Liputan6.com, Paser - Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), Pasal 35 ayat 4 menyatakan bahwa pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian perizinan berusaha kepada pemerintah daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perubahan Izin Usaha Pertambangan Mineral Bukan Logam Komoditas Batuan (Pasir) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (Pemprov) berdampak pada usaha di daerah. Hal ini membuat sejumlah pelaku usaha pemilik IUP seperti galian pasir tidak beroperasi.
Pasalnya izin mereka dari pusat sudah tidak berlaku, sehingga harus mengurus izin lagi di tingkat provinsi. Diinformasikan sejak 26 September 2022 lalu, beberapa wilayah yang terdapat pelaku usaha galian pasir di Kabupaten Paser, yakni sekitar Kecamatan Tanah Grogot, Paser Belengkong, Batu Engau, sampai Kuaro, hanya ada satu pengusaha IUP yang boleh beroperasi galian pasirnya.
Kondisi itu membuat harga pasir meroket. Sebelumnya per kubik hanya Rp87 ribu, kini meroket mencapai Rp200 ribu. Ini pun menjadi dasar atau bahan dilakukannya hearing antara DPRD, Pemkab Paser, penambang pasir hingga pelaku usaha galian pasir.
Baca Juga
Advertisement
Namun Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilaksanakan di DPRD Paser pada Rabu (5/10/2022) tidak menghasilkan kesepakatan.
"Rapat ini tidak ada hasil sama sekali. Mudah-mudahan masyarakat (penambang pasir) kita bisa bersabar, jangan sampai terjadi gejolak-gejolak yang tak diinginkan," tutur Wakil Ketua DPRD Paser, Abdullah usai hearing.
Demi ada kejelasan akan nasib penambang pasir, dikatakan Abdullah, pihaknya akan lebih dulu bertolak ke tingkat Pemprov Kaltim atau bahkan hingga pemerintah pusat, kemudian kembali dijadwal RDP ulang.
"Kami meminta mencoba memfasilitasi bahwa agar kiranya CV Zen Zay memberikan sedikit untuk penambang-penambang pasir. Tapi terlihat sangat tertutup kembali," kata Abdullah.
Sekadar diketahui, CV Zen Zay menjadi satu-satunya usaha galian pasir yang beroperasi. Ia mengaku harga yang dipatok hingga Rp200 ribu per kubik sangat tinggi sekali. Abdullah mengatakan harganya cukup memberatkan penambang pasir.
"Kami dari DPRD meminta diangka Rp150 ribu, tapi tak ada kesepakatan. Permintaan penambang pasir kita bisa menambang dan menjual sendiri, namun tetap dengan bekerja sama dengan CV Zen Zay juga tak menginginkan hal itu. Ya (terkesan) monopoli. Jadi ini meresahkan juga di tengah masyarakat kita dan menggaggu proyek-proyek yang sedang dikerjakan oleh pemerintah," terangnya.
DPRD menginginkan penambang pasir dapat bekerja seperti biasanya yang memang menjadi mata pencahariannya. Adapun anggota legislatif bertolak ke Pemprov Kaltim atau tak menutup kemungkinan ke pemerintah pusat untuk menanyakan keabsahan legalitas dari CV Zen Zay yang memiliki cakupan 92 hektare.
"Kami juga agak meragukan. Karena pengakuan kepala desa tidak ada didiskusikan, tiba-tiba memang ada legalitas itu. Sementara pada 2017 itu pernah ditetapkan WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat) oleh Bupati Pak Yus (Yusriansyah Syarkawai, Bupati Paser periode sebelumnya), masyarakat minta agar itu dikembalikan kembali," beber Abdullah.
Saat disinggung legalitas yang dimiliki belum tentu absah, Abdullah belum dapat memastikan. "Ya Wallahua'llam. Nanti kita tanyakan, lokasi dan cakupannya sampai mana, sehingga ada kejelasan," ucapnya.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Menganggap Diadu Domba
Sementara Wakil Direktur CV Zen Zay, Jaelani menilai DPRD terkesan mengadu domba dengan masyarakat. "Harusnya pihak dewan bisa menengahi, bukan malah mengadu domba. Mereka minta turun (harga), kita turunkan," ungkap Jaelani saat diwawancarai usai RDP.
Mengenai izin yang dimiliki dan diragukan oleh DPRD, ia tak terlalu mempersoalkan hal tersebut. "Saya anggap mereka enggak ngerti masalah itu. Kita legalitasnya jelas. Kami lihat dari pihak dewan ini malah berat sebelah. Makanya, silakan menanyakan ke instansi terkait," katanya.
Dari kacamatanya ia menganggap secara langsung mengizinkan adanya praktik ilegal. Dirinya mengatakan jika area menambang pasir berada di wilayah CV Zen Zay.
"Kita tidak melaporkan, tapi berkoordinasi dan terus coba bicarakan yang sudah hampir tiga bulan, namun tidak pernah ada solusi. Mereka (penambang pasir) tetap mau melakukan sesuatu tanpa izin. Karena bahasanya sudah menjadi tradisi," beber dia.
Mencoba merekrut menjadi karyawan dikatakannya telah berulang kali ditawarkan. "Mereka tetap inginnya mengadakan sesuatu tanpa izin. Karena itu sudah menjadi kebiasaan, dan inilah masalah-masalah yang harus ditegakkan baik pemerintah daerah, DPRD maupun instansi terkait," imbuhnya.
Ia menduga jika ada yang mengompori para warga yang mata pencaharian sebagai penambang pasir. Mengingat saat pengajuan izin dilakukan bersama warga setempat.
"Artinya mereka sudah sangat tahu, kami mengurus bersama-sama. Jadi ada sesuatu hal antar mereka itu provokatorlah," tutur Jaelani.
Disinggung masalah harga yang meroket mencapai Rp200 ribu per kubik, Ia tak ingin membahas hal tersebut.
"Kita tidak bicara kemarin, bicara sekarang yang disepakati. Kalau bicara mundur itu beda. Artinya CV Zen Zay ini sudah mau bekerja sama dengan baik. Kenaikan harga Rp150 ribu wajar saja," tandas dia.
Advertisement