Liputan6.com, Kairo - Militan Palestina membajak sebuah kapal pesiar Italia, Achille Lauro, di Mediterania dan mengancam akan meledakkannya. Mereka menuntut pembebasan 50 tahanan Palestina yang ditahan di Israel.
Di dalam kapal yang berbasis di Naples, Italia itu terdapat 420 penumpang dan awak kapal, termasuk enam warga Inggris.
Advertisement
Pembajakan kapal ini terjadi pada Senin sore, 7 Agustus 1985, tak lama setelah Kapal Achille Lauro meninggalkan Pelabuhan Alexandria, Mesir dalam perjalanan ke Port Said, Mesir.
Menurut laporan BBC, sebelum kejadian itu, sebagian besar penumpang diturunkan di Alexandria untuk melakukan tur di sana dan berencana kembali bergabung dengan pelayaran setelah itu, menuju daerah pesisir Mesir.
Pertemuan Darurat
Saat itu, lokasi spesifik kapal belum diketahui. Sebagai upaya untuk menemukan posisi Achille Lauro, Angkatan Laut Italia mengirim kapal dan pesawat pengintai.
Meskipun hanya sedikit informasi yang diketahui tentang latar belakang para pembajak itu, pihak berwenang Mesir dan Italia tetap berkomunikasi dengan Organisasi Pembebasan Palestina, dilansir dari BBC.
Perdana Menteri Italia Bettino Craxi menindaklanjuti situasi ini dengan mengadakan pertemuan darurat bersama Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan Italia.
Pembajakan kapal memang pernah terjadi sebelumnya, namun tidak pada kapal pesiar Italia.
Pada 1961, kapal penumpang Santa Maria diambil alih oleh penentang diktator Portugis Antonio Salazar, tetapi berakhir dengan damai.
Pembajakan laut yang terkenal juga pernah terjadi di Singapura, Yunani dan Kamboja pada 1970-an.
Para ahli mengatakan, pembajakan Achille Lauro mengakibatkan banyak korban sandera.
Saksi: Saya Ada di Sana
Dikutip dari BBC, seorang saksi yang bekerja sebagai resepsionis di Hotel Kairo menceritakan pengalamannya ketika ratusan penumpang Achille Lauro panik karena tidak bisa kembali ke kapal dan harus menginap di Hotel Kairo, Mesir.
"Ketika Achille Lauro dibajak pada Oktober 1985, saya bekerja sebagai resepsionis di Hotel Kairo,"
"Saat shift malam, sekitar pukul 02.00, saya menerima telepon dari salah satu agen perjalanan Mesir yang menanyakan apakah saya memiliki 300 kamar yang tersedia,"
"Saya terkejut dan menjawab dengan ragu bahwa ada kamar yang tersedia. Dalam tiga jam, sekitar 350 tamu tiba dalam kondisi panik,"
"Mereka adalah penumpang Achille Lauro yang melakukan perjalanan ke Kairo dan seharusnya bergabung kembali dengan kapal di Port Said."
"Saya ingat, saya harus menghadapi situasi ini selama tiga hari tanpa henti. Itu adalah tiga hari terlama saya bekerja sepanjang karir saya," ujar Mohamed Samy.
Advertisement
Militan Palestina Ditangkap
Para pembajak berasal dari Front Pembebasan Palestina, kelompok pecahan dari Organisasi Pembebasan Palestina Yasser Arafat.
Dalam pembajakan Achille Lauro, pembajak menembak mati seorang turis Amerika yang cacat, Leon Klinghoffer (69 tahun), lalu tubuhnya dilempar ke laut dengan kursi rodanya.
Tragedi ini berakhir pada 10 Oktober 1985.
Mulanya, Mesir memberikan kebebasan kepada para pembajak untuk kembali ke tanah air mereka sebagai ganti sandera lainnya.
Namun, jet Angkatan Laut AS menyewa pesawat Egypt Air 737 untuk mencegat dan membawa mereka ke Italia.
Empat dari mereka diadili di Italia dan dijatuhi hukuman penjara yang lama.
Abu Abbas, pimpinan komplotan ini, melarikan diri dari penjara dan diadili secara in absentia.
Dia ditangkap oleh pasukan khusus AS di ibukota Irak, Baghdad, pada April 2003 dan meninggal dalam tahanan pada Maret 2004. Hasil autopsi menunjukkan dia meninggal karena penyakit jantung.
Beberapa tahun usai kejadian itu, Achille Lauro terbakar dan tenggelam pada 1994.
Cegah Pembajakan, 3 Negara Sepakat Patroli Bersama di Laut Sulu
Kejadian pembajakan kapal seringkali terjadi di dunia pelayaran, Indonesia sebagai negara maritim, tak luput dari kejadian serupa.
Karena itu, Indonesia bersama dua negara maritim lainnya di Asia menyepakati patroli bersama sebagai antisipasi terjadinya pembajakan di wilayahnya.
Menteri Pertahanan 3 negara, yaitu Indonesia, Filipina, dan Malaysia, akhirnya menemui kata sepakat untuk melakukan patroli bersama di wilayah perairan Sulu. Langkah ini diyakini dapat meredam aksi teror di wilayah laut tersebut.
Menko Polhukam saat itu, Wiranto mengatakan, implementasi atas kesepakatan ini juga sudah menentukan standar operasional prosedur. Kesepakatan ini penting untuk dikukuhkan hingga meminimalisir aksi perompakan.
"Operasi itu akhirnya akan menetralisir berbagai sumber-sumber yang mencoba menggangu para nelayan di wilayah maritim kita," ujar Wiranto di Grand Sahid Hotel, Jakarta, Kamis (4/8/2016).
Perairan Sulu yang berbatasan dengan Indonesia, Malaysia, dan Filipina memang bisa dibilang perairan tak bertuan. Wilayah internasional inilah yang kerap dimanfaatkan kelompok bersenjata dalam merampok para nelayan dan pengusaha.
Karena itu, butuh kesepakatan bersama untuk sama-sama menjaga wilayah itu. Dengan begitu, tidak ada lagi salah paham selama operasi berlangsung.
"Wilayah internasional di antara beberapa negara kalau tidak ada standar operational procedur nanti ada salah paham. Dengan adanya itu nanti jadi aman," pungkas Wiranto.
(Reporter: Safinatun Nikmah)
Advertisement