Liputan6.com, Jakarta Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir September 2022 mencapai USD 130,8 miliar, turun dibandingkan dengan posisi pada akhir Agustus 2022 sebesar USD 132,2 miliar.
Penurunan posisi cadangan devisa Indonesia pada September 2022 antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Advertisement
"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 5,9 bulan impor atau 5,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah," ujar Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (7/10/2022).
Selain itu, cadangan devisa ini juga serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Ke depan, Bank Indonesia memandang cadangan devisa tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung proses pemulihan ekonomi nasional.
Jokowi: Di Tengah Krisis Dunia, Indonesia Masih Dipercaya Perusahaan Global
Posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Agustus 2022 tetap tinggi mencapai USD 132,2 miliar. Angka ini relatif stabil dibandingkan dengan posisi pada akhir Juli 2022 yang juga sebesar USD 132,2 miliar.
Perkembangan posisi cadangan devisa pada Agustus 2022 antara lain dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan jasa, penerimaan devisa migas, di tengah kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,1 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," jelas Direktur Eksekutif Informasi tentang Bank Indonesia Erwin Haryono, Rabu (7/9/2022).
Advertisement
Cegah Defisit Naik, Mulai 2023 Pemerintah Kembali Terapkan Disiplin Fiskal
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan pada tahun 2023 Pemerintah kembali menerapkan disiplin fiskal terhadap APBN, dengan cara menekan agar defisit tidak lebih 3 persen dari GDP.
Menkeu menjelaskan, memang kondisi ketidakpastian itu cenderung muncul pada sisi harga-harga yang meningkat, terutama karena disrupsi dari sisi supply. Hal ini karena adanya potensi peningkatan krisis pangan energi dan bahkan krisis utang di berbagai negara.
Kondisi tersebut sesuai dengan task force yang dibuat PBB, di mana mereka mengidentifikasi suasana dan situasi tantangan Global ini akan berpotensi kepada tiga area krisis, yaitu pangan, energi dan utang.
“Dalam situasi ketidakpastian dan dikaitkan dengan kondisi atau peranan dari instrumen APBN fiskal. Di tahun 2023 kembali untuk menerapkan disiplin fiskal atau prudent fiscal policy dengan membuat maksimum defisit tidak lebih dari 3 persen dari GDP,” kata Menkeu dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia dengan tema "Normalisasi Kebijakan Pemulihan Ekonomi Indonesia" pada Sesi Fiskal dan Pembangunan Daerah, Rabu (7/9/2022).
Menurutnya, jika dilihat lebih detail, ketidakpastian ini memang cenderung meningkatkan harga dan meningkatkan suku bunga serta capital outflow. Karena adanya pengetatan likuiditas yang seharusnya dikurangi namun ternyata menimbulkan gejolak yang bisa berimbas ke ekonomi.
“Karena kalau kita masih sangat besar kemudian terlihat di market harus melakukan financing apalagi financingnya sampai desperate maka kita pasti akan terkena Hit dengan cost of fund yang sangat tinggi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Menkeu mengatakan, Indonesia juga akan dilihat oleh dunia dari sisi ratingnya. Di mana Indonesia dianggap rentan dari sisi pembiayaan. Hal itu terlihat di berbagai negara saat ini sedang menghadapi kondisi resiko bergulir (revolving risk) dari sisi manajemen utang.
“Jadi, dalam hal ini sebetulnya sesuatu yang justru kita sedang mengelola sebuah resiko baru sudah pandemi, yaitu dari tadinya risiko kesehatan, sekarang menjadi resiko financial, dan geopolitik yang menimbulkan imbas sangat besar terhadap energi dan pangan, dan kemudian berujung pada inflasi,” pungkasnya.