN Business, Kamis (6/10/2022) dalam sebuah laporan baru, sebuah badan PBB memperingatkan bahwa tindakan The Fed, bersama dengan bank sentral lainnya, berisiko mendorong ekonomi global ke dalam resesi.

China, negara ekonomi terbesar kedua di dunia telah melihat mata uangnya, yuan, jatuh ke rekor terendah hingga 11 persen terhadap dolar AS, menandai penurunan terburuk sejak 1994, menurut data dari Refinitiv.

Adapun Jepang, negara ekonomi terbesar ketiga di dunia, bernasib lebih buruk. Nilai Yen Jepang sudah merosot 26 hingga tahun ini dan menjadi penurunan terbesar di antara semua mata uang Asia.

Kemudian di kawasan Asia Selatan, rupee India juga merosot ke rekor terendah, yang telah melihat penurunan hingga 9 persen tahun ini.

"Pengetatan moneter cepat oleh The Fed mengirimkan dampak yang jauh dan luas," kata Frederic Neumann, kepala ekonom Asia di HSBC.

"Bahkan Asia, meskipun memiliki fundamental makroekonomi yang kuat, kini menghadapi volatilitas pasar keuangan yang meningkat," tambahnya.

Ketika tekanan kuat pada mata uang utama Asia berlanjut, beberapa analis keuangan khawatir bahwa jika situasinya tidak terkendali, maka dapat menyebabkan krisis keuangan di kawasan itu.

"Lingkungan dolar yang kuat telah menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana Asia akan terpengaruh dan apakah ini akan memicu krisis keuangan lain," tulis kepala ekonom Asia Morgan Stanley, Chetan Ahya dalam sebuah laporan penelitian.

 

 

 

 


Sejumlah Negara Asia Mulai Turun Tangan Cegah Terulangnya Krisis Keuangan 1997

Pemandangan gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan di Jakarta, Selasa (5/4/2022). Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 menjadi 5,1 persen pada April 2022, dari perkiraan sebelumnya 5,2 persen pada Oktober 2021. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Pada musim panas tahun 1997, krisis besar-besaran di Asia dipicu oleh devaluasi mata uang Thailand, baht. Kondisi ini mengirimkan gelombang kejut di seluruh kawasan tersebut, yang menyebabkan pelarian modal besar-besaran dan turbulensi pasar saham.

Kekacauan itu juga menyebabkan resesi mendalam di Asia, membuat sejumlah perusahaan bangkrut dan menggulingkan pemerintah.

Kini, sejumlah negara di Asia turun tangan untuk mencegah terulangnya krisis ekonomi tahun 1997-1998.

Kementerian Keuangan Jepang mengungkapkan pekan lalu bahwa mereka menghabiskan dana hampir USD 20 miliar pada September 2022 untuk memperlambat penurunan yen dalam intervensi pertama guna menopang mata uang sejak 1998.

Bank sentral India juga mengeluarkan hampir USD 75 miliar sejauh ini untuk meredakan gejolak dolar rupee.

Sementara China belum mengungkapkan angka apa pun. Namun, People's Bank of China memperingatkan pedagang yuan pekan lalu bahwa mereka akan kehilangan uang dalam jangka panjang jika mereka bertaruh melawan mata uang.

Salah satu penyebab utama krisis 25 tahun yang lalu adalah gelembung harga aset yang diciptakan oleh arus masuk investasi yang besar ke beberapa negara Asia Tenggara pada awal 1990-an untuk mencari pengembalian cepat, atau dikenal sebagai "uang panas".

Selain itu, negara-negara ini juga memiliki utang luar negeri yang besar, tata kelola perusahaan yang lemah, dan nilai tukar tetap.

 

 

 

 

 


Analisis Optimis Krisis Keuangan Asia 1997 Tak Akan Terulang

Pemandangan gedung bertingkat dan pemukiman padat penduduk di Jakarta, Selasa (5/4/2022). Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 menjadi 5,1 persen pada April 2022, dari perkiraan sebelumnya 5,2 persen pada Oktober 2021. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Ketika The Fed mulai menaikkan suku bunga pada pertengahan 1990-an untuk meredam inflasi AS, dolar mulai naik, mendorong gangguan ekspor negara-negara Asia yang telah mematok mata uang mereka ke greenback.

Saat ini, ketika dunia menuju resesi global, beberapa faktor yang sama muncul lagi, termasuk pengetatan moneter The Fed yang agresif untuk menahan inflasi.

"Lingkungan eksternal (untuk Asia) telah menjadi lebih menantang dalam konteks tantangan inflasi yang meluas dan laju pengetatan moneter yang hampir sinkron dan tajam," kata analis Morgan Stanley.

Namun, analis menilai Asia saat ini memiliki fundamental makro yang lebih baik dibandingkan dengan pertengahan 1990-an.

"Saya tidak melihat Krisis Keuangan Asia (1997) terulang kali ini,” kata Khoon Goh, kepala penelitian Asia di ANZ Research, Khoon Goh.

"Yang penting, tidak ada penumpukan utang luar negeri yang sama dalam beberapa tahun terakhir, yang merupakan salah satu pemicu krisis keuangan Asia," ujar Khoon Goh.

Sementara itu, Kepala Ekonom Asia S&P Global Ratings Louis Kuijs memperkirakan cadangan devisa tidak turun ke level yang sangat rendah dalam waktu dekat di pasar negara berkembang utama Asia.

China dan Jepang memiliki dua cadangan devisa terbesar di dunia, masing-masing memegang USD 3 triliun dan USD 1,3 triliun. Jika digabung maka nilai itu adalah sepertiga dari seluruh cadangan devisa dunia.

Selain itu, utang luar negeri dan utang sektor swasta di Asia saat ini tetap stabil, tidak seperti pertengahan 1990-an.

 

Infografis Laju Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan Produk Domestik Bruto 2019-2021. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya