Indonesia Tolak Bahas Pelanggaran HAM Uyghur di PBB, Kemlu RI Bongkar Alasannya

Ajak untuk debat nasib HAM Uyghur di PBB ditolak Indonesia.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 07 Okt 2022, 12:13 WIB
Ilustrasi Bendera China (AFP/STR)

Liputan6.com, Jenewa - Indonesia menolak pembahasan pelanggaran HAM kasus Uyghur di PBB. Indonesia adalah satu-satunya negara Asia Tenggara yang menjawab No, sementara Malaysia memilih abstain. 

Draft debat tersebut bernama "Debate on the Situation of Human Rights in the Xinjiang Uyghur Autonomous Region, China." Draft tersebut dibawa oleh Amerika Serikat dan Kerajaan Norwegia. 

Berdasarkan informasi UN Human Rights Council di Twitter, sejumlah negara-negara yang mendukung termasuk Korea Selatan, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika Serikat, Finlandia, dan Somalia. 

Indonesia justru ikut menolak bersama China, Nepal, serta Pakistan, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Draf ini kalah 19-17, sehingga satu suara Indonesia sebetulnya penting bagi rakyat Uyghur.

Hasil voting tersebut mendapat kecaman dari Amnesty International karena dianggap melindungi hak pelanggar ketimbang kelompok yang dilanggar.

Pejabat HAM Kementerian Luar Negeri RI menilai pembahasan pelanggaran HAM Uyghur bersifat politis.

"Kita tidak ingin adanya politisasi Dewan HAM yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang terkait, misalnya, rivalitas politik," ujar ​Direktur HAM dan Kemanusiaan Kemlu Achsanul Habib dalam konferensi pers virtual Jumat (7/10/2022).

"Kita harapkan Dewan HAM tidak pilih-pilih ya atau selektif dalam memilih isu yang akan dibahas," lanjut Achsanul yang mengaku sudah berkonsultasi dengan semua pihak, termasuk dengan China, Barat, dan negara-negara OKI. 

Argumen Kemlu RI senada dengan argumen pihak China yang menolak isu Uyghur disorot karena dianggap politis. Sebelumnya, China juga menolak laporan HAM dari Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) karena dianggap politis.

"Sebagai departemen HAM PBB, OHCHR seharusnya mengikuti Piagam PBB dan prinsip-prinsip universal, obyektif, dan non-politis untuk mempromosikan pertukaran internasional perkembangan HAM dan dialog konstruktif antara negara anggota," tulis media pemerintah China, The Global Times.

 


Amnesty Sorot Kepentingan Ekonomi

Massa Aliansi Mahasiswa Islam (AMI) mengenakan topeng saat menggelar aksi di depan Kedutaan Besar China, Jakarta, Jumat (14/1/2022). Massa meminta pemerintah Indonesia untuk berbicara menentang genosida yang terjadi pada muslim Uighur di Xinjiang. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Amnesty memberikan kritikan kepada negara-negara yang memblokir voting seperti yang dilakukan Indonesia. Organisasi itu berkata kepentingan ekonomi harusnya tidak mengalahkan masalah HAM.

"Voting hari ini melindungi pelaku pelanggaran HAM ketimbang korbannya," tulis Amnesty International dalam situs resminya, dikutip Jumat (7/10/2022). 

"Diamnya negara-negara anggota, atau lebih parah, memblokir debat, di hadapan kekejian yang dilakukan pemerintah China tambah menodai reputasi Dewan HAM. Kepentingan politik dan ekonomi seharusnya tidak menang melawan masalah HAM serius," tulis Amnesty.

Pihak AS juga mengaku kecewa karena kekalahan draf ini sangatlah tipis.  

"Tidak ada negara yang seharusnya kebal dari diskusi di Dewan. Kita akan terus untuk bekerja dengan erat bersama mitra-mitra kita untuk mendapatkan keadilan dan akuntabilitas bagi korban-korban pelanggaran HAM dan kekerasan, termasuk di Xinjiang," ujar Duta Besar Michele Taylor dari Amerika Serikat. 

Pihak Amnesty International juga optimistis karena kekalahan draf ini sangat sedikit. Mereka meminta agar Dewan HAM PBB terus membahas isu ini. 

"Penting bagi negara-negara anggota Dewan HAM PBB untuk kembali pada voting ini dan melanjutkan usaha-usaha untuk menyorot situasi HAM di Xinjiang secepatnya," kata pihak Amnesty.


PBB Ungkap Bukti Penyiksaan Terhadap Masyarakat Uyghur di Xinjiang

"Pusat pelatihan vokasional Hotan" di Hotan County, Prefektur Hotan, Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur (XUAR) (Rizki Akbar Hasan / Liputan6.com)

Sebelumnya dilaporkan, PBB menuduh China melakukan "pelanggaran hak asasi manusia yang serius" dalam laporan yang telah lama ditunggu-tunggu mengenai tuduhan pelecehan di Provinsi Xinjiang.

Dilansir BBC, Kamis (1/9), China telah mendesak PBB untuk tidak merilis laporan itu - dengan Beijing menyebutnya sebagai "lelucon" yang diatur oleh kekuatan Barat. 

Laporan tersebut menilai klaim pelecehan terhadap Muslim Uyghur dan etnis minoritas lainnya, yang dibantah China. Tetapi para penyelidik mengatakan mereka menemukan "bukti yang dapat dipercaya" dari penyiksaan yang mungkin sama dengan "kejahatan terhadap kemanusiaan".

Laporan tersebut dirilis pada hari terakhir Michelle Bachelet bekerja setelah empat tahun sebagai komisaris tinggi PBB untuk hak asasi manusia. Masa jabatannya didominasi oleh tuduhan pelecehan terhadap Uighur.

Laporan timnya menuduh China menggunakan undang-undang keamanan nasional yang tidak jelas untuk menekan hak-hak minoritas dan membangun "sistem penahanan sewenang-wenang".

Dikatakan para tahanan telah menjadi sasaran "pola perlakuan buruk" yang termasuk "insiden kekerasan seksual dan berbasis gender".

Yang lain, kata mereka, menghadapi perawatan medis paksa dan "penegakan diskriminatif kebijakan keluarga berencana dan pengendalian kelahiran".

PBB merekomendasikan agar China segera mengambil langkah-langkah untuk membebaskan "semua individu yang dirampas kebebasannya secara sewenang-wenang" dan menyarankan bahwa beberapa tindakan Beijing dapat dianggap sebagai "komisi kejahatan internasional, termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan".


China Cari Dukungan di Pertemuan Dewan HAM PBB

Pelancong mengenakan masker wajah dengan barang bawaan mereka berjalan di jembatan penyeberangan dekat stasiun kereta api di Beijing, Kamis (6/10/2022). Xinjiang yang luas adalah wilayah China terbaru yang terkena pembatasan perjalanan COVID-19, karena China semakin meningkatkan langkah-langkah pengendalian menjelang kongres penting Partai Komunis akhir bulan ini. (AP Photo/Andy Wong)

Lebih lanjut, China juga menyerang sebuah laporan OHCHR tentang dugaan pelanggaran HAM di Xinjiang pada Selasa 13 September. Pihak China membacakan pernyataan yang didukung sekitar 20 negara lain yang mengkritik badan PBB itu karena merilis laporan tersebut dan menyatakan tidak berhak melakukannya.

Dilansir Channel News Asia, Rabu (14/9), dukungan awal untuk apa yang disebut pernyataan bersama Beijing di Dewan Hak Asasi Manusia PBB lebih tipis dari yang diperkirakan beberapa pengamat - sebuah fakta yang mungkin membuat para pengkritik China berani.

Laporan pada 31 Agustus, yang China minta agar tidak diterbitkan PBB, menetapkan "pelanggaran hak asasi manusia yang serius telah dilakukan" dan mengatakan penahanan warga Uyghur dan Muslim lainnya di wilayah Xinjiang China mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. China dengan keras menyangkal setiap pelecehan yang terjadi.

Demokrasi sekarang sedang mempertimbangkan kemungkinan gerakan bersejarah terhadap China termasuk kemungkinan mekanisme investigasi pada pertemuan dewan Jenewa yang sedang berlangsung sebagai hasilnya, kata para diplomat kepada Reuters. 

Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa termasuk di antara mereka yang menyambut temuan Xinjiang dan menyatakan keprihatinan dalam sesi dewan Selasa di mana negara-negara membahas laporan tersebut untuk pertama kalinya.

Tapi Chen Xu, duta besar China, menolaknya sebagai "noda" yang salah, dengan mengatakan itu didasarkan pada kebohongan.

"Kami sangat prihatin bahwa OHCHR, tanpa izin dari Dewan Hak Asasi Manusia, dan persetujuan dari negara yang bersangkutan, merilis apa yang disebut penilaian di Xinjiang, China," katanya dalam pernyataan bersama yang terpisah.

Infografis Kiprah RI di DK PBB (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya