Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Keuangan Amerika Serikat Larry Summers mengatakan bahwa dirinya melihat kemungkinan Amerika memasuki resesi.
Pernyataan Summers datang menyusul peringatan resiko resesi dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional.
Advertisement
"Pengalaman historis menunjukkan bahwa jenis inflasi yang kita hadapi jarang kembali ke tingkat normal, di target sekitar 2 persen tanpa mendorong resesi," kata Summers, dikutip dari CNN Business, Jumat (7/10/2022).
Namun, Summers mengatakan dia tidak melihat ekonomi AS akan kembali ke situasi krisis keuangan tahun 2008, meski ancaman resesi kian dekat.
"Sekarang, saya tidak berpikir kita akan melihat situasi seperti yang dialami setelah Covid-19 atau selama krisis keuangan (2008), tetapi saya pikir kita memiliki periode stimulus yang sangat substansial dan kemungkinan akan terjadi penurunan," ujarnya, kepada Wolf Blitzer CNN dalam segmen The Situation Room.
Sebelumnya, konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) telah memperingatkan bahwa kebijakan moneter dan fiskal di negara maju, termasuk kenaikan suku bunga The Fed dapat mendorong resesi dan stagnasi global.
Tetapi, Gubernur Federal Reserve atau The Fed, Lisa Cook mengatakan bahwa Amerika Serikat masih memerlukan kenaikan suku bunga lebih lanjut untuk mendinginkan inflasi.
"Inflasi tetap tinggi dan tidak dapat diterima, dan data selama beberapa bulan terakhir menunjukkan bahwa tekanan inflasi tetap berbasis luas," kata Cook dalam pidato pertamanya sebagai anggota dewan bank sentral AS, dikutip dari Channel News Asia.
"Memulihkan stabilitas harga kemungkinan akan membutuhkan kenaikan suku bunga berkelanjutan dan kemudian menjaga kebijakan tetap ketat untuk beberapa waktu sampai kami yakin bahwa inflasi berada di jalur yang tepat menuju tujuan dua persen kami," beber Cook di Peterson Institute for International Economics.
Resesi Global Kian Dekat, Bos IMF Desak Dunia Bertindak
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mendesak para pembuat kebijakan global untuk mengambil tindakan guna meredam risiko resesi global.
Dikutip dari Channel News Asia, Jumat (7/10/2022) dalam pidato menjelang pertemuan tahunan IMF pekan depan, Georgieva mengatakan bahwa saat ini sangat penting untuk menstabilkan ekonomi global dengan mengatasi tantangan yang paling mendesak, termasuk inflasi yang merajalela.
Akan tetapi, Georgieva juga memperingatkan proses tersebut tidak akan mudah dan mengakui bahwa jika bank sentral bergerak terlalu agresif untuk menekan tekanan harga, hal itu bisa memicu penurunan ekonomi yang "berkepanjangan".
"Ini tidak akan mudah, dan upaya itu tidak akan dilalui tanpa rasa sakit dalam waktu dekat," kata Georgieva dalam pidatonya di Georgetown University.
"Di tengah pandangan global yang semakin gelap ... risiko resesi meningkat," bebernya, mencatat bahwa sepertiga negara diperkirakan akan mengalami setidaknya dua perempat kontraksi.
Georgieva juga mengatakan, "Bahkan ketika pertumbuhan positif, masih akan terasa seperti resesi." Menurut dia, hal ini dikarenakan lonjakan harga pangan dan energi yang mengikis pendapatan.
IMF pun kembali menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi global 2023 mendatang, dalam laporan yang akan diterbitkan pekan depan untuk pertemuan tahunan.
"Dalam waktu kurang dari tiga tahun kita akan hidup melalui guncangan, setelah guncangan lainnya," ujarnya.
Advertisement
Alarm Resesi Global Mulai Berbunyi, Krisis Ekonomi 1997 Kembali Hantui Asia
Seperempat abad yang lalu, krisis keuangan besar melanda Asia dan mengguncang ekonominya. Kini, krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 kembali menghantui kawasan tersebut.
Mata uang dan pasar saham di ekonomi terbesar Asia telah jatuh ke posisi terendah dalam beberapa dekade terakhir. Kondisi ini didorong oleh kenaikan suku bunga yang agresif oleh Federal Reserve dan perlambatan ekonomi di China.
Dikutip dari CNN Business, Kamis (6/10/2022) dalam sebuah laporan baru, sebuah badan PBB memperingatkan bahwa tindakan The Fed, bersama dengan bank sentral lainnya, berisiko mendorong ekonomi global ke dalam resesi.
China, negara ekonomi terbesar kedua di dunia telah melihat mata uangnya, yuan, jatuh ke rekor terendah hingga 11 persen terhadap dolar AS, menandai penurunan terburuk sejak 1994, menurut data dari Refinitiv.
Adapun Jepang, negara ekonomi terbesar ketiga di dunia, bernasib lebih buruk. Nilai Yen Jepang sudah merosot 26 hingga tahun ini dan menjadi penurunan terbesar di antara semua mata uang Asia.
Kemudian di kawasan Asia Selatan, rupee India juga merosot ke rekor terendah, yang telah melihat penurunan hingga 9 persen tahun ini.
"Pengetatan moneter cepat oleh The Fed mengirimkan dampak yang jauh dan luas," kata Frederic Neumann, kepala ekonom Asia di HSBC.
"Bahkan Asia, meskipun memiliki fundamental makroekonomi yang kuat, kini menghadapi volatilitas pasar keuangan yang meningkat," tambahnya.
Ketika tekanan kuat pada mata uang utama Asia berlanjut, beberapa analis keuangan khawatir bahwa jika situasinya tidak terkendali, maka dapat menyebabkan krisis keuangan di kawasan itu.
"Lingkungan dolar yang kuat telah menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana Asia akan terpengaruh dan apakah ini akan memicu krisis keuangan lain," tulis kepala ekonom Asia Morgan Stanley, Chetan Ahya dalam sebuah laporan penelitian.