Liputan6.com, Ankara - Otoritas dan pakar kesehatan Turki telah memperingatkan bahwa negara tersebut bisa menghadapi gelombang infeksi COVID-19 lain dalam beberapa minggu karena meningkatnya jumlah kasus di Eropa.
Menurut laporan dari Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa, 15 negara di Benua Biru mengalami peningkatan kasus.
Advertisement
Ini adalah lonjakan pertama dalam kasus Virus Corona di seluruh wilayah sejak gelombang BA.5 terbaru dimulai, seperti dikutip dari laman Xinhua, Jumat (7/10/2022).
Gelombang COVID-19 di Eropa dianggap bisa menjadi pertanda adanya peningkatan kasus masa depan di Turki.
Menteri Kesehatan Turki Fahrettin Koca mengatakan kepada wartawan pekan lalu bahwa lonjakan kasus Virus Corona COVID-19 di Eropa "biasanya mempengaruhi Turki dalam tiga hingga empat minggu" dan mereka mengantisipasi di sana akan mengalami peningkatan infeksi yang serupa.
Vedat Bulut, sekretaris jenderal Asosiasi Medis Turki, mengatakan bahwa di masa lalu, sebagian besar subvarian Virus Corona COVID-19 di Turki berasal dari kota-kota pelabuhan Eropa dan tren ini dapat berulang.
"Pandemi hari ini menyebar jauh lebih cepat dari sebelumnya, karena cara transportasi beragam dan lebih cepat," katanya kepada Xinhua.
Pakar memperingatkan bahwa pandemi belum berakhir, dan dikombinasikan dengan flu musiman, kematian dapat meningkat di Turki dan negara-negara lain.
Erdinc Kara, seorang dokter umum di Ankara mengatakan bahwa lebih banyak pasien dengan gejala terkait COVID datang untuk berobat sejak awal minggu ini.
"Orang-orang akan lebih banyak berada di dalam ruangan dan itu berisiko menyebarkan virus corona. Orang-orang harus bersiap untuk varian penghindaran kekebalan yang dapat memicu gelombang musim gugur-musim dingin," katanya kepada Xinhua.
"Bahkan, meski kita sekarang memiliki vaksin yang efisien, Virus Corona masih jadi ancaman yang tangguh dan serius bagi kesehatan manusia, dan masih menyebabkan kematian," tambahnya.
Ancaman di Musim Dingin
Nurdan Kokturk, seorang spesialis penyakit paru-paru di Fakultas Kedokteran Universitas Gazi Ankara, memperingatkan bahwa jika warga gagal mematuhi aturan yang ditetapkan, "musim dingin bisa menjadi sangat sulit."
“Sekolah telah dibuka kembali, dan penyakit paru-paru muncul dalam tren yang mengkhawatirkan. Kita semua memiliki kewajiban untuk melindungi diri kita sendiri,” katanya kepada pers setempat.
"Terbukti bahwa vaksin sangat efisien untuk memerangi COVID-19 di seluruh dunia, oleh karena itu orang harus mendapatkan suntikan booster untuk kekebalan yang efisien, jika tidak keadaan akan terbalik," tambah dokter tersebut.
Koca juga mengatakan, vaksinasi adalah "tindakan paling penting" yang dapat dilakukan masyarakat untuk menangkis virus. Otoritas meminta warga lanjut usia dan orang-orang yang berisiko dengan penyakit kronis untuk mendapatkan suntikan booster mereka tanpa penundaan.
Sejak kasus pertama dilaporkan di Turki pada Maret 2020, lebih dari 101.000 orang telah meninggal, sementara jumlah total kasus berjumlah total 16,8 juta, menurut statistik resmi.
Advertisement
Efek Long COVID-19 Menghantui Amerika Serikat
Amerika Serikat telah mencabut sebagian besar protokol kesehatan untuk mencegah COVID-19. Banyak pula warga yang tak perlu masuk rumah sakit meski terinfeksi.
Namun, ada banyak orang pula yang terkena dampak long COVID. Gejalanya seperti masalah pada jantung, perut, dan paru-paru. Selain itu, pasien juga mengalami kebingungan.
Berdasarkan laporan The Daily Beast, Kamis (22/9/2022), gejala-gejala itu bisa berlangsung selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun setelah sembuh dari COVID-19.
Studi terbaru dari City University of New York , ada 21 persen warga Amerika Serikat yang terkena COVID-19 pada musim panas 2022 yang mengidap long COVID. Dampak long COVID dirasakan empat pekan setelah infeksi.
Angka tersebut naik dari Juni 2022 etika CDC melaporkan 19 persen yang terdampak long COVID.
Studi dari City University of New York belum melalu tahap peer-review. Sampel studi itu adalah 3.042 orang dewasa AS. Peneliti menyebut berkurangnya screening COVID-19, serta pemakaian tes rapid antigen rumahan, kemungkinan besar memicu underestimation kasus infeksi.
"Meski adanya penambahan level proteksi melawan long COVID melalui vaksinasi, kemungkinan total jumlah orang dengan long COVID di AS sedang bertambah," ujar epidemiolog Denish Nash dari City University of New York kepada The Daily Beast. Nash memimpin studi long COVID tersebut.
Saat mengolah data pada Juli 2022, tim Nash menyimpulkan ada 7 persen orang dewasa AS (lebih dari 18 juta orang) yang memiliki long COVID pada saat itu.
Anak Muda dan Wanita Waspada
Tim peneliti dari City University of New York juga menemukan bahwa masalah long COVID ini banyak menyerang anak-anak muda dan wanita.
Nash berkata tingginya vaksinasi di antara warga dewasa dan lansia bisa menjelaskan kenapa anak-anak muda lebih banyak terkena long COVID, namun ia masih belum bisa memahami kenapa perempuan bisa terkena lebih banyak.
Sayangnya, Nash menilai langkah untuk melawan long COVID masih kurang. Pihak berwenang lebih fokus cara mencegah warga masuk rumah sakit dan meninggal dunia.
"Secara eksklusif fokus pada hal-hal tersebut dapat membuat situasi long COVID bertambah parah," jelas Nash. "Pasalnya ada jumlah substansial dari orang-orang yang terkena long COVID yang hanya memiliki infeksi SARS-CoV-2 yang ringan atau tidak parah."
Saat ini, aturan wajib masker di AS sudah dicabut. Namun, situs Vaccines.org menjelaskan bahwa masih ada program bagi-bagi masker gratis di lokasi vasinasi.
Pemerintah AS pun masih berusaha agar warga mendapatkan vaksin booster. Pihak CDC menegaskan bahwa booster bisa membantu melawan varian BA.4 dan BA.5 yang lebih menular.
Advertisement