Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) menolak usulan Amerika Serikat (AS) untuk menggelar debat terkait perilaku China terhadap muslim Uighur di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kamis (6/10/2022).
Direktur HAM dan Kemanusiaan Kemlu RI, Achsanul Habib, menerangkan, Indonesia tidak ingin terjadi politisasi Dewan HAM yang digunakan untuk tujuan seperti rivalitas politik AS versus China. Hal itu disampaikan saat jumpa pers virtual, Jumat (7/10/2022).
Advertisement
Menanggapi hal itu, Direktur Indonesia Muslim Crisis Centre (IMCC) Robi Sugara, menyebut bahwa China saat ini tengah menjadi target teror global. Tak terkecuali di Indonesia.
Menurut dia, sebagai negara dengan populasi pemeluk agama Islam terbanyak di dunia, teror terhadap China di Indonesia disusupi dengan isu Muslim Uighur di Xinjiang yang terdiskrimansi hingga pelanggaran HAM.
“Mereka merekayasa muslim Uighur di China seakan-akan didzolimi oleh pemerintah China. Selanjutnya, para teroris menarget China sebagai serangannya, " kata Robi dalam seminar nasional bertema "Politisasi Xinjiang: Kasus Propaganda Hitam Amerika di Negara-Negara Muslim dalam Menekan China", Jumat (7/10/2022).
Robi mendorong, masyarakat Indonesia bisa lebih membuka sudut pandang. Jangan sampai, masyarakat muslim dijadikan alat untuk proxy war. “Ini poin penting dari seminar hari ini, "tutup Robi.
Senada dengan itu, Akademisi Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mutiara Dewi, menyebut, strategi Xinjiang cukup ‘mengundang’.
Mutiara melihat, kondisi Xinjiang telah dianggap sebagai isu strategis internasional yang mengarah terhadap isu keamanan perbatasan oleh negara tetangga.
“Konteks ini memicu perkembangan kelompok separatis Uighur dalam melakukan gerakan politik. (Mereka) berjejaring dengan aktor-aktor eksternal dari Xinjiang, termasuk (melakukan) gerakan teror yang meresahkan politik negara-negara tetangga, "jelas Mutiara.
Pemicu
Menyoroti Uighur di Xinjiang, pengamat politik Internasional yang juga Direktur Sino-Nusantara Institute, Ahmad Syaifudin Zuhri, dalam makalahnya menyebut ada beberapa topik yang kemungkinan menjadi pemicu kasus di Xinjiang, seperti isu demokrasi dan teritori wilayah, persoalan perang dagang AS-China, problem keamanan di Laut China Selatan, hingga teknologi.
Sementara itu, penulis buku Islam di China, Novi Basuki berujar, akar konflik di Xinjiang adalah campur tangan Barat yang membenturkan paham negara China yakni komunis dengan umat Muslim Uighur di Xinjiang.
"China yang komunis saat ini sedang menguat, maka Amerika kemudian memainkan kartu Uighur untuk membendung powershift", tutup dia dalam seminar ini yang berkonsep hybrid dengan total 400 lebih peserta ini.
Advertisement