Dukung Ekosistem Ojol, Pemerintah Diminta Perluas Kebijakan

Pemerintah diminta membuat opsi lebih banyak dan rasional dalam mendukung ekosistem ojek online (ojol) yang dibangun oleh aplikator.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Okt 2022, 19:37 WIB
Pengemudi ojek online mengangkut penumpang di depan Stasiun Palmerah, Jakarta, Selasa (6/9/2022). Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memastikan segera menerbitkan regulasi kenaikan tarif ojek online (ojol). Hal itu menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang membuat beban operasional transportasi semakin besar. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diminta membuat opsi lebih banyak dan rasional dalam mendukung ekosistem ojek online (ojol) yang dibangun oleh aplikator dengan mengidentifikasi proses bisnisnya secara lebih mendalam.

"Selama ini kebijakan pemerintah masih melulu soal tarif. Belum terlihat upaya untuk merancang skema insentif untuk memperluas pemanfaatan ekosistem ini sehingga aplikator punya sumber pendanaan baru,” kata Peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) I Dewa Gede Karma Wisana dikutip dari Antara, Kamis (6/10/2022).

Jika pemerintah memberikan dukungan terkait skema insentif ini, lanjutnya, aplikator ojol akan bisa memperoleh perluasan bisnis. Dengan kata lain, pemerintah secara tidak langsung ikut menjamin kesejahteraan driver.

“Kan pemerintah bisa mendorong aspek keselamatan atau aspek perlindungan para driver. Atau pemerintah memberikan insentif untuk praktek-praktek yang dilakukan oleh aplikator dalam meningkatkan alternatif pembiayaan atau alternatif pendapatan mitra driver,” ujar Dewa.

Ia melihat pemangkasan biaya layanan dapat berdampak pada ekosistem ojol seperti berkurangnya kesejahteraan mitra driver dan juga pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang hidupnya bergantung pada ekosistem ojol, karena hal tersebut membuat aplikator berpotensi kehilangan sumber pendanaan.

“Contohnya, yang tadinya aplikator bisa memberikan insentif untuk mitra driver, kemungkinan insentif tersebut harus dipangkas demi mempertahankan bisnisnya tetap berjalan. Jadi ada dua dampak utama yang dirasakan mitra driver, yaitu berkurangnya insentif ke mereka dan berkurangnya potensi pendapatan akibat permintaan konsumen berkurang,” ungkap Dewa.

 


Biaya Sewa Aplikasi

Pengemudi ojek online mengangkut penumpang di depan Stasiun Palmerah, Jakarta, Selasa (6/9/2022). Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memastikan segera menerbitkan regulasi kenaikan tarif ojek online (ojol). Hal itu menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang membuat beban operasional transportasi semakin besar. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Dia menambahkan pengaturan batas maksimum biaya sewa aplikasi juga harus mempertimbangkan kebutuhan pengembangan teknologi aplikasi. Ini merupakan hal yang krusial karena aplikasi adalah motor dari ekosistem ojol. Tanpa maintenance, kualitas aplikasi akan berkurang dan berdampak langsung pada menurunnya permintaan konsumen.

Pasalnya, teknologi yang menjadi basis aplikasi membutuhkan biaya yang besar, dan aplikator harus memastikan teknologi aplikasi berjalan dengan baik tanpa adanya bug, maupun error system.

Layanan di ekosistem ojol, saat ini memang masih membutuhkan pemeliharaan untuk mendorong peningkatan permintaan konsumen. Mulai dari promo, cash back, voucher, hingga komisi untuk mitra driver.

“Nah, ketika biaya sewa aplikasi dibatasi, mungkin yang akan dilakukan aplikator di Indonesia adalah mengurangi layanan-layanan yang dinilai kurang bisa memberikan pendapatan yang signifikan. Begitu juga dengan program-program yang memberikan benefit bagi driver, kemungkinan besar akan dikurangi,” tutup Dewa.


Biaya Aplikasi Dipangkas, Ekosistem Ojol Terancam

Driver Grab Bike mengenakan Grab Protect pelindung yang membatasi antara pengemudi dan penumpang saat diluncurkan di Jakarta, Selasa (9/6/2020). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Para pelaku usaha tengah khawatir dengan adanya rencana pemangkasan biaya aplikasi ojek online. Untuk itu Kementerian Perhubungan diminta lebih hati-hati dalam membuat keputusan.

Ekonom Universitas Airlangga yang juga peneliti di Research Institute of Socio-Economic Development (RISED), Rumayya Batubara menyampaikan, pemotongan biaya sewa aplikasi, memiliki dampak luas, mulai dari sisi perusahaan aplikator, mitra driver, dan ekosistem ojol secara keseluruhan. Pasalnya, sebagian dari biaya sewa aplikasi itu, kemudian dikembalikan lagi ke para driver, antara lain dalam bentuk promo.

Menurut Rumayya, akan lebih ideal, perusahaan aplikator justru diberikan keleluasaan untuk menentukan berapa biaya swa aplikasinya. Bahkan, tak kalah penting, pemerintah juga sebelum mengambil keputusan, dapat lebih luas mempertimbangkan banyak sisi, seperti apakah penetapan biaya sewa aplikasi itu akan berdampak pada kesehatan keuangan aplikator.

Hal lain yang disorot, Rumayya menyampaikan bahwa, dalam jangka panjang pemotongan biaya sewa aplikasi juga akan berdampak pada berkurangnya insentif mitra pengemudi. Ia khawatir, jika kemudian tarif sewa dipangkas, akan berdampak semakin berkurangnya program marketing untuk konsumen, yang ujungnya akan menurunkan minat konsumen pada layanan aplikator dan merugikan ekosistem.

"Pendapatan mitra driver bukan cuma dari tarif, tapi juga dari komponen-komponen seperti insentif. Biaya pemasaran digunakan untuk meningkatkan permintaan pasar. Nah, semua itu kan butuh biaya untuk pengelolaan aplikasinya,” ujar Rumayya, Rabu (5/10/2022).

Karena itu, saat biaya sewa aplikasi dipangkas, aplikator harus mengambil jalan lain untuk menutup biaya pengelolaan aplikasi. Selain itu, aplikator juga berpotensi menaikkan tarif ojol di luar tarif yang telah ditetapkan Kemenhub.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya