Liputan6.com, Moskow - Perayaan Natal dan Tahun Baru 2022 di salah kota tersebar Rusia akan dibatalkan tahun ini. Uangnya akan digunakan untuk dana perang di Ukraina. Rusia menyebut perang itu sebagai "operasi militer khusus".
Pembatalan itu salah satunya terjadi di St. Petersburg.
Baca Juga
Advertisement
Dilaporkan media pemerintah Rusia, TASS, Sabtu (8/10/2022), anggaran yang sebelumnya sudah dialokasikan untuk acara Nataru 2022 akan dialirkan untuk membiayai para sukarelawan dan prajurit mobilisasi di Ukraina.
"Saat sebuah sesi dengan Gubernur Alexander Beglov dengan anggota-anggota administrasi munisipal, telah diputuskan untuk membatalkan acara-acara yang sebelumnya dijadwalkan yang didedikasikan untuk perayaan Tahun Baru," ujar pertanyaan dari pemerintah St. Petersburg.
Sebelumnya, semua orang yang dimobilisasi dari Saint Petersburg akan mendapat bonus 100 ribu rubles (Rp 24,7 juta), sementara sukarelawan akan mendapat bonus 300 ribu rubles (Rp 74,3 juta).
"Semua dana-dana yang tersedia akan dialirkan ke (rekening) khusus Saint Petersburg untuk pengadaan tambahan seragam dan perlengkapan untuk para sukarelawan dan warga yang dimobilisasi," ujar Gubernur Beglov.
Tak hanya St. Petersburg, kota Nizhny Novgorod turut membatalkan perayaan tahun baru. Acara kembang api pun batal. Meski acara untuk anak-anak tetap berlanjut.
Nizhny Novgorod adalah salah satu kota terbesar di Rusia yang berlokasi di Volga.
"Saya telah mendapat banyak pertanyaan-pertanyaan via media sosial terkait warga-warga kita terkait acara perayaan massal, konser, dan kembang api untuk menandai tahun baru. Respons saya adalah tidak ada, meski kita awalnya merencanakannya," ujar Wali Kota Yury Shalabayev.
"Namun, kita masih akan lanjut merayakan tahun baru bagi anak-anak dan acara-acara perayaan di sekolah dan taman kanak-kanak," lanjutnya.
Sejak 21 September 2022, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan mobilisasi parsial untuk mendukung operasi militer di Ukraina. Akibatnya, puluhan ribu pria Rusia dilaporkan kabur ke luar negeri.
(1 rubles: Rp 247)
Pemuda Rusia Pergi ke Negara Lain Demi Hindari Wamil
Per akhir September 2022, nyaris 100 ribu orang Rusia telah hijrah ke Kazakshtan di tengah perang Rusia-Ukraina. Mereka pergi ke Kazakhstan setelah Presiden Rusia Vladimir Putin memerintah wajib militer (wamil) karena butuh 300 ribu pasukan.
Kazakshtan adalah negara tetangga Rusia, sehingga perjalanan ke negara tersebut bisa dilakukan lewat jalur darat.
Dilaporkan VOA News, Rabu (28/9), ada sekitar 98 ribu warga Rusia yang telah menyeberang ke Kazakhstan pada sepekan setelah Presiden Putin mengumumkan mobilisasi militer parsial dalam perang melawan Ukraina.
Selain Kazakhstan, pilihan favorit warga Rusia adalah Georgia. Mereka datang berbondong-bondong dengan mobil, sepeda, bahkan jalan kaki.
Menteri Dalam Negeri Kazakhstan, Marat Akhmetzhanov, berkata pihak berwenang tidak akan memulangkan warga Rusia yang datang, kecuali mereka ada di daftar kriminal.
Presiden Kazakhstan Kassym-Jomart Tokayev juga memerintahkan pemerintahannya untuk membantu para warga Rusia yang datang.
"Kita harus mengurus mereka dan memastikan keselamatan mereka. Ini adalah iu politik dan kemanusiaan. Saya menugaskan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan," ujar Tokayev.
Finlandia dan Norwegia menjadi negara maju yang menjadi pilihan warga Rusia untuk hijrah. Harga tiket pesawat ke luar Rusia pun meroket. Euronews menyebut pemerintah Finlandia berusaha memblokir kedatangan warga Rusia di perbatasan.
Advertisement
Forum P20 Diwarnai Aksi Kecam ke Rusia
Ketegangan antara Rusia dan Ukraina diduga menjadi salah satu penyebab tidak adanya kesepakatan bersama dalam pertemuan Parlemen 20 (P20).
Anggota Komisi I DPR-RI, Fadli Zon mengatakan banyak kesepakatan-kesepakatan yang dicapai tapi ada yang tidak disepakati terkait perang Rusia dan Ukraina.
"Kesepakatan-kesepakatan yang dicapai cukup banyak tapi ada yang tidak disepakati terkait dengan perang Rusia dan Ukraina," kata Fadli Zon kepada wartawan di Gedung Nusantara, Komplek Parlemen, Jakarta Pusat, Jumat (7/10).
Fadli menuturkan selama 2 hari pelaksanaan forum P20, negara-negara Eropa memberikan kecaman kepada Rusia. Mengingat geopolitik ini disebabkan invasi yang dilancarkan Rusia kepada Ukraina pada Februari lalu.
"Kita lihat dalam dua hari ini pernyataan-pernyataan dari sejumlah negara uni eropa termasuk Inggris itu juga tentu saja mereka ingin ada satu keinginan untuk kecaman yang keras kepada pihak Rusia," tutur Fadli.
Namun Rusia yang dihadiri langsung oleh Ketua Parlemen, Valentina Matviyenko menentang adanya kecaman yang diarahkan kepada negaranya. Apalagi dikaitkan dengan sejarah 2014 dan terkait referendum sebagai kehendak dari masyarakat.
"Jadi ada dua pandangan yang totally different atau ekstrim," kata dia.
Joe Biden Ungkap Ancaman Nuklir Rusia Jadi yang Terbesar Sejak Krisis Rudal Kuba 1962
Presiden Joe Biden mengatakan pada Kamis 6 Oktober 2022 bahwa risiko "Armageddon" nuklir berada pada tingkat tertinggi sejak Krisis Rudal Kuba pada 1962.
Ketika para pejabat Rusia berbicara tentang kemungkinan menggunakan senjata nuklir taktis setelah mengalami kemunduran besar-besaran dalam invasi ke Ukraina.
Berbicara pada penggalangan dana untuk Komite Kampanye Senator Demokrat, Biden mengatakan Presiden Rusia, Vladimir Putin adalah "orang yang saya kenal dengan cukup baik" dan pemimpin Rusia itu "tidak bercanda ketika dia berbicara tentang penggunaan senjata nuklir taktis atau senjata biologis atau kimia."
Biden menambahkan, "Kita belum pernah menghadapi prospek Armageddon sejak Kennedy dan Krisis Rudal Kuba."
Dia menyarankan ancaman dari Putin adalah nyata "karena militernya - bisa dibilang - secara signifikan berkinerja buruk."
Mengutip AP, Jumat (7/10/2022), para pejabat AS selama berbulan-bulan telah memperingatkan prospek bahwa Rusia dapat menggunakan senjata pemusnah massal di Ukraina karena telah menghadapi serangkaian kemunduran strategis di medan perang.
Meskipun pernyataan Biden menandai peringatan paling keras yang belum dikeluarkan oleh pemerintah AS tentang taruhan nuklir.
Belum jelas apakah Biden merujuk pada penilaian baru tentang niat Rusia.
Namun, baru-baru ini, para pejabat AS mengatakan bahwa mereka tidak melihat adanya perubahan pada pasukan nuklir Rusia yang akan memerlukan perubahan dalam postur siaga pasukan nuklir AS.
"Kami belum melihat alasan untuk menyesuaikan postur nuklir strategis kami sendiri, kami juga tidak memiliki indikasi bahwa Rusia sedang mempersiapkan diri untuk segera menggunakan senjata nuklir," ujar sekretaris pers Gedung Putih, Karine Jean-Pierre pada Selasa 4 Oktober.
Advertisement